Jum'at, 3 Jumadil Awwal 1446 H / 23 April 2010 16:22 wib
2.455 views
Usaha Pembatalan UU No 1/PNPS/1965 Kandas
Khutbah Ad Dakwah edisi 70
Kaum muslimin rahimakumullah,
Alhamdulillah pada hari Senin, 19 April 2010, Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak seluruh permohonan untuk membatalkan UU No 1/PNPS/1965.
Para pemohon yang terdiri dari 7 LSM liberal dan 4 tokoh liberal menilai bahwa UU No 1/PNPS/1965 bertentangan dengan konstitusi (UUD 1945) dan HAM serta diskriminatif dan sudah tidak relevan lagi karena dibuat pada masa darurat.
Namun semua argumentasi pemohon ditolak MK. Artinya, MK tetap menganggap bahwa UU tentang larangan penodaan agama itu masih relevan karena sudah disaring oleh TAP MPRS tahun 1966 dan diundangkan kembali tahun 1969 dalam suasana yang sudah normal. Juga MK berpendapat bahwa UU tersebut tidak bertentangan dengan konstitusi dan HAM serta tidak diskriminatif, bahkan merupakan bentuk toleransi.
Kaum muslimin rahimakumullah,
Dalam satu pertimbangannya, MK menyebut bahwa HAM di Indonesia tidak bisa disamakan dengan HAM di negara-negara sekuler yang secara tegas memisahkan agama dari negara. Indonesia secara historis kelahirannya tidak bisa dipisahkan dari agama. Menurut UUD 1945, Indonesia adalah negara yang berdasarkan kepada ketuhanan YME, merdeka dengan berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, rumusan BPUPKI menyepakati negara berdasarkan ketuhanan dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya, adanya kebebasana beragama yang dijamin oleh UUD1945, juga dijadikannya pertimbangan agama sebagai pembatas HAM.
Dalam praktek kenegaraan, dibentuk Departemen Agama, hari-hari besar agama yang dijadikan hari libur nasional, dan adanya hukum-hukum agama seperti nikah, talak, rujuk, cerai, zakat, dan wakaf yang dijadikan UU negara. Oleh karena itu, kebebasan beragama di Indonesia tidak bisa disamakan dengan di negara-negara sekuler Barat atau negara komunis yang boleh mengkampanyekan penodaan agama maupun mengkampanyekan untuk tidak beragama sama sekali.
Kaum muslimin rahimakumullah,
Satu hal yang menarik yang ditangkap oleh MK adalah bahwa para pemohon mengajukan tesis penafsiran bebas. Memang para pemohon yang berideologi liberal selalu mengatakan bahwa bahwa siapapun boleh membuat tafsir atas agama, dan adanya perbedaan tafsir tidak boleh dihukumi sebagai penyimpangan atau penodaan agama. Bahkan termasuk aliran Ahmadiyah yang jelas-jelas menyimpang dan sudah difatwakan kesesatannya oleh para ulama sedunia itu mereka sebut sebagai perbedaan tafsir yang merupakan hak asasi. Tidak boleh disalahkan, disesatkan, apalagi dikriminalisasikan.
Oleh karena itu, mereka mengecam pasal 1 dari UU No1/PNPS/1965 sebagai pasal yang melanggar HAM dan sangat diskriminatif terhadap minoritas yang memiliki tafsiran agama yang berbeda dengan tafsiran mayoritas. Untuk melengkapi argumentasi mereka, mereka mengatakan, Musailamah al Kaddzab yang mengaku nabi di masa Rasulullah saw. tidak dihukum. Dan ketika Khalifah Abu Bakar r.a. memerangi Musailamah bukan karena perbedaan tafsir, tapi karena makar politik.
Kaum muslimin rahimakumullah,
Tentu saja argumentasi kaum liberal tersebut tidak valid. Sebab, Rasulullah saw. menghukumi nabi palsu sebagai pendusta (kaddzab). Tatkala ada dua orang utusan Musailamah mendatangi Rasul, maka beliau berkata kepada keduanya: “Apakah kalian berdua bersaksi bahwa aku adalah Rasulullah?” Kedua utusan Musailamah itu menjawab: “Kami bersaksasi bahwa Musailamah rasulullah”.
Maka Rasulullah saw. berkata: “Kalau sekiranya aku adalah pembunuh utusan, pasti aku sudah membunuh kalian berdua”. Artinya, kalau seandainya kedua orang itu bukan utusan, maka Rasulullah saw. pasti membunuhnya karena pernyataan syahadatnya kepada nabi palsu Musailamah al Kaddzab! Dengan demikian jelaslah bahwa Musailamah dan para pengikutnya sudah diputuskan hukumannya oleh Rasulullah saw., yakni hukuman mati.
Hanya saja, untuk eksekusinya harus didahului dengan ajakan bertobat (istitabah). Kalau tidak mau bertobat juga dalam tempo tertentu, maka akan dilaksanakan eksekusi hukuman mati itu. Dan bila jumlah mereka besar, maka diperangi. Di masa Khalifah Abu Bakar r.a., beliau mengirim sejumlah besar pasukan kaum muslimin untuk membawa surat beliau kepada Musailamah yang berisi ajakan bertobat, kembali kepada Islam. Namun karena Musailamah dan sekitar 40 ribu pengikutnya dari kalangan Bani Hanifah menolak bertobat, maka mereka diperangi hingga Musailamah terbunuh. Sebagian mereka dibunuh, sebagaian lagi bertobat, kembali kepada pangkuan Islam.
Kaum muslimin rahimakumullah,
Kaum liberal mengaburkan pengertian menyimpang dengan perbedaan pendapat. Supaya mereka mendapatkan poin bahwa semua tafsir benar, tidak ada yang menyimpang. Sedangkan perbedaan tafsir adalah wajar. Mereka tidak bisa atau pura-pura tidak bisa membedakan antara perbedaan (ikhtilaf) dengan penyimpangan (inhiraf). Padahal masalah itu sudah jelas dan dipahami semua kalangan.
Mengatakan sholat subuh 3 rakaat adalah penyimpangan. Semua kalangan sepakat untuk menyatakan bahwa itu adalah pendapat yang menyimpang dan orang yang meyakininya bisa dihitung sesasat dan murtad. Harus diminta kembali ke jalan yang benar, tidak bisa ditolerir. Namun pernyataan bahwa di dalam sholat subuh ada qunut atau tidak, maka ini adalah perbedaan pendapat yang masing-masing bersikap toleran dan menghargai perbedaan pendapat yang ada. Namun kalangan liberal memaksakan pendapat mereka. Dan itu tentunya tidak pas dan tidak bisa diterima.
Hakim konstitusi mengatakan bahwa tafsir ada yang benar dan ada yang salah. Tafsir yang menyimpang berpotensi mendapatkan penolakan yang besar dan dapat menimbulkan keresahan serta konflik, sehingga negara harus turun untuk mencegahnya.
Kaum muslimin rahimakumullah,
Jika tesis kaum liberal tersebut diterima, maka setiap saat akan bisa muncul nabi baru, tuhan baru, agama baru, dan terutama, tafsir-tafsir baru yang akan mengacak-acak Al Quran sebagaimana yang sudah dikerjakan oleh Ahmadiyah dan kaum liberal. Padahal Rasulullah saw. bersabda: “Siapa saja yang berkata tentang Al Quran dengan tanpa ilmu (dalam riwayat lain dikatakan dengan pendapatnya sendiri), maka hendaknya dia menyediakan tempat duduknya pada api neraka” (HR. Nasai, Tirmidzi, Tabrani, dll).
Kaum muslimin rahimakumullah,
Syukurlah MK menolak permohonan mereka yang sejatinya adalah upaya meliberalisasi agama. Dalam perspektif Islam hal itu merupakan suatu bentuk serangan kepada ajaran Islam dengan target memurtadkan umatnya. Allah SWT berfirman:
“..mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup.. (QS. Al Baqarah 217).
Mewaspadai hal itu, umat Islam harus terus bersatu berpegang teguh kepada agama Allah (QS. Ali Imran 103) dan terus mengkonsolidasikan diri supaya bisa menangkis dan mematahkan serangan-serangan mereka yang hendak menyerang dan merusak agama Allah SWT. Baarakallah lii walakum!
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!