Senin, 18 Jumadil Awwal 1446 H / 15 Juli 2019 03:38 wib
8.083 views
Dari Perpustakaan ke Pelaminan
Oleh:
Faris Ibrahim
Mahasiswa Jurusan Aqidah- Filsafat di Universitas al- Azhar, Kairo
BETUL kata orang- orang, “menikah adalah sunnah yang paling lama.” Layaknya sebuah perjalanan, apabila ia memakan waktu yang lama, sudah selayaknya bagi pejalan untuk mawas diri‒ mempersiapkan ragam bekal, memeriksa bahan bakar, siap sedia peta kongkrit segala tujuan. Pepatah Arab sering bilang, “siapa yang mengetahui jauhnya jalan, hendaklah ia bersiap- siap.” Ya, tepat sekali, pernikahan memang harus disiapkan; karena pernikahan adalah perjalanan yang panjang.
Berkembang biak adalah ciri alamiah makhluk hidup. Hewan, tumbuhan, semuanya berkembang biak dengan caranya. Oleh sebab itu, Islam men-syariatkan pernikahan. Tidak ada sesuatu yang di-syariatkan Allah untuk makhluknya, melainkan pasti sesuai dengan fitrahnya. Pernikahan adalah fitrah kemanusiaan. Namun demikian, pernikahan dalam Islam bukan semata- mata adalah tentang berkembang biak‒ menjaga eksistensi spesies agar tidak punah. Pernikahan dalam Islam, lebih dari sekedar itu.
Pernikahan manusia dalam Islam bukan sepert imana kebanyakan kata orang yaitu keadaan di mana laki- laki dan perempuan bisa saling menikmati, itu saja, segalanya. Di buku Adwa’ fin Nudzum al- Islamiyyah, para dosen kami di al- Azhar mendaras, bahwa manhaj Islam dalam membangun keluarga lewat pernikahan menjadi berbeda, karena disisipi tekad mulia, yaitu tekad untuk membangun peradaban. Itulah yang membedakan manusia dari tumbuhan dan binatang; yaitu tekad untuk melahirkan generasi yang terus menjadi lebih baik hari ke hari.
Membangun peradaban, tentu bukan kerja perorangan, maka dari itu Islam mensyariatkan pernikahan; karena membangun peradaban adalah kerja bersama. Lagi – lagi itulah juga yang membedakan manusia dan binatang, serta makhluk hidup lainnya. Bagi sejarawan kenamaan seperti Yuval Noah Harari, kerjasama adalah jawaban paling logis yang menjelaskan kenapa manusia ribuah tahun belakangan hari ini menguasai setiap aspek kehidupan di muka bumi. Rayap, semut, gorila, kera, semuanya hidup berkoloni juga bekerjasama, namun tidak ada dari mereka yang punya tekad sepertimana manusia; membangun peradaban yang menghegemoni.
Maka dari itu, Islam memandang pernikahan sebagai asas yang paling asasi. Jika peradaban adalah sebuah bangunan, maka pernikahan adalah pondasi utamanya. Keluarga adalah tiang penyanggahnya. Suami dan istri adalah arsitek bangunan itu. Jika mereka ingin membangun bangunan yang kokoh, mereka harus punya kemampuan bekerjasama yang baik, dan kerjasama yang baik tentu lahir dari komunikasi yang baik. Maka dari itu, adalah hal yang mesti bagi laki- laki maupun perempuan, untuk memilih arsitek pendamping yang cakap berdiskusi.
Karena satu dari hikmah pernikahan dalam Islam adalah kerjasama. Laki- laki dapat menutupi waktunya mengurusi urusan dapur, perempuan dapat menemukan sosok yang menjamin kehidupannya secara materi. Kerjasama lainnya terdapat pada usaha mendidik anak. Anak butuh asupan sifat kepemimpinan seorang ayah, kelembutan dan kasih sayang seorang ibu. Itu semua tidak akan terlaksana dan tersampaikan, kecuali dengan kemampuan komunikasi yang baik, antara suami dan istri, lewat diskusi.
Maka dari itu, nikah sebenanya adalah perkara sederhana. menikah adalah urusan mencari partner diskusi. Dari sekian banyak penyetaraan yang dituahkan syariat‒ mencari pendamping yang setara secara pengetahuan boleh jadi adalah salah satu yang banyak dilewatkan oleh kebanyakan orang. Kegusaran itulah mungkin yang melandai di kepala filsuf peradaban Islam asal Aljazair, Malik bin Nabi, yang kemudian terterjemahkan menjadi sebuah kisah cinta yang menarik.
Kisah cinta itu bermula dari kebiasaannya yang dawam mengunjungi sebuah perpustakaan di Paris. Saban hari, tak disangka, ia dilanda kesulitan mencari buku favoritnya di rak perpustakaan tersebut.
Berkali- kali ia coba tanyakan pada penjaganya, selalu saja jawabannya datar, “buku itu sekarang sedang dipinjam oleh seorang perempuan,” ujar si penjaga perpustakaan mengabarkan.
Anehnya, penjaga perpustakaan itu juga tak pernah absen bilang, bahwa buku yang sering dicari oleh perempuan itu selalu sedang dipinjam oleh Benabi (panggilan Malik bin Nabi)
Kasus unik itu terus berulang- ulang terjadi. keadaan itulah yang mendorong mereka saling cari- mencari satu sama lain demi memenuhi hajat literasi setiap mereka.
Singkat cerita, akhirnya mereka berkenalan. Ternyata bertukar buku bukanlah akhir dari pertemuan mereka. Diskusi demi diskusi membuat mereka menemukan banyak kesamaan pemikiran. Kesamaan- kesamaan itulah yang kemudian menghadirkan cinta di antara keduanya.
Malik bin Nabi dan Celistine Poul Phelipion akhirnya memutuskan untuk menikah. Sang insiator gagasan KTT Asia- Afrika itu, bukan hanya beruntung memiliki kolega baru untuk dapat diajak berdiskusi tentang banyak hal, masuk islamnya Celistine semakin menyempurnakan kebahagiannya dan cita- citanya membangun kembali peradaban Islam lewat jabaran filsafat kebangkitannya.
Dari perpustakaan ke pelaminan, begitulah kebanyakan orang sering menyebut kisah cinta Malik bin Nabi dan Celestine‒ terutama penggemar filsafatnya. Tidak banyak hari ini pria sepertimana drinya yang punya visi pernikahan yang luhur lagi mulia, mencari partner diskusi‒ memikirkan bersama peradaban Islam‒ kelahirannya, syarat- syarat kebangkitannya, masalah- masalah utamanya‒ sebagaimana banyak terurai di banyak bukunya yang ditulis berbahasa Perancis, dituntun oleh istrinya tercinta.
Adakah hari ini para bujang seperti Benabi muda, yang memikirkan dengan amat sangat makna luhur yang tersirat dalam ikatan pernikahan. Benabi bertemu dengan belahan hatinya di perpustakaan‒ tempat ilmu pengetahuan bermuara. Apalah dikatanya, apabila ia melihat pemuda- pemuda Islam hari ini, menemukan jodohnya sebatas hanya dari kesan yang lewat melihat foto menarik di sosial media, ketemu sepintas di alun- alun kota, atau yang lebih miris, jodohnya ketemu karena hasil kecelakaan hina cinta satu malam. Sungguh malang.
Menikah adalah memilih teman‒ pendamping perjalanan panjang. Bukankah menyenangkan, jalan- jalan sambil bercakap- cakap tentang ragam hal, bercanda ria, tertawa bersama sambil melewati panjangnya pematang sawah indah pinggiran jalan, tentu merupakan suatu kesenangan. Namun demikian, pernikahan tentu tidaklah selamanya tentang jalan lurus, bagus, tanpa gajlukan dan hambatan kemacetan.
Di sinilah peran pasangan sebagai partner diskusi dapat menentukan. Ikut memberi masukan tentang destinasi yang menyenangkan, memilihkan alternatif jalan yang paling menjanjikan, menenangkan kala kemacetan mulai memanggang emosi, semua itu menjadi absah di tangan pasangan idaman yang cakap diajak kerjasama, berdiskusi juga pandai berkomunikasi.
Se- kufu' ada banyak ragam. Namun, yang tidak kalah penting adalah mencari mereka yang se- kufu' secara taraf kualitas pemikiran. Karena memilih pasangan adalah memilih kolega untuk dapat bersama membangun peradaban. Bangunan yang kokoh nan menarik hanya bisa dibangun oleh arsitek- arsitek cerdas lagi piawai.
Mereka para pasangan idaman, bukan hanya meneduhkan kala menjadi teman perjalanan panjang. Mereka adalah ilmuwan yang selalu siap ditantang berdiskusi meloloskan dalil- berdiskusi ragam perbedaan untuk dapat bertemu dalam satu titik persamaan, kemudian bekerjasama memperjuangkannya.
“There is no surer foundation for a beautiful friendship than a mutual taste in literature”‒ P. G. Wodehouse
Allahu a’lam.*
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!