Senin, 14 Jumadil Awwal 1446 H / 16 Agutus 2010 17:23 wib
2.437 views
Rakyatpun Minta Disogok
Sebuah penelitian di Mojokerto membuktikan dalam Pilkada rakyat pemilih minta diberi uang. Inilah akarnya kenapa korupsi merajalela
Dengan gemas, J.Kristiadi menulis di Kompas 10 Agustus lalu, untuk mengungkap bagaimana politik uang telah merajalela di Indonesia. ‘’Berpolitik tak perlu cita-cita. Ibaratnya, walau pun bermodalkan selembar ijazah aspal (asli tapi palsu), jika mempunyai uang berlimpah, kekuasaan dipastikan dapat diraih,’’ tulis peneliti senior CSIS itu.
Kristiadi benar, walau pun sesungguhnya kesadarannya itu datang terlambat. Sebagai seorang pendukung reformasi yang bersemangat (baca saja tulisan-tulisannya di Kompas selama ini) sekarang rupanya ia sudah sampai pada batas akhir kesabaran, menyaksikan berjalannya sistem demokrasi yang berlumuran uang sogok dan korupsi. Dana aspirasi, rumah aspirasi, biaya sosialisasi, dan bermacam alasan lain digunakan untuk mereguk kekayaan negara demi ongkos politik. Anggaran negara di pusat mau pun daerah rentan terhadap manipulasi. Sementara rakyat tambah melarat.
Ketika reformasi meletus di bulan Mei 1998, guna menggulingkan Rezim Orde Baru yang otoriter dan korup, sebenarnya politik uang telah dimulai. Betapa tidak? Gerakan atau berbagai demonstrasi untuk menumbangkan Presiden Soeharto pada waktu itu terlaksana berkat guyuran dollar dari pemerintah Amerika Serikat. Pemerintahan Presiden Bill Clinton pada waktu itu, rupanya, tak menyukai Soeharto karena beberapa hal lalu ingin menjatuhkannya dengan membayar sejumlah aktivis di Indonesia.
Lihat saja artikel yang ditulis wartawan Tim Weiner di surat kabar Amerika Serikat, The New York Times 20 Mei 1998. Di situ disebutkan bahwa US-AID, lembaga donor milik pemerintah Amerika Serikat telah mengeluarkan duit 26 juta dollar (Rp 230 milyar lebih dengan kurs sekarang) kepada lembaga swadaya masyarakat (LSM) anti-Soeharto. Artinya, reformasi 1998 untuk menumbangkan Rezim Soeharto dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah Amerika Skerikat. Ini adalah politik uang.
Setelah itu, pemerintahan hasil reformasi naik dan turun ganti berganti tapi korupsi dan politik uang terus menjadi warnanya. Malah Presiden Abdurahman Wahid dijatuhkan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) karena skandal berbau korupsi yaitu kasus Buloggate dan Bruneigate. Pemerintahan Presiden SBY sekarang diwarnai skandal Bank Century yang merugikan negara Rp 6,7 triliun.
Yang paling mengkhawatirkan adalah ketika semakin jelas terungkap bahwa berbagai pemilihan umum – mulai pemilihan Presiden, Gubernur, Bupati, atau Walikota -- yang dibangga-banggakan sebagai keberhasilan utama pemerintahan pasca-reformasi dalam menegakkan demokrasi ternyata dikotori politik uang yang massif.
Penelitian yang dilakukan Political Reseach Institute for Democracy (Pride) di Mojokerto, Jawa Timur, Mei 2010, membuktikan proses demokrasi yang terjadi melalui pemilihan kepala daerah (Pilkada) ternyata memang dikuasai politik uang. ‘’Hasil penelitian ini merupakan bukti dari isu adanya money politic selama ini,’’ kata Abdul Rohim Ghazali, peneliti Pride, kepada wartawan, awal Agustus lalu.
Yang lebih mengkhawatirkan dari penelitian ini diketahui adalah rakyat sendiri sebagai pemilik kedaulatan yang menginginkan terjadinya politik uang. Dengan kata lain rakyat memang menjual hak suara yang dimilikinya untuk ditukar dengan uang.
Ketika dalam penelitian itu ditanyakan, apa yang mesti dilakukan seorang calon pemimpin agar ia menang Pilkada, mayoritas responden (60%) menjawab: transaksi uang saja. Hanya sedikit responden yang memilih jawaban agar calon pemimpin itu melakukan pembenahan ekonomi, perbaikan infrastruktur, perbaikan kesehatan, pendidikan, dan sebagainya.
Artinya rakyat kita sudah sangat pragmatis. Saking pragmatisnya, mereka sudah terjebak pada satu situasi: yang penting mereka saat ini dapat duit. Mereka sudah tak peduli kalau belakangan tindakan itu akan mencelakakan diri sendiri karena pemimpin yang mereka pilih dengan cara seperti itu sudah hampir pasti akan menjadi pemimpin yang korup, yang akan merugikan mereka sebagai rakyat.
Memang penelitian tadi dilakukan bersamaan dengan Pilkada di Mojokerto, tak bisa dianggap mewakili seluruh Pilkada di Indonesia. Tapi mengingat sistem Pilkada mau pun Pemilu Presiden, menggunakan sistem yang korup, sudah hampir dapat dipastikan apa yang terjadi di Mojokerto juga terjadi dalam Pilkada di seluruh Indonesia.
Sistem korup? Coba, dalam Pilkada setiap calon bupati yang serius sedikitnya menurut perhitungan Mudrajat Kuncoro, Guru Besar Ekonomi UGM, harus memiliki dana Rp 5 milyar. Untuk calon gubernur jumlah itu melonjak menjadi Rp 20 milyar. Padahal gaji seorang bupati cuma Rp 6,2 juta/bulan dan seorang gubernur hanya Rp 8,7 juta/bulan.
‘’Kalau menjadi seorang gubernur membutuhkan uang Rp 20 milyar, dengan gaji gubernur itu, butuh waktu berapa lama untuk mengembalikan uang Rp 20 milyar itu? kata Gamawan Fauzi, Menteri Dalam Negeri dan bekas Gubernur Sumatera Barat. Jelas sekali uang Rp 20 milyar itu tak mungkin kembali.
Dari hitung-hitungan inilah bisa disimpulkan bahwa sistem Pilkada atau sistem Pemilu Presiden sebenarnya adalah sistem yang korup. Uang yang harus dihabiskan seorang calon jauh lebih besar dari gaji yang diperolehnya selama memegang jabatannya lima tahun. Lalu dari mana dana diperoleh? Di sinilah terjadinya korupsi.
Para calon bernegosiasi dengan penyandang dana untuk dana kampanye. Bila terpilih maka penyandang dana akan mendapat bayaran dengan bentuk proyek di daerah. Sudah tentu itu tanpa proses yang benar. Oleh karena itulah selama reformasi begitu banyak sudah gubernur atau bupati yang masuk penjara. Yang penting demokrasi secara prosedur dijalankan.
Dan itu bisa dianggap sebagai keberhasilan kampanye liberalism dan kapitalisme, yang begitu gencar dilakukan melalui media massa sejak Reformasi 1998. Istilah demokrasi dan kebebasan seolah-olah menjelma menjadi Tuhan yang akan membebaskan rakyat Indonesia dari keterpurukan, kemiskinan, dan kebodohan.
Sekarang, setelah 12 tahun melakukan demokrasi yang bebas sebebas-bebasnya, apakah nasib rakyat sudah berubah? Apakah kemiskinan sudah hilang? Tanyakan masalah ini kepada para tokoh reformasi seperti Amin Rais, Adnan Buyung Nasution, atau Goenawan Mohamad.
Yang pasti sekarang rakyat bebas menonton video porno yang gampang diperoleh di mana saja. Para dokter dan pegiat kesehatan khawatir bagaimana merebaknya pelacuran dan pergaulan bebas mengakibatkan wabah penyakit AIDS menyerang sampai pedesaan terpencil di Papua. Lewat layar televisi setiap hari bisa disaksikan tindak kekerasan tambah merajalela: perang antar-kampung, antar-geng, antar-kelompok, dan belakangan antar-Ormas. Bisa pula disaksikan rakyat membakar kantor KPUD di mana-mana karena marah pada hasil Pilkada yang tak jujur dan dikuasai politik uang.
Sementara itu kemiskinan tetap merajalela. Sekarang menurut Biro Pusat Statistik (BPS) penduduk miskin berjumlah 31 juta orang atau 13,3% dari jumlah penduduk. Jumlah itu memang menurun dibanding tahun lalu, tapi penurunannya tak signifikan karena sangat kecil. Apalagi bila dibanding dengan China dan Vietnam, dua negara yang dianggap sukses menurunkan kemiskinan rakyatnya. Selama satu dekade, China berhasil menurunkan penduduk miskin dari 31% menjadi tinggal 6%, sedang Vietnam dari 51% menjadi 3% (lihat kolom Didik J.Rachbini, Kompas 6 Agustus 2010).
China dan India sedang menjadi pusat pertumbuhan dunia. Karena itu pertumbuhan Indonesia ikut terkerek. Artinya, tanpa pemerintah berbuat apa-apa pun ekonomi Indonesia ikut tumbuh karena kawasan ini memang sedang tumbuh.
Apa yang terjadi di Indonesia sekarang sebenarnya sudah diramalkan Profesor Samuel P.Huntington (meninggal beberapa tahun lalu) ahli ilmu politik dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, ketika ia menulis buku The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century (Gelombang Ketiga: Demokratisasi Akhir Abad 20).
Proses demokratisasi, menurut Huntington, akan berjalan mulus di negara berpendapatan tinggi. Sementara negara dengan pendapatan rendah akan mengalami proses demokrasi yang tersendat-sendat, dan kemudian kembali lagi menjadi otoritarian.
Itulah sekarang yang terjadi di Indonesia, negeri miskin yang menumbangkan sebuah rezim otoriter dengan ongkos dari negara asing, lalu mencoba menjadi negara demokrasi. Yang terjadi adalah sebuah pemerintahan yang lemah dan tak efektif.
Tambahan lagi, gaya kepemimpinan Presiden SBY sebagai orang nomor satu di negeri ini – seperti ditulis koran The New York Times 2 Agustus lalu – selalu penuh kehati-hatian dan ragu-ragu dalam mengambil keputusan (indecisiveness).
Maka setiap ada masalah besar selalu diselesaikan dengan membentuk badan adhok seperti Tim Delapan, Satgas Anti-Mafia Hukum, dan macam-macam tim lainnya. Sekarang badan adhok itu sudah terlalu banyak (dan semua personalnya digaji besar) menyebabkan beban anggarannya menjadi sangat besar, sementara pekerjaannya saling bertubrukan. Contoh terakhir adalah konflik Mabes Polri dengan Satgas Anti-Mafia Hukum.
Tampaknya apa saja boleh terjadi di Republik ini asal citra Presiden SBY tetap terjaga. Sebab selain peragu dan hati-hati, Presiden SBY terkenal paling menjaga citranya. Citra adalah modal utamanya sampai dua kali terpilih menjadi presiden. (Amran Nasution)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!