Home | Redaksi | Advertisement | Kirim Naskah | Pedoman Pemberitaan Media Siber
Facebook RSS
7.006 views

Isu Feminisme dan Mitos Kartini

Senin, 09 April 2012 | 14:48:39 WIB
 

Kaji Karno
Budayawan Muslim, tinggal di Pasuruan, Jawa Timur


Tatkala kaum perempuan ‘modern’ menyadari dan disertai dengan keterkejutan yang luar biasa, bahwa dalam menjalani kehidupan di dunia ini perempuan berhak dan mempunyai kesetaraan hidup dengan laki-laki –melalui pengenalannya dengan gerakan kesetaraan ‘gender’ di Barat- serta merta mereka memandang Islam sebagai musuh kaum perempuan.

Mengapa harus Islam yang menjadi tumpahan kemarahan kaum perempuan? Kenapa tidak menoleh ke sejarah Jepang misalnya seperti yang ditulis Bung Karno dalam ‘Sarinah’ Atau kemarahan itu tidak kepada Nietzshe atau Colette Dowling? Juga kepada para ibu di seluruh Bumi, karena dari mereka pertumbuhan bayi laki-laki maupun perempuan dapat menegaskan dirinya setelah dewasa?

Daftar kemarahan itu amat panjang dan ujung-ujungnya dapat saja protes itu  sebenarnya ‘protes’ kepada Islam.

Feminisme

Istilah feminism pertama kali muncul dan dipakai oleh para pendukung ‘pembebasan wanita’ berkenaan dengan keinginan mewakili gagasan-gagasan penulis ‘pencerahan’ yang digemari oleh Mary Wollstonecraft. Feminisme digerakkan oleh perasaan ketidakadilan dalam diri kaum perempuan yang merasa tersinggung atas penganugerahan hak-hak tertentu kepada kaum laki-laki (Jill Stepenson, 1995).

Sentuhan feminism di Indonesia ketika Raden Ajeng Kartini (1879-1904) kagum dengan hiruk pikuknya gerakan pembebasan wanita di Barat. Peristiwa akulturasi budaya ini tidak ada artinya seandainya kumpulan surat-surat Kartini yang ditujukan kepada teman-temannya – kebanyakan orang-orang Belanda – tidak diterbitkan oleh Mr.J.H.Abendanon pada tahun 1911, yang diberi judul “Door Duitsternis Tot Licht”

Dari kumpulan surat-surat itu (sebenarnya ada banyak surat yang di-edit dan tidak diterbitkan oleh Abendanon) rupanya pemahaman Kartini tentang kedudukan wanita di Barat tidak lebih sama dengan peran wanita di lingkungan tembok-tembok ‘kadipaten’ tempat tinggalnya, yang memperoleh ketidakadilan dari laki-laki. Padahal di luar tembok ‘bangsawan jawa’ di wilayah Jepara bagian atas, anak-anak perempuan setiap sore berangkat ‘ngaji’. Bahkan Kartini tidak faham sejarah bahwa Ratu Kalinyamat pernah mengerahkan tentaranya ‘berjihad’ ke Ambon bersama ‘tentara Pasuruan’ untuk mengusir Portgis pada tahun 1554. (H.J.De Graaf, “Awal Kebangkitan Mataram”, 1985, dalam Kaji Karno, “Pasuruan dalam Singgungan Sejarah Nusantara: Essay Sosio Kultural” belum diterbitkan).

Beberapa aktivis perempuan Indonesia memberi status ontologik feminisme dengan memandang Islam sebagai hambatan emansipasi perempuan. Fenomena ini mudah diduga, karena pandangan bahwa Islam sebagai factor yang melegimitasi dominasi laki-laki atas perempuan, diwarisi oleh jalan fikiran Kartini yang diadopsi dari pemahaman makna, symbol-simbol social di lingkungannya, dipadukan dengan ‘mode’ masyarakat Eropa pada periode feminism ‘klasik’. Ide-ide feminisme yang berasal dari ‘pencerahan’ yang memiliki keyakinan tentang perlunya membebaskan individu dari tekanan kekuasaan dan agama (baca: Islam).  
   
Hal ini terekam dengan baik yaitu surat yang dikirimkan kepada nyonya Nellie van Kol, Agustus 1901, “Kami telah melihat banyak sekali keadaan yang menyedihkan dalam perkawinan Jawa. Hal ini berhubungan erat dengan hak laki-laki yang sangat kejam dalam hokum Islam. Penderitaan perempuan dalam ikatan semacam itu, dan penderitaan sejumlah anak yang lahir dari perkawinan itu telah membakar dan mencambuk jiwa kami untuk memberontak melawan keadaan itu” (Sulastin Sutrisno, “Surat-Surat Kartini”, 1985, hal.121). 

Prasangka terhadap agama (baca:Islam) pada periode feminism ‘klasik’ era Raden Ajeng Kartini jejak-jejaknya masih tampak jelas dan sedang ditapaki oleh aktivis perempuan Indonesia pada hari ini.

Dalam wawancara di Journal ‘Ulumul Qur’an no.3 vol.VI, tahun 1995, Wardah Hafidz menagatakan: ‘selama ini perempuan selalu disefinisikan melalui konsep fiqih dengan memakai landasan tafsir yang menagndung bias misogini (kebencian terhadap perempuan. pen.). Seperti yang dikatakan Sashiko Murata dalam bukunya, ‘The Tao of Islam’ berpandangan bahwa sebaiknya para aktivis feminism perlu mempelajari Islam secara tuntas, karena otoritas tertinggi dalam Islam adalah al Qur’an dan As Sunnah, bukan oleh lembaga-lembaga agama, semisal lembaga gereja dalam agama Kristen.

Persoalannya bukan lantaran kurangnya pengetahuan tentang Islam, dan memang tidak diperlukan mereka, karena tujuan satu-satunya adalah  ‘melawan Islam’, dan memposisikan Islam sebagai medan pertempurannya.

Kegairahan-kegairahan sejak zaman Kartini hingga ‘demo-demo banci’ atau statemen pejabat pemerintah yang anti FPI (Islam) dan ‘mendorong’ dibubarkannya FPI sebetulnya adalah ‘hidden resistense’ terhadap Islam dengan berbagai isu yang seakan-akan berbeda satu sama lain. Ghoirul Islam dalam memandang Islam sebagai sasaran, tidak mempedulikan; apakah Islam ‘salafi’, ‘wahabi’, sunny, syi’ah, NU, atau Muhammadiyah. Pokoknya Islam. Memang tidak dipungkiri ada satu atau dua lembaga Islam yang mau dan memang ‘ingin’ dijadikan ‘gedibal’ ghoirul-Islam.

Kegairahan semacam ini yang ditangkap oleh Raden Ajeng Kartini yang selanjutnya dipakai untuk mengkritisi masyarakat dan agamanya (Islam). Kesadaran feminism Kartini yang semula bersifat logos mengalami metamorphosis menjadi mitos oleh keinginan pengagum-pengagumnya. Mitos banyak didefinisikan oleh para ahli mulai dari E.Bethe, Ernst Cassirer, Stoics, George Sorel, Talcott Parson, sampai kepada Van der Leew.
 
Mitos Kartini

Mitos merupakan bentuk pengungkapan intelektual yang primordial, dan dianggap sebagai ‘filsafat primitif’. Mitos merupakan symbol emosional. ‘Ritual’ pemujaan kepada Raden Ajeng Kartini merupakan pengulangan ‘sentimen’ secara ‘ajeg’ dan berguna untuk memperkuat solidaritas kelompok. Untuk konteks Jawa, kebutuhan-kebutuhan itu berhubungan dengan sosialisasi sebuah panutan symbol ‘abangan’ dan ‘priyayi’, yang keduanya merupakan kategorisasi struktur social. Abangan dan priyayi sama-sama menganut ‘kepercayaan asli’, hanya saja, ‘abangan’ adalah ‘sudra’ dan ‘priyayi’ menempati strtata yang lebih tinggi dalam format social ‘kejawen’.

Ketidak fahaman Kartini terhadap Islam, dimanfaatkan oleh masyarakat ‘non-santri’. “Tentang ajaran Islam tidak dapat saya ceritakan Stella” demikian suratnya tertanggal 6 Nopember 1899. “Kalau saya mau mengenal dan memahami agama saya, maka saya harus pergi ke negeri Arab untuk mempelajari bahasanya di sana” Dan dalam surat yang sama Kartini mengeluh; “Ya Tuhan, kadang-kadang saya berharap, alangkah baiknya, jika tidak pernah ada agama” 

Sampai hari ini di kalangan masyarakat yang merasa mempunyai kesamaan ‘nilai’ dengan RA Kartini, tidak mempedulikan apakah-apakah ide-ide itu sudah usang atau dalam banyak hal telah dipertanyakan tentang orisinalitasya, yang penting adalah bahwa kartini adalah symbol ‘resistensi’ terhadap Islam, semacam munculnya tokoh ‘Syeh Siti Jenar’ di zaman ‘Walisongo’ atau setidak-tidaknya ‘kepuasan aneh’ itu terpenuhi.

Gerakan feminism di Indonesia menjadikan Kartini sebagai ‘mitos’, dan di dalam segala hal mereka berlindung di bawah bayang-bayang Kartini, juga sebagai dasar titik tolak protes-protes mereka, penolakan mereka terhadap kodrat perempuan; bersuami, melahirkan, dan mahluk yang lemah.

Bagaimanapun, Kartini memperoleh kesadaran keperempuanannya dihari-hari terakhir hidupnya. Sepuluh hari sebelum kematiannya, Kartini mengirim surat kepada Nyonya R.M. Abendanon –yang biasa dipanggil ibu- tertanggal Rembang, 7 September 1904.

“Apa artinya lama ketika merasa kesakitan, bila bahagia yang demikian manisnya menjadi pahalanya? Saya sudah rindu benar menanti tangkai hati saya yang kecil itu” dan dilanjutkan dengan, “Keranjang popok, tempat tidur, semuanya siap di kamar kami menunggu kedatangan buah hati kami” 

Pertanyaannya sekarang adalah; masihkah aktifis feminisme yang memperjuangkan kesetaraan gender diantaranya; menuntut perempuan jadi imam sholat yang makmum-nya laki-laki? Masihkan menggugat dan menghapus ‘lembaga perkawinan’, masihkan melarang wanita melahirkan?  
  
Dan, masihkah Kartini dijadikan ‘mitos’ dan symbol kesetaraan gender oleh ‘bangsawan jawa’ dan kaum aktivis perempuan ? Ibu kandung Kartini, Ibu Ngasirah, adalah putri seorang Kyai dari Mayong, bahwa Kartini selalu melihat ‘ibu kandungnya’ istri Bupati Jepara yang notabene istri pertama (‘Garwo Padmi) diperlakukan seperti ‘babu’ mengasuh anak dari ‘istri kedua bupati’, dan selalu diposisikan di dapur.

Menjadi jelas, bahwa adat ‘bangsawan Jawa’-lah yang menyebabkan perkawinan jawa merendahkan perempuan. Bukan hukum Islam.

Pasuruan, 9 April 2012

Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!

Suara Islam Online lainnya:

+Pasang iklan

Gamis Syari Murah Terbaru Original

FREE ONGKIR. Belanja Gamis syari dan jilbab terbaru via online tanpa khawatir ongkos kirim. Siap kirim seluruh Indonesia. Model kekinian, warna beragam. Adem dan nyaman dipakai.
http://beautysyari.id

Cari Obat Herbal Murah & Berkualitas?

Di sini tempatnya-kiosherbalku.com. Melayani grosir & eceran herbal dari berbagai produsen dengan >1.500 jenis produk yang kami distribusikan dengan diskon sd 60% Hub: 0857-1024-0471
http://www.kiosherbalku.com

Dicari, Reseller & Dropshipper Tas Online

Mau penghasilan tambahan? Yuk jadi reseller tas TBMR. Tanpa modal, bisa dikerjakan siapa saja dari rumah atau di waktu senggang. Daftar sekarang dan dapatkan diskon khusus reseller
http://www.tasbrandedmurahriri.com

NABAWI HERBA

Suplier dan Distributor Aneka Obat Herbal & Pengobatan Islami. Melayani Eceran & Grosir Minimal 350,000 dengan diskon s.d 60%. Pembelian bisa campur produk >1.300 jenis produk.
http://www.anekaobatherbal.com

Palestina Masih Berduka, Ayo Ulurkan Tangan Bantu Mereka

Palestina Masih Berduka, Ayo Ulurkan Tangan Bantu Mereka

Sahabat, Ulurtangan mari kirimkan dukungan terbaikmu untuk warga Palestina di Gaza demi menguatkan mereka menghadapi situasi mencekam ini. Mari dukung mereka dengan berdonasi dengan cara:...

Open Donasi Wakaf Pembangunan Rumah Qur'an & TK Islam Terpadu An Najjah di Jonggol

Open Donasi Wakaf Pembangunan Rumah Qur'an & TK Islam Terpadu An Najjah di Jonggol

Saat ini, Ulurtangan bersama Yayasan An Najjahtul Islam Jonggol sedang merintis pembangunan Rumah Qur’an dan Taman Kanak-kanak Islam Terpadu (TKIT) An Najjah dan Gedung Majelis Taklim di Jonggol,...

Ulurtangan Bersama PDUI Kota Bekasi Safari Wakaf Qur'an dan Tebar Sembako ke Pelosok Negeri

Ulurtangan Bersama PDUI Kota Bekasi Safari Wakaf Qur'an dan Tebar Sembako ke Pelosok Negeri

Mari bergabung dalam memperkuat jaringan kebaikan di pelosok negeri dengan Wakaf Al-Qur'an. Jangan ragu untuk menjadi bagian dari kebaikan ini. Abadikan harta dengan wakaf Al-Qur'an dan saksikan...

Bantu Naura, Balita Hebat Sembuh Dari Tumor Pembuluh Darah

Bantu Naura, Balita Hebat Sembuh Dari Tumor Pembuluh Darah

Hidup Naura Salsabila dipenuhi dengan rintangan yang sangat berat. Meskipun baru berusia sepuluh bulan, bayi yang imut ini harus menghadapi penyakit yang dahsyat, yaitu tumor pembuluh darah berukuran...

Rumah Keluarga Yatim Ludes Terbakar Saat Ditinggal Sholat Tarawih

Rumah Keluarga Yatim Ludes Terbakar Saat Ditinggal Sholat Tarawih

Rumah yang ditinggali keluarga yatim Ibu Turyati (34) ludes terbakar saat ditinggal berbuka puasa bersama dan sholat Tarawih. Kebakaran pada Kamis malam (23/3/2023) itu tak menyisakan barang...

Latest News

MUI

Sedekah Al Quran

Sedekah Air untuk Pondok Pesantren

Must Read!
X