Rabu, 21 Jumadil Awwal 1446 H / 31 Maret 2010 15:40 wib
2.585 views
SBY Anti - Korupsi, Indonesia Negeri Terkorup
Oleh : Amran Nasution
Gayus Halomoan Tambunan, 30 tahun, adalah mimpi anak muda Indonesia saat ini. Betapa tidak? Ia muda, lumayan tampan, dan ini yang terpenting: di dalam rekeningnya di bank ada duit Rp 25 milyar. Rumahnya mewah di kawasan elit Park View Kelapa Gading, Jakarta Timur, tak jauh dari sekolah Islam Al-Azhar.
Beberapa mobil mewah menghias garasinya di antaranya Ford Everest yang harganya di atas Rp 350 juta. Konon dia masih memiliki beberapa apartemen di Jakarta dan di Singapore. Semua itu diperolehnya dengan cepat, dalam tempo 5 tahun – tanpa perlu kerja keras – mirip para tokoh muda dalam cerita film sinetron, mimpi yang dijual di berbagai televisi kita.
Belum lama Gayus bersama orang tuanya masih menempati gubuk reot di sebuah gang sempit di Jalan Warakas, pemukiman miskin dan padat di Tanjung Priok. Tak ada keistimewaan keluarga ini dibanding para tetangganya. Hanya saja ketika itu Gayus berhasil menyelesaikan kuliahnya di Program Diploma Sekolah Tinggi Akutansi Negara (STAN) di kawasan Bintaro dan itu mengantarkannya menjadi pegawai negeri sipil di Direktorat Jenderal Pajak, Departemen Keuangan, Jakarta. Setelah itu semuanya berubah.
Pegawai Pajak menjadi kendaraan bagi Gayus mengubah nasibnya dengan cepat atau oleh para ahli ilmu sosial disebut sebagai mobilitas vertikal. Dari keluarga miskin atau masyarakat kelas bawah, Gayus mengalami mobilitas vertikal, meloncat menjadi anggota kelompok kelas menengah (middle class) yang hidup serba berkecukupan.
Sayang kehidupan manis Gayus mengalami ‘’kecelakaan’’. Sekarang anak muda itu buron dan dikabarkan berada di Singapore. Itu semua terjadi karena laporan Komisaris Jenderal (Komjen) Susno Duadji kepada Satuan Tugas (Satgas) Mafia Hukum bentukan Presiden SBY.
Sebetulnya Satgas belum mengambil tindakan apa pun karena memang secara hukum Satgas itu tak punya wewenang jelas dan tampaknya lebih untuk kepentingan memoles citra Presiden SBY yang babak-belur oleh kasus cicak versus buaya.
Tapi kegigihan bekas Kepala Badan Reskrim Mabes Polri itu membongkar skandal korupsi dan makelar kasus (Markus) ini kepada pers – terutama televisi – menyebabkan kebobrokan di kepolisian dan Departemen Keuangan (Ditjen Pajak) terbuka kepada publik. Apalagi kasus ini melibatkan setidaknya dua jenderal polisi dan boleh jadi juga sejumlah atasan mereka.
Tak aneh kalau Susno diupayakan dijerat dengan berbagai cara oleh polisi untuk dijadikan tersangka dan kalau bisa ditangkap dan ditahan. Padahal sebagai orang yang membongkar skandal korupsi, Susno mestinya dilindungi dan diberi penghargaan sebagai whistle-blower (peniup pluit). Contoh konkretnya sudah ada yaitu mantan anggota DPR dari PDIP, Agus Condro. Ia melapor ke KPK telah menerima duit Rp 500 juta untuk memilih Miranda Gultom. Karena laporan itu, kini sejumlah anggota DPR terutama dari Fraksi PDI, Golkar, dan PPP, mendekam dalam penjara, sementara Agus Condro bebas berkeliaran.
Kalau selama ini Menteri Keuangan Sri Mulyani dan para pendukungnya, terutama kelompok kapitalisme liberal, mengkampanyekan bahwa reformasi birokrasi di Ditjen Pajak dan Bea Cukai telah berhasil mengatasi korupsi, sekarang semua promosi itu terbukti omong-kosong. Gayus menjadi sampel untuk menunjukkan apa yang sesungguhnya terjadi di institusi paling ‘’basah’’ di republik ini.
Dirjen Pajak Mochamad Tjiptardjo mencoba meyakinkan masyarakat dengan mengatakan jangan mengeneralisasi (gebyah-uyah) kasus mafia pajak Gayus Tambunan, seolah-olah kasus itu merupakan tindakan yang umum dilakukan aparat dan pejabat Pajak. ‘’Jangan sampai karena perbuatan Gayus, semua dianggap salah dan masyarakat tak mau membayar pajak,’’ kata Tjiptardjo.
Tapi usaha itu agaknya sia-sia. Masyarakat sudah kepalang kehilangan kepercayaan kepada aparat Pajak yang di tengah masyarakat sering ditemukan hidup bermewah-mewah. Di internet sudah muncul kampanye jangan bayar pajak selama departemen keuangan masih menjadi sarang mafia pajak yang melibatkan kaum facebooker.
Kalau Tjiptardjo benar, pertanyaannya: kenapa Gayus dibiarkan padahal kasusnya sudah sampai ke polisi sejak beberapa bulan lalu (hanya belum dipublikasikan media massa). Malah Ditjen Pajak dan polisi membiarkan saja Gayus kabur ke Singapore, 24 Maret lalu. Dan satu lagi: umpama ikan, Gayus tak mungkin bisa hidup lama sebagai mafia pajak bila suasana di Ditjen Pajak tak memberinya kesempatan untuk bernapas.
Tjiptardjo, Sri Mulayani, bahkan Presiden SBY, perlu diingatkan bahwa sekarang, di tahun 2010 ini, Indonesia adalah negara paling korup di seluruh Asia-Pasifik. Awal Maret lalu, Political & Economic Risk Consultancy (PERC), perusahaan konsultan dari Hongkong mengumumkan hasil risetnya yang melibatkan 2174 eksekutif senior dan menengah, ekspatriat dari Amerika Serikat atau Australia, mau pun pribumi Asia.
Ternyata dari survei itu Indonesia menempati ranking pertama negara paling korup dengan skor 9,07 (dari skor 10). Skor itu meningkat dari tahun lalu, 7,69. Artinya, negeri ini lebih korup dibanding tahun lalu. Posisi kedua ditempati Kamboja, disusul Vietnam, Filipina, Thailand, India, China, Malaysia, Taiwan, Kores Selatan, dan seterusnya. negeri paling bersih adalah Singapore.
Sulit dibayangkan ternyata Indonesia lebih korup dari Kamboja dan Vietnam, padahal pada musim kampanye lalu, Presiden SBY berpromosi besar-besaran untuk meyakinkan rakyat bahwa pemerintahannya telah sukses memberantas korupsi. Selain SBY, para tokoh Partai Demokrat seperti Anas Urbaningrum, Andi Mallarangeng, dan Edhi Baskoro (putra SBY) ditampilkan sebagai bintang iklan televisi mempromosikan betapa konsisten SBY dalam melawan korupsi.
Sekarang terbukti promosi dan iklan cuma bualan yang mengibuli rakyat. Apalagi kemudian meledak kasus Bank Century yang di baliknya sesungguhnya adalah skandal dana politik untuk kepentingan pendanaan Pemilu. Sayang Pansus Bank Century DPR tak berhasil mengungkap aliran dana dengan serius karena sesungguhnya Pansus sendiri didominasi anggota partai koalisi pendukung Presiden SBY.
BINTANG FILM JOROK PUN TAMPIL
Kalau kita mau jujur sesungguhnya tingkat korupsi yang gila-gilaan sekarang sudah lebih parah dibanding zaman Orde Baru. Di zaman Orde Baru, korupsi terpusat pada keluarga Cendana serta para kroni, lalu ke bawah berpusat di lingkungan pusat kekuasaan daerah, terutama yang punya jalur ke Cendana.
Sekarang terjadi massifikasi korupsi dari tingkat pusat sampai daerah. Kiai Haji Zainuddin MZ, dai sejuta ummat sering memakai ungkapan ‘’korupsi berjamaah’’ untuk menggambarkan parahnya korupsi saat ini. Korupsi terjadi di pemerintah pusat, daerah, DPR, DPRD, Bank Indonesia, BUMN, dan seterusnya.
Kenapa semua ini terjadi? Tak lain karena sistem rekrutmen politik yang kita gunakan sekarang adalah korup. Seperti diketahui sudah lebih lima tahun ini kita menggunakan sistem pemilihan langsung untuk rekrutmen politik, mulai pemilihan Presiden, Gubernur, Bupati atau Walikota, mirip yang terjadi di Amerika Serikat.
Sistem ini memang terasa lebih demokratis karena melibatkan langsung rakyat tapi dengan biaya yang amat mahal. Sekadar contoh, dalam kampanye pemilihan Presiden Amerika Serikat di tahun 2008, calon Presiden dari Partai Demokrat Barack Obama mengumpulkan dana sekitar Rp 4 triliun. Sebuah jumlah yang sangat banyak.
Tapi Obama bisa mengumpulkan dana sebanyak itu karena rakyat memang mampu menyumbang – dengan pendapatan perkapita 50.000 dollar/tahun -- selain hal itu sudah membudaya, telah berlangsung 200-an tahun.
Tapi Indonesia? Terus-terang kalau mau jujur di sini tak ada budaya rakyat harus menyumbang para pemimpinnya. Dalam setiap kerepotan politik rakyatlah yang selalu harus disumbang. Itulah yang selama ini terjadi dalam pemilihan Walikota, Bupati, Gubernur, Presiden, atau DPRD sampai DPR.
Oleh sebab itu sudah rahasia umum untuk menjadi calon anggota DPR harus ada modal sedikitnya Rp 2 milyar. Calon bupati minimal harus mengumpulkan Rp 10 milyar. Jumlah melonjak menjadi minimal Rp 25 milyar untuk calon gubernur. Kabar yang beredar menyebutkan dalam Pilkada Gubernur Jawa Timur dana yang berputar mencapai triliunan rupiah. Entah berapa ratus milyar atau triliunan rupiah pula untuk pencalonan Presiden/Wakil Presiden.
Pertanyaannya: dari mana dana diperoleh sedang rakyat tak punya budaya menyumbang? Jawabannya adalah pengusaha atau konglomerat hitam. Oleh karenanya skandal semacam Bank Century itu selalu dibutuhkan.
Di berbagai daerah sekarang sedang terjadi persiapan pemilihan Bupati atau Gubernur. Maka sudah lama terdengar bisik-bisik bahwa berbagai proyek diperjual-belikan oleh para calon dengan para penyumbang, yang tak lain adalah para pengusaha. Memang ada spekulasi di sini: proyek melayang bila sang calon ternyata kalah.
Selain duit, popularitas terbukti sebagai modal yang diperlukan. Karena itulah sejumlah pelawak dan bintang sinetron sibuk mencalonkan diri menjadi bupati atau walikota. Karena yang diperlukan adalah populeritas maka para bintang film jorok pun bisa laku menjadi calon.
Dalam kondisi seperti inilah korupsi di Indonesia kian tahun kian menggila. Memang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus menangkap koruptor. Gubernur BI, beberapa gubernur atau bupati, para pejabat BUMN, mantan menteri, bahkan besan kandung Presiden SBY sendiri, sudah masuk penjara. Tapi selama sistem yang kita gunakan tetap korup maka korupsi tak akan pernah berkurang.
China sebagai contoh. Untuk memberantas korupsi yang merajalela bersamaan dengan tumbuhnya perekonomian negeri itu, pemerintah memilih tindakan keras dengan menggunakan hukuman mati. Banyak pejabat tertangkap korupsi sudah dieksekusi dengan menembak kepalanya. Sebelumnya, koruptor itu dibawa berkeliling dengan truk dipertontonkan kepada masyarakat.
Ternyata para koruptor bertambah nekad saja. Jumlah dana yang dikorup bertambah besar lalu para koruptor melarikan diri ke Eropa atau Amerika. Pemerintah China mengalami kesulitan menguber para koruptor yang bersembunyi di luar negeri karena alasan hukuman mati.
Negara Eropa sudah tak lagi memperlakukan hukuman mati. Amerika Serikat memang masih kenal hukuman mati tapi dengan selektif, terbatas pada kejahatan dengan kekerasan seperti terorisme, pembunuhan, perkosaan, dan semacamnya. Sedang korupsi dianggap kejahatan kerah putih yang tak boleh dihukum mati.
Karena alasan ini ditambah gencarnya kampanye menyerang China oleh lembaga HAM internasional, akhirnya pemerintah China mulai selektif. Hukuman mati tak lagi bisa dieksekusi sebelum melewati proses kasasi ke Mahkamah Agung di Pusat. Sejak itu kasus hukuman mati koruptor mereda.
Dengan cerita ini yang ingin dikatakan: koruptor tak bisa dikurangi dengan main tangkap model KPK. Apalagi belakangan terdengar kabar para pejabat KPK pun mulai bisa diajak main mata atau ada pejabat KPK yang bisa digarap oleh kekuasaan untuk mengamankan korupsi Bank Century. Toh mereka di KPK itu juga manusia biasa.
Korupsi hanya bisa dikurangi dengan memperbaiki sistem. Sistem yang korup harus direformasi. Tapi reformasi di sini bukan model yang dilakukan Menteri Keuangan Sri Mulyani: dengan hanya menaikkan gaji. Langkah itu dulu sudah pernah dilakukan Presiden Soeharto dengan menaikkan gaji hakim dan pegawai bea-cukai 9 kali lipat, tapi hasilnya nol besar.
Dengan gaji Rp 12 juta/bulan sesungguhnya Gayus sudah bisa menjalani hidup layak. Tapi kalau kesempatan terbuka lebar di tengah suasana kerja yang korup, tentu saja gaji Rp 12 juta terasa tak memadai.
Betul sistem penggajian harus direformasi. Tapi itu harus disertai pembenahan sistem pengawasan yang memadai, sistem reward (wortel) dan punishment (cambuk) yang benar, dan sistem rekrutmen yang obyektif. Dengan perbaikan sistem secara perlahan budaya bersih dari korupsi akan terbentuk.
Kalau dengan cara-cara adhok seperti sekarang – membentuk KPK atau Satgas anti-Mafia Hukum – korupsi di negeri ini akan terus melonjak. Kemudian isu korupsi rawan dipolitisasi oleh pihak yang berkuasa untuk membentuk citra seolah-olah rezimnya paling anti-korupsi. Itulah yang sesungguhnya terjadi sekarang.
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!