Kamis, 15 Jumadil Awwal 1446 H / 8 Juli 2010 16:20 wib
2.761 views
TDL Naik, Rakyat Menjerit
Meski kenaikan TDL rata-rata ‘hanya’ 10 persen, tetapi dampaknya sungguh luar biasa. Harga kebutuhan pokok langsung melonjak naik. Rakyat kian menjerit.
“Mas, uang belanja hariannya sekarang ditambah ya”, pinta Meta (23 tahun) kepada suaminya. Ibu muda yang belum genap setahun menjadi ibu rumah tangga itu mengeluh.
Pasalnya nyaris semua harga kebutuhan pokok naik. Di kawasan Pasar Rebo, Jakarta Timur, setengah ekor ayam potong yang biasanya didapat dengan harga Rp. 14.000 kini naik menjadi Rp. 16.000.- Telur ayam sebelum kenaikan TDL Rp. 13.000 per kg kini menjadi Rp. 16.000 per kg.
Kegalauan yang sama rupanya saat ini sedang dirasakan oleh hampir semua ibu rumah tangga di seluruh Indonesia, terutama mereka yang berada di lapisan menengah ke bawah. Di sejumlah pasar tradisional di Semarang, Jawa Tengah misalnya, harga-harga kebutuhan pokok telah melonjak naik. Khusus komoditas bawang putih yang semula dijual Rp 11.000 per kg, kini sudah menembus harga Rp 24.000 per kg. Untuk sayuran, wortel yang semula dijual seharga Rp 5.000 per kg, kini melonjak menjadi Rp 5.500 per kg. Sementara telur ayam ras yang semula Rp 11.500 hingga Rp 12.000 per kg, kini merangkak naik menjadi Rp 14.000 per kg.
Menurut ekonom Universitas Indonesia, Nina Sapti, salah satu yang menyebabkan kenaikan harga bahan kebutuhan pokok saat ini adalah efek psikologis kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) yang telah diberlakukan oleh pemerintah mulai Kamis, 1 Juli 2010. Diperkirakan kenaikan harga ini akan terus merangkak hingga bulan Ramadhan dan saat lebaran.
Mengapa TDL Naik?
Meski bukan kebijakan populis, kenaikan TDL tetap dipaksakan. Apalagi kebijakan ini juga mendapatkan dukungan dari wakil rakyat di DPR. Pemerintah melalui Menteri Keuangan Agus Martowardojo menyatakan bahwa kenaikan TDL memang harus diberlakukan. "Dengan menunda kenaikan TDL kan subsidi menjadi lebih besar," katanya di kantor Kementerian Keuangan, Rabu (30/6/2010).
Alasan kenaikan TDL ini ditujukan agar pemerintah mampu mengendalikan besaran subsidi sebanyak Rp 55,1 triliun sebagaimana diatur dalam Pasal 8 UU No. 2 Tahun 2010 tentang APBN 2010. Subsidi ini dianggap terlampau besar, sehingga membebani APBN.
Menkeu menegaskan kembali bahwa awalnya kenaikan TDL direncanakan 15 persen di awal Januari 2010. Namun, kenaikan yang disetujui dewan rata-rata hanya 10 persen. Penundaan kenaikan TDL dari awal Januari saja sudah menambah biaya subsidi sebesar Rp 6 triliun. "Jadi kalau di 1 Juli tidak jadi naik, kita perlu tambahan subsidi Rp 4 triliun lagi," tambah Agus.
"Beban APBN terlalu berat, dengan kenaikan TDL subsidi akan lebih ringan," kata Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Mustafa Abubakar.
Selain mengurangi ”beban” subsidi, kenaikan TDL juga diyakini Mustafa bisa menekan tingkat kebocoran listrik menjadi 8-9 persen. "Dengan kenaikan TDL kami harapkan PLN bisa menurunkan kebocoran dari sebelumnya 11-12 persen," katanya.
Inflasi dan Pengangguran Naik
Kenaikan TDL secara otomatis telah menyebabkan kenaikan inflasi. Bahkan Badan Pusat Statistik (BPS) telah mengingatkan pemerintah terhadap inflasi tahun ini yang kemungkinan akan melonjak dibanding target yang diinginkan sebesar 5,3 persen.
"Karena biasanya, dampak TDL itu tidak hanya pada saat dinaikkan saja tapi ada multiplayer effect-nya, meski mungkin kecil," kata Kepala BPS Rusman Heriawan. "Kalau dampak TDL bisa dikelola, bisa saja inflasi 5,3 persen. Kalau tidak bisa, mungkin akan mendekati enam persen," tambahnya.
Tak jauh berbeda dengan BPS, menurut hitung-hitungan Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto, kenaikan TDL dapat menyebabkan kenaikan inflasi hingga 1,36 persen. jika saat ini asumsi inflasi APBN-P 2010 sebesar 5,3 persen, maka kenaikan TDL sebesar 10 persen dapat diperkirakan realisasi inflasi bisa mencapai 5,68-5,93 persen.
Selain inflasi, kenaikan TDL juga akan berdampak buruk pada sektor industri dan naiknya jumlah pengangguran.
Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Erwin Aksa menilai kenaikan TDL untuk industrik kecil menengah (IKM) dan usaha kecil menengah (UKM) akan memperlemah daya saing. "Kenaikan ini akan sangat memukul IKM dan UKM," kata anggota Komisi Ekonomi Nasional (KEN) itu.
Wakil Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Tengah, Djoko Santoso menjelaskan kenaikan listrik bagi pelaku industri seperti jatuh tertimpa tangga. Apalagi, belum lama ini kebijakan ACFTA sudah sangat memberatkan pengusaha.
Sementara Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Jawa Barat, Dedy Widjaya menilai dampak kenaikan TDL sebesar 10-15 persen, baru akan dirasakan sektor industri setelah lebaran pada September nanti. Efek terburuk dari kenaikan TDL adalah pengurangan tenaga kerja.
"Dampak kenaikan TDL yang berlaku mulai Juli ini belum dirasakan oleh kalangan industri hingga dua bulan ke depan," ujarnya di Gedung Sate, Bandung, Kamis, 1 Juli 2010.
Menurutnya, saat ini pabrik tengah mempersiapkan produk untuk puasa dan lebaran. Karena banyak order, sehingga tak terasa ada kenaikan listrik. "Tapi nanti setelah lebaran biasanya pabrik melakukan evaluasi hasil produksi. Bila terjadi penurunan, akan memaksa pabrik harus memberhentikan pekerjanya," tuturnya.
Pernyataan Dedy Widjaya dibenarkan oleh Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto. Menurutnya kenaikan TDL 10 persen akan menurunkan konsumsi listrik sektor industri sebesar 6,7 persen dan sekaligus permintaan tenaga kerja 1,17 persen.
"Berdasarkan hasil simulasi, peningkatan kenaikan TDL 10-20 persen pada Juli mendatang akan menurunkan konsumsi listrik sektor industri 6,7-13,4 persen. Kemungkinan pemutusan hubungan kerja (PHK) akan mencapai 1,17-2,36 persen," ujarnya.
Dengan angka tenaga kerja saat ini mencapai 100 juta, maka penurunan 1,17 persen berarti setara dengan 1,17 juta tenaga kerja. Artinya akan terjadi PHK 1,17 juta tenaga kerja.
Agenda Global
Kebijakan pemerintah untuk menaikkan mencabut subsidi atas BBM, Listrik dan Pupuk pada hakikatnya adalah pelaksanaan dari agenda global yang sering disebut sebagai Konsensus Washington. “Kenaikan harga itu karena pemerintah memilih untuk mendukung agenda global yang diusung negara-negara maju untuk meliberalisasi Sumber Daya Alam (SDA)”, ungkap Managing Director ECONIT, Hendri Saparini.
Dampak dari liberalisasi sektor ekonomi mengakibatkan bergesernya paradigma hubungan pemerintah dengan rakyat. Pemerintah memerankan dirinya sebagai pedagang dan rakyatnya sebagai pembeli. Dengan peran sebagai pedagang, pemerintah akan selalu menghitung untung dan rugi. Sementara harga segala komoditi diserahkan kepada mekanisme pasar. Artinya pemerintah tidak lagi bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyatnya.
Bicara tentang besaran nilai subsidi yang dianggap pemerintah sebagai “beban”, jika dibandingkan dengan beban pembayaran utang dan cicilan utang sebenarnya belumlah seberapa. Dalam UU No. 2 Tahun 2010 disebutkan bahwa total subsidi yang diberikan pemerintah untuk BBM, Listrik, Pupuk, Pangan dan Benih hanya Rp. 178,6 Trilyun, sementara menurut Kementerian Keuangan beban untuk pembayaran utang dan cicilan utang senilai Rp. 225 Trilyun. Ternyata beban utang dan cicilan utang lebih tinggi Rp. 46 trilyun lebih. Padahal itu adalah riba yang diharamkan oleh Allah Swt.
Pemimpin Zhalim
Dalam pandangan Islam, pemerintah adalah pihak yang mengurus rakyatnya. Dialah yang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan mereka. Dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim disebutkan: “Pemimpin (penguasa) adalah pengurus rakyat. Dia akan dimintai pertanggungjawaban atas pengurusan rakyatnya”.
Terkait dengan TDL, mestinya juga tidak perlu dinaikkan. Bahkan seharusnya pemerintah memberikan listrik kepada rakyat secara murah atau malah cuma-cuma. Karena listrik merupakan bagian dari harta kepemilikan rakyat dan harus dikelola untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Rasulullah saw bersabda: “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput dan api.” (HR. Abu Daud). Termasuk dalam api di sini adalah energi berupa listrik.
Menurut Islam, penguasa yang tidak berpihak pada kepentingan rakyatnya disebut sebagai penguasa yang zalim dan khianat. Ganjaran bagi penguasa yang mengabaikan kesejahteraan rakyatnya adalah diharamkan surga bagi mereka.”Tidaklah seorang penguasa diserahi urusan kaum Muslim, kemudian ia mati, sedangkan ia menipu mereka, kecuali Allah mengharamkan surga untuknya. (HR. Bukhari dan Muslim).
Ibnu Hajar Al Asqalani dalam kitab Mukhtashar Targhib wa Tarhib menuliskan dalam sub bab Ancaman Bagi Yang Menjabat Sesuatu Lalu Menyusahkan Rakyatnya Atau Berbuat Zhalim Atau Menghindar Dari Rakyat, sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Tirmidzi, ”Orang yang paling dicintai Allah pada hari Kiamat dan yang paling dekat tempatnya adalah pemimpin yang adil dan orang yang paling dibenci oleh Allah di Hari Kiamat dan yang paling jauh tempatnya adalah pemimpin yang zhalim”.
Karena itu pemimpin negeri ini terhindar dari murka Allah Swt di akhirat kelak, ekonom Hendri Saparini menyarankan agar DPR dan Pemerintah untuk menolak agenda global yang tidak sesuai dengan kepentingan rakyat. ”Juga keberanian merubah paradigma tentang hak rakyat dan kewajiban negara dalam pemenuhan kebutuhan dasar dan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat”, ujarnya. (Shodiq Ramadhan, dari berbagai sumber)
Skema Kenaikan Tarif Dasar Listrik
Berikut skema kenaikan tarif dasar listrik rata-rata 10 persen per 1 Juli yang sudah disepakati pemerintah dan DPR:
* Pelanggan 450 VA – 900 VA tidak mengalami kenaikan
* Pelanggan 6600 VA ke atas golongan rumah tangga, bisnis, dan pemerintah, dengan batas hemat 30 persen tidak naik karena tarif listriknya sudah mencapai keekonomian.
* Pelanggan Sosial dinaikkan sebesar 10 persen
* Pelanggan Rumah Tangga lainnya dinaikkan sebesar 18 persen
* Pelanggan Bisnis naik sebesar 12 persen hingga 16 persen
* Pelanggan Industri lainnya sebesar 6 persen-15 persen
* Pelanggan Pemerintah lainnya sebesar 15 persen-18 persen
* Pelanggan Traksi (untuk keperluan KRL) naik sebesar 9 persen
* Pelanggan Curah (untuk apartemen) naik 15 persen
* Pelanggan Multiguna (untuk pesta, layanan khusus) naik 20 persen
Berikut rincian kenaikan tersebut:
Pelanggan rumah tangga
* 1.300 VA Rp672/kwh jadi Rp793/kwh, naik 18 persen dengan estimasi tambahan rekening per bulan Rp24.000
* 2.200 VA Rp675/kwh jadi Rp797/kwh, naik 18 persen dengan estimasi tambahan rekening per bulan Rp43.000
* 3.500 s/d 5.500 VA Rp755/kwh jadi Rp891/kwh, naik 18 persen dengan estimasi tambahan per bulan Rp87.000
Pelanggan bisnis
* 1.300 VA Rp685/kwh jadi Rp795/kwh, naik 16 persen dengan estimasi tambahan rekening per bulan Rp22.000
* 2.200 VA-5.500 VA. Rp782/kwh jadi Rp907/kwh, naik 16 persen, dengan estimasi tambahan rekening per bulan Rp38.000
* >200 kilo VA (KVA) Rp811/kwh jadi Rp908/kwh, naik 12 persen, dengan estimasi tambahan rekening per bulan Rp20,6 juta per bulan.
Pelanggan industri
* 1.300 VA Rp724/kwh jadi Rp767/kwh, naik 6 persen, dengan estimasi tambahan rekening per bulan Rp8.000
* 2.200 VA Rp746/kwh jadi Rp790/kwh, naik 6 persen, dengan estimasi tambahan rekening per bulan Rp12.000
* 2.200 VA - 14 kVA Rp840/kwh jadi Rp916/kwh, naik 9 persen, dengan estimasi tambahan rekening per bulan Rp66.000
* >14 kVA - 200 kVA Rp805/kwh jadi Rp878/kwh, naik 9 persen, dengan estimasi tambahan rekening per bulan Rp822.000
* >200 kva. Rp641/kwh jadi Rp737, naik 15 persen, dengan estimasi tambahan rekening per bulan Rp30,2 juta.
* >30.000 kVA Rp529/kwh jadi Rp608/kwh, naik 15 persen, dengan estimasi tambahan rekening per bulan Rp1,315 miliar.
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!