Kamis, 14 Jumadil Awwal 1446 H / 16 September 2010 08:17 wib
7.031 views
Islam Diserang dengan Kedok Kebebasan Beragama
Masjid Syeikh Ali Martaib (Masjid Fiisabilillah) di Desa Lumban Lobu, Kecamatan Bonatua Tapanuli Utara-Sumatera Utara sudah dibakar tiga kali, hingga saat ini masih terlihat jelas di lokasi sisa puing-puing bangunan kayu yang terbakar. Sampai dengan hari ini tidak satupun pelaku ditangkap apalagi diadili.
Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Persatuan Batak Islam (PBI) mengutuk keras pembakaran masjid Fiisabilillah di Desa Lumban Lobu, Kecamatan Porsea, Kabupaten Toba Samosir (Tobasa) pada Jum’at 27 Juli lalu.
“Kami yakin terbakarnya masjid Fiisabilillah tersebut cenderung tindak kejahatan, karenanya Poldasu perlu mengusut tuntas dan menangkap para pelaku pembakaran rumah ibadah itu”, kata Ketua Umum DPP PBI Prof DR H Abdul Muin Sibuea, MPd kepada pers di Medan, Rabu (4/8/2010).
Menurut data BPS 2004, sekitar 87 persen penduduk Toba Samosir penganut Kristen Protestan, Katolik 7 persen, dan Islam 6 persen. Selebihnya adalah agama dan pengangut kepercayaan lain, seperti Parmalim, yang dikenal sebagai agama tradisional Batak.
Toba Samosir adalah kabupaten baru yang mekar dari kabupaten induk, Tapanuli Utara, sejak 1998. Kemudian, Tapanuli Utara kembali dimekarkan dengan terbentuknya Kabupaten Samosir dan Humbang Hasundutan sejak 2003. Semua kabupaten ini dihuni mayoritas etnis Batak Toba-Kristen, lebih spesifik lagi Huria Kristen Batak Protestan (HKBP).
Masjid Fiisabilillah adalah masjid tertua di wilayah yang pada zaman kolonial dikenal dengan Toba Holbung. Masjid yang kini memiliki jama’ah sekitar 12 kepala keluarga ini hanya berjarak sepelemparan batu dari pinggir jalan lintas barat Sumatera, sekitar 4 kilometer di utara kota kecil Porsea. Kota Porsea dibelah Sungai Asahan, satu-satunya outlet Danau Toba nan indah.
Posisinya terpisah dari pemukiman yang ramai dan berada di areal persawahan. Hanya ada satu warung di dekatnya, persis di seberang, di tepi jalan lintas Sumatera. Masjid tak dialiri arus listrik dan gelap pada malam hari (kemungkinan dibakar sangat besar). Di depannya ada jalan berbatu yang cukup dilalui kendaraan roda empat menuju perkampungan Silombu Bagasan, yang tak begitu ramai.
Pembakaran masjid Fiisabilillah di Desa Lumban Lobu, Kecamatan Porsea, Kabupaten Toba Samosir Sumatera Utara terjadi pada Jum’at, 27 Juli 2010 sekitar pukul 05.00 WIB dibakar orang tak dikenal (OTK). Berita pembakaran masjid Fiisabilillah tersebut sontak membuat umat Islam kaget, pasalnya pembakaran masjid tidak ter-blow up dan yang paling mengherankan lagi kejadiannya bersamaan dengan pristiwa skandal kebaktian liar jemaat gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di Ciketing-Bekasi yang terus di blow up secara masiv dan berkala oleh media-media nasional untuk menyerang umat Islam yang ada di Ciketing-Bekasi.
Rangkaian peristiwa pembakaran masjid dan pelecehan HKBP terhadap Islam dengan melakukan kebaktian liar sambil mengacau keamanan desa Ciketing, menambah daftar panjang arogansi HKBP baik di Sumatera Utara maupun di Bekasi.
Doktrin Agutinus (354-430)
Mengutip PROF. DR. H. M. Rasjidi dalam bukunya ”Kebebasan Beragama” bahwa secara historis agama Kristen di Eropa dan Amerika memiliki trauma keagamaan terhadap beberapa aliran dari sekte-sekte mereka sendiri (katolik, protestan, maupun sekte-sekte kristen).
Dalam sejarahnya Kristen telah melewatkan dasar intoleransi sejak abad IV M, yaitu sejak Kristen menjadi agama resmi kerajaan Romawi. Sebagai dasar intoleransi Kristen, Bluntschli S.K. dalam karangannya ”Geschichte des Rechts der relegiosen Bekenntnis Freiheit” menerangkan sebagai berikut: ”Jika kekeliruan itu (yang bukan agama Kristen) menang maka umat Kristen harus mendengung-dengungkan kebebasan beragama. Akan tetapi sebaliknya, jika benar itu (agama Kristen) yang berkuasa, maka sudah semestinya untuk memakai paksaan” inilah yang mereka sebut sebagai Doktrin Agutinus, (354-430).
Dari uraian sebelumnya maka jelaslah bahwa kebebasan beragama adalah ide barat di dalam masyarakat antar Kristen yang bersekte-sekte yang terjadi pada abad ke XVII.
Menggalang Kaum Sepilis, Serang Islam
Pembakaran Masjid Fiisabilillah dan perampasan atas hak-hak kaum muslimin adalah potret buram yang selalu luput dari pemberitaan media, dan orang-orang yang selalu mengklaim diri sebagai pejuang HAM. Kasus Ciketing misalnya, mereka (LSM, media, dan tokoh-tokoh sepilis, tokoh lintas agama) di galang untuk memusuhi Islam menuduh Islam bersikap anarkhis dan tidak menghargai kebebasan bergama.
Bahkan saat Suara Islam mewawancarai Koordinator Kontras Usman Hamid terkait kasus skandal kebaktian liar HKBP dan pembakaran Masjid Fiisabilillah, Usman hanya berkelit. Tentang pembakaran Masjid Fiisabilillah, Usman menjawab kikuk dan menyesalkan sulitnya mendapat informasi dan berdalih bahwa, ”Hidup di Jakarta macet butuh waktu berjam-jam untuk sampai rumah, apalah artinya Kontras yang kecil ini, tidak mungkin mengurusi semua kasus yang ada di Indonesia”, ujarnya.
HKBP juga tidak henti-hentinya berkampanye menggandeng kaum sepilis dan kelompok lintas agama untuk mencari dukungan kepada Presiden. Mereka menyebut diri sebagai “Forum Solidaritas Kerukunan Umat Beragama” yang kemudian melakukan demo di kawasan Silang Monas, Jakarta, Minggu (15/8/2010).
Sama seperti apa yang mereka lakukan di Ciketing sebelumnya, HKBP kembali melakukan kebaktian liar di depan Istana Negara. Kebaktian yang dijadwalkan berlangsung pukul 13.00 di depan Istana Presiden ternyata gagal karena ketatnya penjagaan di sekitar istana membuat tempat kebaktian dipindahkan ke dekat patung kuda kencana di Monas, dan baru dimulai setengah jam kemudian. Kebaktian diawali dengan menyanyikan lagu puji-pujian yang diambil dari Kidung Jemaat. Dan dilanjutkan dengan khotbah yang disampaikan Pdt. STP. Siahaan.
Demonstrasi di depan Istana Negara tersebut selain diikuti tokoh dan jemaat HKBP, juga dihadiri anggota Gerakan Pemuda (GP) Ansor, Pemuda Katolik, Hindu dan Budha. Tokoh yang hadir antara lain Ulil Abshar Abdala (JIL), Eva Kusuma Sundari (Anggota Kaukus Pancasila Parlemen), dan tokoh lintas agama seperti Pdt Yewangoe, Franz Magnis Suseno, dan Musdah Mulia.
Aksi yang digalang HKBP atas nama “Forum Solidaritas Kerukunan Umat Beragama” sejatinya dilakukan untuk menekan presiden yang pada hari berikutnya (16/8/2010) melakukan Pidato Kenegaraan. Akan tetapi tidak sedikitpun SBY menyinggung apa yang diharapkan HKBP yaitu memfitnah Islam. HKBP menggunakan caranya, SBY juga mempunyai caranya sendiri. Wallahualam Bishawab. (jaka setiawan)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!