Kamis, 15 Jumadil Awwal 1446 H / 15 Juli 2010 08:27 wib
2.405 views
Sisi Sosial Sang Pembela Islam
“Gimana FPI mau dibilang radikal, wong Ustadz Awit aja kemana-mana sarungan”, celoteh seorang aktivis ormas Islam dalam sebuah pertemuan FUI dengan MUI Pusat di Jakarta beberapa waktu lalu. Ustadz Awit Masyhuri, wakil Sekjen DPP Front Pembela Islam (FPI) yang disebut namanya hanya senyum-senyum saja.
Tak banyak orang yang tahu tentang karakter FPI yang sesungguhnya. Bahkan seorang wartawan senior yang juga mantan Redaktur Pelaksana Tempo Amran Nasution mengakui hal itu. Dalam pikirannya, FPI adalah sebuah organisasi radikal, bentukan oknum pejabat tertentu dan ketua umumnya Habib Rizieq Syihab adalah orang yang keras dan juga kaya raya.
“Ternyata tak seperti yang saya bayangkan begitu saya bertemu dengan beliau di rumahnya. Saya cari-cari rumahnya, ternyata jalan masuknya saja gang sempit”, ujarnya kepada Suara Islam.
Aksi Sosial Tak kenal maka tak sayang, kata pepatah. Sebenarnya ada sisi lain dari FPI, selain amar ma’ruf nahi munkarnya, yang selama ini belum diketahui banyak kalangan yakni aktivitas sosialnya yang tinggi.
Seorang jurnalis senior, Nurbowo, membeberkan sisi sosial organisasi yang bervisi penegakan amar ma’ruf nahi munkar untuk penerapan Syari´at Islam secara káffah ini. Wartawan Majalah Alia yang juga relawan beberapa lembaga bantuan sosial itu menceritakan pengalamannya ketika terjun ke sejumlah daerah bencana.
“Di Banda Aceh, FPI membuka Posko di tempat yang sama sekali pihak lain tidak berminat menempatinya, Taman Makam Pahlawan (TMP)”, kata Nurbowo.
Dari posko di TMP itulah Habib Rizieq Syihab terjun langsung mengomandoi anak buahnya untuk mengevakuasi dan menguburkan mayat korban bencana alam secara Islami. “Harta benda yang masih tersisa pada mayat seperti dompet beserta isinya, perhiasan, dan lain-lain, dikumpulkan, lalu diserahkan FPI kepada ahli warisnya atau kepada aparat setempat”, lanjutnya.
Bukan hanya di Aceh, aksi sosial FPI juga dilakukan di daerah bencana lainnya. Saat Yogyakarta diguncang gempa 27 Mei 2006, FPI bahu membahu bersama ormas lainnya membantu warga Yogyakarta. Pun ketika bendungan Situ Gintung Ciputat jebol pada 27 Maret 2009 lalu, relawan FPI juga ikut berjibaku dengan lumpur.
Akhir September 2009, relawan FPI terjun ke Penjaringan, Jakarta Utara untuk membantu ribuan masyarakat yang menjadi korban kebakaran hebat di wilayah itu. Secara bersamaan, FPI juga menurunkan relawan ke Padang, Sumatera Barat yang terkena gempa 7,9 skala richter. “Saat gempa mengguncang Sumbar akhir September 2009, saya mendapati relawan FPI tekun membersihkan reruntuhan sebuah surau di kawasan Padang Pariaman”, kenang Nurbowo.
Ya, FPI memang selalu ada di setiap lokasi bencana alam. Tanpa pamrih, FPI selalu bekerja membantu korban yang terkena musibah. Di mana ada bencana, di situ ada Posko FPI. Bahkan setelah Israel membombardir Gaza selama 22 hari pada akhir 2008, Sekjen FPI KH. A. Shobri Lubis juga diutus oleh FPI memasuki Gaza untuk menyampaikan bantuan masyarakat Indonesia. Markas FPI di Kawasan Petamburan, Jakarta Pusat kerap kali dijadikan sebagai tempat dapur umum, pengobatan dan pengungsian korban ketika wilayah itu terkena banjir.
Korban Media Massa
Tapi apa mau di kata, aktivitas sosial FPI itu nyaris tak pernah mendapat tempat di media massa. Sebaliknya, yang sengaja diekspos oleh sebagian besar media massa adalah kegiatan yang dinilai oleh mereka ‘rusuh’. Kekerasan seolah menjadi brand image FPI. Meskipun kekerasan yang dimaksud sejatinya razia berbagai tempat maksiat. Memecahkan botolpun, ternyata botol berisi minuman keras.
Media massa sekuler juga kerap melakukan generalisasi. Berbagai kerusuhan, pembubaran kongres dan acara selalu diidentikkan dengan FPI. Bahkan saat aktivis FPI tak ada di tempat pun, mereka masih terkena getahnya. Sebut saja kasus Purwakarta tahun 2006. Kala itu kelompok JIL menuding FPI, HTI, MMI dan ormas-ormas Islam lainnya mengusir Gus Dur dari ruang diskusi. Padahal Gus Dur mengakui ia pulang sendiri tanpa ada pengusiran.
Paling anyar, Kasus Banyuwangi yang melibatkan anak PKI yang kebetulan menjadi Ketua Komisi IX DPR Riebka Tjiptaning Proletariyati, 24 Juni 2010 yang lalu. FPI dituduh terlibat dalam kasus pengusiran Riebka cs yang saat itu mengadakan Temu kangen Eks-PKI. "Faktanya, FPI Cabang Banyuwangi telah dibekukan dua bulan lalu. Tidak ada kegiatan organisasi di Banyuwangi. Jadi, secara organisatoris, FPI tidak bisa dikait-kaitkan," ujar juru bicara FPI Munarman.
Protap Aksi FPI
Sejujurnya, aktivitas menegakkan amar ma’ruf nahi munkar yang dilakukan oleh FPI sangatlah prosedural dan sesuai dengan hukum yang berlaku. “FPI mempunyai prosedur tetap dalam memberantas kemunkaran”, jelas Sekjen FPI KH. A. Shobri Lubis. Kepada Suara Islam, Shobri menjelaskan langkah-langkah penanganan kemunkaran yang selama ini dilakukan oleh FPI.
Pertama, harus ada laporan secara tertulis dari masyarakat yang meminta bantuan FPI untuk menyelesaikan masalah kemaksiyatan di tempat masyarakat itu.
Kedua, atas laporan masyarakat itu FPI akan melakukan investigasi. Badan Investigasi Front yang dimiliki oleh FPI yang melakukan tindakan ini. “Kita tidak memata-matai, tetapi mencari data, bukti dan melakukan tabayyun”, jelas Shobri.
Ketiga, setelah berhasil menghimpun data dan fakta, kemudian dilakukan pemetaan wilayah. Apakah jenis kemaksiyatan itu masuk ke wilayah amar ma’ruf atau nahi munkar. “Wilayah amar ma’ruf artinya kemaksiyatan itu benar-benar terjadi dan masyarakat senang, merasa tidak terusik dengan kemaksiyatan itu, sementara wilayah nahi munkar jika dengan kemaksiyatan itu masyarakat tidak suka dan resah”, paparnya.
Pembedaan wilayah ini akan berakibat pada perbedaan pendekatan, jika masuk ke wilayah amar ma’ruf FPI akan melakukan pendekatan dakwah, dengan tabligh akbar dan lain-lain, sementara jika masuk wilayah nahi munkar pendekatannya secara hukum.
Keempat, jika masuk wilayah nahi munkar, FPI akan menghimpun tanda tangan dari masyarakat yang menyatakan bahwa masyarakat resah, tidak setuju dan keberatan dengan praktik kemaksiyatan.
Kelima, setelah tanda tangan diperoleh, FPI akan melaporkan ke aparat paling rendah seperti lurah, camat dan polsek beserta dengan bukti-buktinya. “Kita minta tanda bukti atas laporan kita, kemudian kita minta batas waktunya. Jika masalah itu diselesaikan oleh aparat paling rendah ya sudah, selesai”, tambahnya.
Tetapi jika aparat tidak mampu, FPI akan membawa masalah itu ke tingkat Walikota, Bupati dan Polres, bahkan sampai ke Polda dan Gubernur. Prinsipnya FPI tidak akan melaporkan ke aparat yang jenjangnya lebih tinggi jika sudah bisa ditangani di level bawahnya.
Keenam, jika aparat tingkat Gubernur dan Polda tidak juga bertindak, maka FPI akan melakukan dialog dengan instansi pemerintah sekaligus pemilik tempat kemaksiyatan yang dimaksud. “Kita ingin tahu apa yang mereka mau dan sekaligus kita dakwahi”, ungkap Shobri. Nah, jika langkah dilaog ini juga tidak membuahkan hasil, maka FPI akan melakukan unjuk rasa secara damai.
Ketujuh, jika dengan unjuk rasa juga belum ada tindakan, maka FPI akan mengeluarkan ultimatum dan masalah tersebut akan dikembalikan kepada masyarakat. “Berarti kemunkaran ini sudah sistemik. Kami sudah tidak mampu lagi, karenanya masyarakat berhak mengambil hak hidup secara tenang dan tentram. Jangan salahkan masyarakat bila bergerak sendiri”, ujarnya.
Menurut Shobri, prosedur penanganan kemunkaran ini memakan waktu yang sangat lama. “Bisa setengah tahun, satu tahun atau bahkan lebih. Mustahil akan langsung dieksekusi”, imbuhnya.
Karena itu Shobri menyayangkan tindakan media massa yang selalu menanyangkan aktivitas kekerasan yang dilakukan FPI saat menangani kemunkaran. “Kalau ada bentrok, biasanya ada pemicunya. Mereka menyewa preman, kemudian menyerang kita. Jadi kita hanya membela diri”, jelasnya. Aksi penanganan kemunkaran oleh FPI pun sebenarnya banyak yang berakhir dengan damai. “Tapi tak diekspos oleh media”, sesalnya.
Sementara itu, menanggapi berbagai pemberitaan miring seputar FPI, Sekjen DPP Al Ittihadiyah Fikri Bareno menyatakan bahwa memang selama ini media massa tidak adil dalam memberitakan FPI. Menurut Fikri media massa sekuler itu hanya memberitakan aspek kekerasannya saja. Sementara kerja sosial kemanusiaan FPI tidak diberitakan sama sekali. “Saya kira umat Islam harus membela FPI habis-habisan”, tutupnya. (shodiq ramadhan)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!