Rabu, 6 Jumadil Awwal 1446 H / 16 Juni 2010 08:39 wib
2.204 views
Menjelang Datangnya Juli Kelabu
Oleh: Ummu Dhila (Redaktur Senior Suara Islam)
Semua hari adalah baik karena Islam tidak mengenal hari buruk. Semua bulan juga baik karena tidak ada bulan yang lebih jelek dari yang lain. Namun, bagi masyarakat Indonesia, sejak beberapa tahun terakhir bulan Juli selalu menjadi bulan yang lebih menakutkan dibanding bulan-bulan lainnya.
Bulan Juli bahkan telah menjadi ‘Juli kelabu’ yang rutin hadir meneror masyarakat. Bahkan bagi sebagian masyarakat, ‘mendung’ telah dimulai pada bulan Juni. Mengapa? Karena pada bulan inilah para orang tua, tidak hanya kelas bawah tetapi juga masyarakat menengah, harus bekerja lebih keras untuk memenuhi beban biaya pendidikan bagi anak-anak mereka yang dipastikan meningkat di bulan ini.
Kadang bahkan tidak cukup dengan bekerja keras tetapi juga harus berpikir keras untuk mencari tambahan pinjaman karena tidak tertutupi meski telah bekerja sangat keras. Tidak heran bila mulai permintaan jasa pegadaian. Menurut Direktur Perum Pegadaian, bulan Juli permintaan akan ada peningkatan minimal 20-25 persen. Barang yang dijadikan jaminan pun semakin beragam.
Saat ini tidak hanya perhiasan, yang selama ini memang sudah jamak dijadikan ‘dana jaga-jaga’, tetapi juga barang yang digunakan sehari-hari, mulai dari televisi, sepeda motor sampai rice cooker. Ini tentu merupakan fenomena sosial penting yang memerlukan kajian serius karena muncul pada saat pemerintah menyatakan kesejahteraan masyarakat dan daya beli membaik.
Bulan Juli 2010 akan berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Bukan lebih cerah tetapi justru semakin kelabu. Bulan depan masyarakat tidak hanya dihadapkan pada tambahan beban rutin musiman berupa kenaikan biaya pendidikan, tetapi juga kenaikan biaya hidup lainnya akibat diberlakukannya kenaikan harga barang-barang strategi yakni tarif dasar listrik (TDL), harga pupuk dan sangat mungkin juga kenaikan harga BBM.
Subsidi ditengah liberalisasi
Tahun lalu pemerintah menaikkan harga BBM karena alasan kenaikan harga minyak mentah dunia. Tetapi tahun ini meskipun harga minyak mentah masih dibawah US$ 80 per barel, jauh dibanding dua tahun lalu yang mencapai US$ 140 per barel, tetapi rencana pencabutan subsidi BBM sudah diwacanakan antara lain dengan pelarangan penggunaan BBM subsidi bagi sepeda motor.
Bahwa data konsumsi BBM bersubsidi oleh sepeda motor paling besar dan meningkat cepat, memang benar. Namun, kondisi tersebut terjadi karena buruk dan mahalnya pelayanan transportasi umum, sehingga banyak masyarakat menengah bawah yang beralih menggunakan sepeda motor. Tidak hanya untuk transportasi keluarga tetapi juga transportasi usaha karena bagi pengusaha mikro dan kecil tidak ada perbedaan antara transportasi keluarga dan usaha.
Menghadapi penolakan masyarakat yang menganggap rencana kebijakan tersebut tidak adil, Menko Perekonomian Hatta Rajasa membantah akan ada kenaikan harga BBM, tetapi yang benar adalah pengurangan konsumsi BBM bersubsidi dan pengalihan pemakaian BBM untuk sepeda motor dari BBM bersubsidi ke BBM tidak bersubsidi. Penjelasan tersebut aneh, karena intinya tetap saja masyarakat atau sebagian masyarakat harus mengeluarkan dana untuk BBM yang lebih tinggi. Baik dengan mengalihkan penggunaan BBM subsidi ke non subsidi, maupun membatasi konsumsi atau pembelian jumlah BBM subsidi, semua akan berdampak pada biaya hidup yang lebih berat.
Kenaikan tarif dasar listrik (TDL) yang akan mulai bulan Juli juga sangat aneh karena kenaikan tersebut dilakukan bersamaan dengan kenaikan subsidi listri. Pemerintah dan DPR memberikan tambahan margin subsidi listrik, dari 3 persen menjadi 8 persen agar PLN bisa berutang lebih besar untuk mendanai investasi. Kebijakan tersebut seolah benar karena diperlukan dana untuk menyelesaikan masalah kekurangan pasokan listrik yang sudah kronis.
Namun, keputusan ini tidak adil karena pemerintah dan DPR menyetujui kenaikan TDL tanpa didahului kewajiban bagi PT PLN untuk melakukan pembenahan dan perubahan kebijakan penyediaan energi bagi PLN. Sebagaimana diketahui kenaikan TDL terjadi karena biaya produksi terus meningkat akibat tidak adanya jaminan pasok energi. Biaya produksi tinggi terjadi akibat bauran energi (energy mix) untuk BBM mencapai sekitar 85 persen. Biaya dapat ditekan apabila PLN lebih banyak menggunakan gas dan batu bara. Namun, DPR dan pemerintah setiap tahun hanya sibuk membahas jumlah subsidi listrik tanpa pernah melakukan koreksi terhadap kebijakan penyediaan energi bagi PLN.
Hal yang sama terjadi pada kenaikan harga pupuk yang bulan Juli ini akan dilakukan minimal dengan tingkat kenaikan 30 persen. Padahal, alokasi anggaran untuk subsidi pupuk masih tetap besar dan bahkan meningkat pada APBN 2010 yang direvisi. Ini terjadi karena anggaran subsidi pupuk diperlukan bagi pabrik pupuk agar bisa membeli gas di pasar internasional yang harganya lebih tinggi, karena PLN tidak bisa membeli gas di dalam negeri. Artinya, apabila ada koreksi kebijakan tentang prioritas penggunaan gas untuk kepentingan dalam negeri, maka kenaikan harga pupuk tidak perlu dilakukan.
Fenomena yang terjadi pada kenaikan harga BBM, TDL dan pupuk adalah sama, yakni subsidi dalam APBN terus diberikan sementara harga juga terus dinaikkan. Akibatnya, masyarakat terbebani, keuangan negara juga terbebani. Masalah ini terjadi karena akar masalahnya, yakni liberalisasi sumber daya alam terutama energi, tidak diselesaikan. Padahal persoalan sangat jelas, biaya produksi BBM, listrik dan pupuk meningkat karena biaya energi yang terus naik. Tingginya harga energi terjadi akibat tidak adanya jaminan pasokan energi untuk kepentingan dalam negeri. Kelangkaan ini terjadi karena disebabkan oleh liberalisasi sumber daya alam (SDA). Sayangnya, DPR dan pemerintah tidak mau mengakui inti persoalan ini hanya karena tidak mau menghentikan liberalisasi SDA. Padahal tanpa menghentikan liberalisasi, tidak akan pernah ada solusi untuk menghentikan kenaikan BBM, listrik maupun pupuk.
Kenaikan biaya pendidikan juga menghadapi masalah yang sama. Adalah aneh bila kenaikan biaya pendidikan terus terjadi sementara alokasi anggaran pada APBN untuk pendidikan sudah sangat besar bahkan paling besar karena dipatok minimal 20 persen dari APBN. Sehingga tahun 2010 misalnya, jumlah anggaran telah mencapai Rp 221,4 triliun. Tahun depan dipastikan akan meningkat sejalan kenaikan dana APBN. Namun, besarnya alokasi anggaran tidak mengurangi beban biaya pendidikan masyarakat. Memang telah ada dana Biaya Operasional Sekolah (BOS), tetapi biaya lain-lain yang harus ditanggung siswa tidak berkurang baik untuk biaya buku, ulangan umum, ujian, dll. Juga masalah pelayanan pendidikan yang semakin senjang. Ada sekolah negeri yang sangat maju dengan dukungan gedung megah dan peralatan modern. Sementara masih sangat banyak sekolah yang tidak hanya gedungnya yang tidak layak tetapi juga kualitas guru dan infrastruktur lainnya yang sangat minim.
Tujuan pemerataan telah dikakahkan oleh tujuan mengejar penyediaan sekolah bertaraf internasional. Konsekwensinya, alokasi anggaran yang diperlukan untuk mencetak Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) telah menyedot dana besar, sehingga alokasi untuk menjamin akses pelayanan pendidikan bagi seluruh anak negeri menjadi tersisih. Padahal setelah SBI terbentuk biaya yang harus dibayarkan oleh orang tua murid sangat mahal sehingga hanya anak-anak dari keluarga mampu yang dapat mengenyam pendidikan dengan kualitas dan dukungan infrastruktur wah tersebut. Tidak mengherankan karena peralatan harus dipelihara dan diganti, guru harus dibayar lebih mahal, dll.
Untuk pendidikan tinggi, kesenjangan semakin lebar. Pendidikan tinggi bukan lagi untuk semua anak negeri, tetapi anak negeri yang pintar atau yang mampu membeli. Bahkan ada kecenderungan kemampuan membeli semakin mendapat tempat dibanding kepintaran karena sekarang hampir semua perguruan tinggi negeri telah menetapkan harga dengan sangat terbuka. Yang pasti, untuk anak-anak yang tidak mampu, kesempatan untuk memperoleh pendidikan tinggi semakin terbatas. Meskipun pemerintah menjanjikan beasiswa tetapi kursi yang akan diperebutkan bagi anak miskin hanya tinggal 20 persen.
Sebagaimana subsidi BBM, listrik dan pupuk, subsidi pendidikan tetap diberikan tetapi dibarengi dengan liberalisasi. Akhirnya, pemerintah tidak lagi menjamin kebutuhan energi maupun menjamin kebutuhan pendidikan bagi seluruh masyarakat. BBM dan listrik akan segera dibawa pada harga pasar sehingga APBN tidak akan terbebani lagi oleh subsidi energi. Sehingga tidak salah saat ada seorang Menteri yang mengatakan yang mampu pakai LPG silahkan yang tidak silahkan memakai energi lain. Pemerintah lupa bahwa UUD 1945 menjamin bahwa rakyat adalah pemilik sah SDA, sehingga tidak sepantasnya harus bersaing untuk mendapatkannya.
Dalam pendidikan juga demikian, SBI pada awalnya membutuhkan subsidi anggaran APBN yang besar, tetapi setelahnya pemerintah tidak akan terbebani lagi untuk menyediakan pendidikan. Pelayanan pendidikan dilepas pada mekanisme pasar, sehingga yang mampu membeli silahkan sekolah di sekolah bagus bernama SBI, yang tidak mampu silahkan ke sekolah regular dan yang miskin harap ‘maklum’ bila tidak dapat menikmati pendidikan. Pantas bila liberalisasi pendidikan ini juga dibarengi dengan kampanye penciptaan opini publik yang gencar bahwa ‘pendidikan memang mahal’. Akhirnya, hak setiap warga negara terhadap pendidikan tertutup oleh kampanye tersebut dan saat liberalisasi pendidikan dan harga pendidikan semakin mahal dan tak terjangkau, maka masyarakat telah ‘siap menerima’ dan nrimo.
Agenda global
Jelas bahwa kenaikan harga BBM bukan semata akibat tingginya harga minyak dunia karena toh Indonsia kaya dengan minyak mentah. Kenaikan TDL bukan karena PLN harus melakukan investasi. Naiknya harga pupuk juga bukan karena tingginya biaya produksi. Tetapi berbagai kenaikan harga tersebut karena pemerintah memilih untuk segera mendukung agenda global yang diusung negara-negara maju untuk segera meliberalisasi berbagai SDA. Negara-negara maju yang tidak memiliki SDA sangat berkepentingan terhadap liberalisasi di negara-negara kaya SDA. Pemahaman bahwa SDA harus dikuasai oleh negara untuk digunakan semaksimal mungkin bagi kemakmuran rakyat telah tergusur dan sekarang SDA telah bebas dikuasai swasta dan asing. Akibatnya, negara tidak memiliki hak untuk dengan leluasa memanfaatkannya sesuai kepentingan rakyat.
Biaya pendidikan yang semakin tinggi juga bukan karena tidak adanya dana yang dapat dialokasikan untuk memberikan pelayanan pendidikan, karena bila ada political will, SDA Indonesia masih sangat cukup untuk membiayai pendidikan. Tetapi kenaikan biaya pendidikan terjadi lebih karena pemerintah ingin segera meliberalisasi sektor pendidikan. Pemahaman bahwa pendidikan adalah hak rakyat dan kewajiban pemerintah untuk memenuhinya telah tergeser oleh agenda global yakni penyebaran paham mekanisme pasar untuk memuluskan paham liberalisasi.
Jadi, bila pemerintah ingin menghilangkan momok ‘Juli kelabu’, maka tidak ada pilihan lain bagi DPR dan pemerintah untu menolak agenda global yang tidak sesuai dengan kepentingan Indonesia. Juga keberanian merubah paradigma tentang hak rakyat dan kewajiban negara dalam pemenuhan kebutuhan dasar dan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dampak tidak sekadar inflasi
Dampak dari kebijakan yang salah ini tidak sekadar pada kenaikan inflasi yang menyebabkan daya beli masyarakat tertekan. Tetapi juga mengakibatkan daya saing industri melemah. Untuk beban inflasi misalnya, kenaikan harga BBM, TDL, pupuk dan pendidikan tidak dirasakan sama antara masyarakat golongan bawah dengan golongan atas. Data menunjukkan masyarakat bawah membelanjakan sebagian sebagian besar pendapatannya untuk makanan, transportasi, pendidikan, kesehatan, dll. Sehingga apabila terjadi kenaikan harga terhadap barang-barang tersebut pasti akan berdampak besar bagi daya beli mereka.
Sedangkan bagi masyarakat atas, semakin tinggi pendapatnnya, porsi pendapatan untuk pengeluaran kebutuhan barang-barang tersebut semakin kecil sehingga dampak kenaikan harga terhadap barang-barang tersebut jauh lebih kecil. Oleh karenanya alasan pemerintah untuk menaikkan harga-harga barang tersebut secara bersama-sama mumpung tingkat inflasi saat ini rendah hanya sekitar 4,8 persen, sangat menyederhanakan masalah. Entah karena ketidaktahuan atau karena ketidak pedulian. Data BPS menunjukkan sumber inflasi terbesar selalu pada pendidikan treanspotasi bila terjadi kenaikan harga BBM.
Saat terjadi kenaikan harga BBM, terjadi inflasi pangan hingga 11,3 persen dan transportasi mencapai 10,5 persen, jauh diatas rata-rata inflasi yang hanya 6 persen. Sedangkan untuk pendidikan kenaikan inflasinya pada tahun 2008 juga mencapai 8,5 persen. Artinya dari sisi alasan data dan fakta lapangan, pilihan menaikkan harga BBM, TDL, pupuk pada saat masyarakat juga menghadapi tingginya inflasi pendidikan sangat tidak cerdas. Apalagi bila mempertimbangkan tanggung jawab pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan atau paling tidak menjaga agar kesejahteraan masyarakat tidak semakin tertekan.
Beban yang akan dihadapi masyarakat akan ditambah lagi dengan fakta daya saing produk mereka yang akan semakin lemah dengan kenaikan harga BBM dan TDL. Telah saya sampaikan bahwa bagi masyarakat bawah maupun usaha mikro kecil menengah (UMKM), tidak dapat dibedakan antara alat transportasi keluarga dan alat transportasi bisnis. Mobil dan juga motor mereka gunakan untuk kepentingan keluarga sekaligus untuk transportasi usaha. Kebijakan BBM yang akan mengakibatkan mereka harus membayar biaya transportasi lebih tinggi pasti akan membebani usaha mereka. Kenaikan biaya produksi akan berdampak pada daya saing.
Ditengah gempuran produk-produk murah dari China, tentu saja kenaikan BBM, TDL dan pupuk yang dilakukan secara bersamaan akan sangat menekan tingkat daya saing dari produk-produk dalam negeri tidak hanya yang diproduksi oleh UMKM tetapi juga usaha besar. Semakin jelas bahwa ternyata pilihan kebijakan ekonomi yang dijalankan pemerintah tidak memiliki arah dan keberpihakan yang tegas terhadap kepentingan masyarakat bawah dan kepentingan nasional. Sayangnya, tidak ada yang dapat dilakukan masyarakat untuk menghadapi Juli yang akan semakin kelabu. **
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!