Rabu, 4 Jumadil Awwal 1446 H / 9 November 2016 09:30 wib
7.233 views
Revolusi Masjid; Sebuah Keharusan (Bagian-1)
Oleh: Imron Supriyadi
(Penulis adalah Jurnalis dan Dosen Luar Biasa Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang)
Masjid secara bahasa berasal dari kata ”sajada – yasjudu” yang isim masdarnya adalah masjidan, yang artinya bersujud atau tempat orang bersujud. Dalam terminologi Islam, masjid berarti sebuah bangunan yang berdiri di sebuah tempat, dengan dilengkapi kubbah, dan diatasnya ada tulisan ”Allah”.
Dalam catatan sejarah, masjid pada zaman Rasul awal pembuatan masjid hanya dimulai dengan tali pembatas, sehingga orang tak bisa sembarangan melewati tali batas yang sudah dibentanagkan tersebut. Dalam rentang waktu ratusan tahun setelah berdirinya Masjid Nabawi, bangunan masjid kemudian mengalami perkembangan, dengan bermacam bentuk dan desain, tanpa mengurangi standar masjid secara umum.
Pada zaman Rasul, masjid bukan saja hanya sebagai tempat untuk melakukan ibadah ritual saja, melainkan masjid juga berfungsi untuk kegiatan sosial lainnya. Bahkan, sebuah diskusi politik, seperti mengatur strategi perang dan pemilihan seorang Khalifah (Presiden sekarang), juga dilakukan di dalam masjid.
Tetapi fungsi masjid ini kemudian mengalami pergeseran. Dimulai dengan sistem dikhotomi (pemilahan) antara ulama dan umara oleh pemerintah Kolonial Belanda, secara perlahan fungsi masjid kemudian hanya menjadi tempat ibuadah ritual, atau untuk acara-acara ke-agamaan.
Ketika itu, pemerintahan Belanda yang berkuasa selama 350 tahun menjajah Indonesia, melakukan klasifikasi kelompok masyarakat. Sampai akhirnya kelompok ilmuan dan santri (tokoh agama) pun harus beda wilayah, baik ruang pertemuan atau dalam pengelolaan sebuah negara. Belanda juga membuat sebuah dikhotomi terhadap sistem pendidikan, antara sekolah umum dan sekolah agama (pesantren dan madrasah).
Hingga akhirnya, tanpa disadari oleh bangsa kita, kedua kelomppok pemegang disiplin ilmu ini (Ilmuan dan kaum Santri) lambat laun terpisah dengan sendirinya. Para ilmuan bisa bersama-sama dengan kelompok Belanda, sementara kaum santri di dalam masjid atau di madrasah.
Dari sistem inilah, akibatnya sampai berdasa warsa. Bukan hanya pada akhir penjajahan Belanda saja, melainkan sampai saat ini pun, dua kelompok (ilmuan dan santri) sangat jarang, bahkan hampir dapat dikatakan tidak pernah akan bertemu dalam satu forum khusus, sekalipun membicarakan persoalan bangsa.
Fenomena ini kemudian membentuk pola pikir yang dikhotomis terhadap fungsi masjid, antara kegiatan ritual dan kegiatan sosial. Secara umum, masjid yang tersebar di Indonesia ini lebih cenderung menjadi tempat kegiatan ritual (hablummianllah) ketimbang untuk melakukan ibadah sosial (hablumminannaas), sebagaimana ketika zaman nabi dan rasul. Apa yang terjadi kemudian? Masjid tak lebih hanya menjadi sebuah bangunan dan tempat yang sakral, yang didalamnya harus dihuni oleh orang-orang yang ”suci”. Bagi kalangan preman, bajingan tengik seakan tak mempunyai hak masuk dalam masjid. Jika ada salah satu diantara preman yang mendekati masjid, maka pengurus masjid (datuk) penunggu masjid akan segera mengusirnya.
Sikap ”anti preman” bagi setiap masjid ini, sebagai akibat dari sebagian kita yang memandang masjid hanya dengan ”kacamata Kuda”. Fungsi masjid hanya dilihat dari pandangan yang lurus, satu arah tanpa melihat fungsi lain dari masjid itu sendiri. Padahal, sebagaimana yang tertulis sebelumnya, pada zaman Rasul, masjid bukan hanya menjadi tempat shalat, adzan dan iqomah semata, melainkan juga untuk diskusi politik, menyusun strategi perang untuk kemenangan sebuah bangsa.
Di tengah situasi bangsa ini sedang dirundung banyak masalah, sudah seharusnya jika para pengelola masjid sudah memulai melakukan sebuah gerakan perubahan pemikiran, yang saya bahasan dengan ”revolusi masjid”. Bukan revolusi yang selalu di-identikkan dengan anarkis, melainkan revolusi pemikiran secara besar-besaran pada setiap kelompok, aktifis, dan pengelola masjid diamanapun juga. Tujuannya, agar fungsi masjid tidak hanya dipandang dengan ”Kacamata Kuda”, yang melahirkan pemamahan parsial dan terpenggal-penggal terhadap fungsi masjid.
Gagasan seperti ini, bukan bermaksud menafikkan kegiatan ritual ke-agamaan yang saat ini terus berlangsung di setiap masjid. Namun ini sebuah tawaran, agar bagaimana fungsi masjid dapat menjadi sebuah ruang yang bukan hanya untuk kelompok-kelompok tertentu yang cenderung melakukan ”onani spriritual”, tetapi juga dapat berfungsi sosial-transedental. Dengan begitu, masjid bukan hanya sekedar untuk yasinan mingguan, shalat lima waktu, tarawihan dalam bulan ramadhan, tetapi lebih dari itu, masjid juga dapat berfungsi bagaimana semua layanan masyarakat dapat dilakukan di dalam masjid, atau minimal dilingkungan masjid.
Sepertinya memang sudah menjadi keharusan jika kemudian masjid harus menjadi tempat orang berkumpul dalam urusan politik, bisnis, sosial dan kebudayaan. Para ulama, santri , para ilmuan dan seniman, budayawan, sudah saatnya bisa memulai berdiskusi dalam sebuah forum yang sama di dalam masjid untuk membicarakan persoalan bangsa. Dengan upaya ini, minimal akan mengikis terhadap penilaian sebgai kalangan terhadap dikhotomi fungsi masjid.
Selain itu, akan meningkatkan pemahaman yang selama ini terpenggal, menjadi utuh dan komprehensif terhadap definisi ibadah, yang sering kali dipadankan dengan ibadah mahdloh. (ibadah khusus) saja. Sementara yang selama ini terjadi, diskusi membahas tentang problematika bangsa ini, kemudian diklaim bukan bernilai ibadah. Kok parsial banget?
Dalam kenyataan seperti sekarang, masjid sudah seharusnya di-desain sedemikian rupa, agar masjid bukan hanya berfungsi untuk ibadah ritual tetapi juga dapat berfungsi sosial. Secara ideal, masjid juga harus menjadi ”ajang” bagi setiap ummat untuk mendapat layanan kesehatan gratis, layanan konsultasi (hukum, agama, rumah tangga, psikologi dll), layanan pemadam kebakaran, layanan ambulance, layanan pendidikan, layanan pendampingan korban tindak kekerasan, layanan pengaduan terhadap pelanggaran HAM, dan layanan bisnis yang syar’i dan manusiawi.
Dalam bidang bisnis, masjid juga harus berfungsi sebagai lembaga yang bisa menggairahkan sikap enterpreunership di kalangan remaja masjid, melalui pembentukan koperasi remaja masjid--sekaligus mencarikan jalan keluarnya, bagaimana mem-back-up modal dan pendampingan sampai bisa mandiri. Titik tuju selanjutnya, masjid juga menyediakan ruang atau los-los bisnis bagi masyarakat, yang sebelumnya telah mendapat pelatihan ke-wirausahaan yang dilaksanakan oleh para pengelola masjid.
Tuntutan fungsi masjid seperti ini bukan tidak beralasan. Pertama, untuk memutus panjangnya tali birokrasi dalam sistem di negeri ini. Kedua, tingginya berbagai biaya pendidikan, kesehatan, konsultasi dan lainnya, juga sering menimbulkan keluh kesah masyarakat. Persoalannya bukan karena tidak mampu berobat atau konsultasi, melainkan keterbatasan biaya yang mereka miliki.
Sehingga sebagian ummat lebih memilih menahan diri untuk ”tidak”, daripada harus mengeluarkan biaya yang tinggi. Dalam konteks bisnis, masjid juga dapat memberi peluang bagi para pedagang kakilima untuk mendapatkan ruang yang kondusif, murah dan terjangkau. Ini untuk membantu pedagang kakilima, yang selama ini banyak terbebani oleh tingginya biaya los di Super market, Mall, atau di rumah toko sekalipun.
Menciptakan suasana bisnis dan layanan sosial di lingkungan masjid, paling tidak dapat menciptakan syi’ar Islam yang lebih dinamis. Dengan berkumpulnya ummat di lingkungan masjid, secara langsung atau tidak dapat mengkondisikan mentalitas umat untuk senantiasa dekat dengan masjid, baik secara fisik atau non-fisik.
Dengan upaya melakukan revolusi masjid seperti ini, yang datang ke masjid bukan hanya kalangan muslim saja, melainkan non-muslim juga akan berbondong-bondong ke masjid, walaupun hanya sekedar untuk mendapat layanan sosial.
Pemikiran seperti ini, sekaligus untuk ”membumikan”—(meminjam istilah Quraisy Syihab), konsep ”Islam rahmatan lil ’alamiin” (Islam hadir dapat menciptakan rahmat bagi lingkungan alam seitarnya), yang sudah pasti lintas agama, umur, suku dan antar golongan. Diharapkan, dengan menejemen revolusi ini, masjid akan menjadi ajang berkumpulnya seluruh ummat, untuk kemudian”rahmat cahaya” masjid itu akan menghunjam ke hati nurani pada setiap kita, bukan saja ketika di masjid, melainkan masjid juga akan terbangun dalam kepribadian.
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!