Senin, 24 Jumadil Awwal 1446 H / 21 Juni 2010 10:59 wib
3.482 views
Agar Tak Berkiblat ke Old Trafford
Fatwa MUI tentang arah kiblat digugat. Dinilai terlalu sederhana dan mengesampingkan perkembangan teknologi modern.
‘’Gawat nih,’’ kata Bang Jack sambil sibuk mengukur sudut-sudut musholla. ‘’Arah kiblat mushola kita tidak pas. Melenceng, jadinya malah mengarah ke stadion Manchester United (Old Trafford).’’
Deddy Mizwar, produser yang memerankan Bang Jack dalam sinetron Para Pencari Tuhan, jelas sedang bercanda saat menampilkan adegan tersebut.
Namun belakangan, guyonan itu jadi nyata.
Setelah terjadi rentetan gempa bumi di Indonesia dan di Haiti serta Chile beberapa waktu lalu, berdasarkan hasil penelitian dan pengukuran dengan menggunakan metode ukur satelit, terjadi pergeseran arah kiblat masjid dan musholla di Indonesia. Konon, gesernya sampai 30 cm dari semula ke kanan. Deviasi arah ini kabarnya menimpa 320 ribu masjid dari 800 ribu musholla di Indonesia.
Karenanya, menurut Sutami, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama DKI Jakarta, banyak pengurus musholla dan masjid di Jakarta mengajukan permohonan pengukuran ulang arah kiblat.
Untuk menjawab persoalan tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerbitkan Fatwa No 30/2010. Melalui fatwa ini MUI menegaskan, umat Islam diminta tidak perlu membongkar masjid atau musholla kalau tujuannya hanya untuk membetulkan arah kiblat.
"Sepanjang kiblat masjid atau musholla menghadap ke barat maka tempat ibadah tersebut tidak perlu dibongkar, meskipun arah kiblat bergeser sampai 30 centimeter dari arah Ka’bah," kata anggota Komisi Fatwa MUI, Ali Mustafa Yakub, Senin (22/3).
Namun, Pakar Ilmu Falak Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, Ahmad Izzudin, menilai fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang penentuan arah kiblat harus mempertimbangkan faktor keilmuan dan teknologi yang berkembang saat ini.
"Majelis Ulama jangan hanya sekadar mengeluarkan fatwa, bahwa penentuan arah kiblat cukup menghadap ke barat," kata Izzudin dalam diskusi tentang penentuan arah kiblat di Semarang, 10 Juni lalu.
Isi fatwa MUI ini, lanjut Ketua Umum Asosiasi Dosen Falak Indonesia, telah menjadi persoalan yang harus diklarifikasi secara tuntas. Penjelasan mengenai arah kiblat dalam fatwa tersebut, kata dia, bertentangan dengan kajian ilmu falak.
Izzudin menjelaskan arah kiblat untuk umat Islam di Indonesia menghadap ke barat, serong ke utara sekitar 22 sampai 26 derajat."Terlalu sederhana jika fatwa ini dianggap sebagai solusi atas keresahan masyarakat selama ini," tandasnya.
Ia melanjutkan, pergeseran satu derajat di daerah Indonesia yang berada di khatulistiwa akan menyebabkan pergeseran arah sekitar 111 km dari Makkah. Bila shalat menghadap ke barat, berarti tidak lagi menghadap ke Makkah, melainkan bisa sampai Somalia (Afrika). Dari sebuah penelitian, dinyatakan bahwa bila azimuth kiblat Jakarta atau Semarang hanya menggunakan 287 derajat, hanya akan sampai di kota Yaman.
Itu bisa diatasi dengan memanfaatkan perkembangan alat hisab rukyah seperti theodolit dan GPS (Global Positioning System).
‘’Terlalu sederhana bila Fatwa MUI di era secanggih sekarang ini mengeluarkan fatwa bahwa kiblat Indonesia hanya menunjuk arah Barat tanpa mempertimbangkan sudut. Walaupun seandainya dikaji secara Al-Qur’an dan hadist, hal itu sah-sah saja,’’ pungkas Izzudin.
Sebaliknya, Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI Ali Mustafa Yaqub menuturkan, fatwa MUI tentang arah kiblat sudah pas. ‘’Cukup banyak masyarakat yang terbantu oleh fatwa ini. Justru yang paling utama dari penerbitan fatwa ini, masyarakaat tidak perlu lagi bimbang dan ragu dalam menjalankan ibadah sholat. Sholat yang dilakukan tetap sah dan masyarakat tidak perlu repot-repot merobohkan masjid untuk memperbaiki arah kiblat," paparnya.
Ilmu-ilmu sains seperti geografi, astronomi, dan geometri, memang memiliki peran strategis dalam Syariat Islam, karena ilmu-ilmu itu dapat membantu untuk memahami maksud teks-teks agama (Nushush al-Syariah) dan memudahkan pengamalan Syariat Islam.
Kendati begitu, Yakub menegaskan, sains tidak dapat menjadi dalil Syariat Islam. Masalahnya adalah Allah SWT tidak membenarkan adanya otoritas dalam Syariat Islam selain Allah SWT sendiri, sebagaimana dinyatakan dalam Surah al-Syura:21. Diperkuat dengan kata Nabi Muhammad SAW: "Siapa yang membuat aturan dalam agama ini yang tidak ada kaitannya dengan agama kami, maka hal itu tertolak." (HR Muslim).
Lagipula, lanjut Mustafa Yakub, dengan mengacu kepada ukuran derajat miring ke utara dan sebagainya, berarti kita telah mewajibkan shalat dengan menghadap ke bangunan Ka’bah, padahal kita tidak melihat Ka’bah. Konsekuensinya, apabila kita sedikit bergeser, maka kita tidak menghadap bangunan Ka’bah lagi.
Ia melukiskan, konon, satu derajat bergeser di Indonesia, akan bergeser menjadi 111 (seratus sebelas) kilometer di Makkah. Bagaimana pula dengan shaf shalat yang lurus dan panjang sampai 100 meter, sementara lebar Ka’bah hanya sembilan meter lebih sedikit. Tentu shaf yang 91 meter tidak menghadap bangunan Ka’bah. Artinya, tidak sah shalatnya.
Padahal, Imam Syafii (w 204 H), Imam Ibnu al-Arabi (w 543 H), Imam Ibnu Rusyd (w 595 H), dan Imam Ibnu Qudamah (w 620 H), menyatakan bahwa shalat dengan posisi shaf seperti itu adalah sah, dan itu merupakan kesepakatan ulama (ijma), tidak ada satu pun yang menyatakan bahwa shaf seperti itu tidak sah. (nurbowo)
Menceng Dikit Tak Masalah
Allah SWT berfirman: "Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram." (QS Al-Baqarah: 144). Ditegaskan oleh Nabi Muhammad SAW: "Jika kamu berdiri hendak sholat, sempurnakanlah wudhu lalu menghadaplah ke kiblat, dan bertakbirlah." (HR Bukhari).
Imam Ibnu Hajar al-Asqalani berkata,"Hadist ini menunjukkan tidak bolehnya meninggalkan arah kiblat pada sholat wajib. Ini merupakan ijma’ tapi ada rukhsah dalam kondisi ketakutan yang sangat [karena perang] " (Fathul Bari, 1/501).
Berdasarkan dalil-dalil tersebut, para ulama sepakat bahwa menghadap kiblat (istiqbal al-qiblah) wajib hukumnya bagi orang yang sholat (Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 1/667; Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, hal. 51; Muhammad al-Mas’udi, Al-Ka’bah al-Musyarrafah Adabuha wa Ahkamuha, hal. 41).
Bagi orang yang dapat melihat Ka’bah, arah kiblatnya adalah bangunan Ka’bah (‘ainul ka’bah) itu sendiri. Dalilnya firman Allah SWT (artinya) : "Dan dari mana saja kamu keluar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram." (QS al-Baqarah : 149). Imam Qurthubi berkata,"Ayat ini berlaku untuk orang yang melihat Ka’bah." (Tafsir al-Qurthubi, 2/160). Imam Syafi’i berkata,"Orang Makkah yang dapat melihat Ka’bah, harus tepat menghadap ke bangunan Ka’bah (‘ainul bait)." (Al-Umm, 1/114).
Sedang bagi orang tidak dapat melihat bangunan Ka’bah (‘ainul ka’bah), yang wajib adalah menghadap ke arah Ka’bah (jihatul ka’bah), tidak harus tepat/eksak ke arah bangunan Ka’bah.
Kalau melenceng sedikit, menurut Imam Abu Hanifah, Malik, Ahmad, dan Syafi’i (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 366), tidak masalah. Kaidah fiqih menyebutkan: Maa qaaraba al-syai’a u’thiya hukmuhu (Apa yang mendekati sesuatu, dihukumi sama dengan sesuatu itu) (M. Said al-Burnu, Mausu’ah al-Qawaid al-Fiqhiyyah, 9/252).
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!