Kamis, 4 Jumadil Awwal 1446 H / 3 November 2016 23:19 wib
9.010 views
Kenapa Seorang Muslim Lebih Layak menjadi Penulis?
Oleh: Rahmat Saputra
Menulis adalah menyalurkan ide dari otak kedalam bentuk tulisan. Menulis akan melatih daya pikiran untuk selalu mencari ide-ide yang baik untuk dituliskan. Bahkan dalam segi kesehatan menulis dapat mencegah kepikunan. Sebab otak akan terus dipakai untuk berfikir dan mencari ide atau gagasan. Mungkin fisik butuh olah raga agar tidak kaku dan pegal. Begitu juga dengan otak. Ia olahraganya adalah menulis. Karena selalu dipacu untuk selalu berfikir.
Lebih kedepannya, terlebih bagi seorang muslim, bahwa menulis bukan sekedar menuangkan ide. Tetapi sebuah amalan yang layak diberi ruang, disamping melakukan kewajiban-kewajiban lainnya. Maka artikel ini membahas kenapa seorang muslim itu lebih layak menjadi penulis. Berikut alasan-alasannya.
Alasan pertama: Tradisi Islam
Peradaban silih berganti. Dari zaman mesir kuno, Persia hingga Yunani meninggalkan peninggalan sisa-sisa peradaban mereka. Kita bisa lihat seperti peradaban Mesir kuno. Gambar-gambar yang terlukis ditembok menunjukkan sisa peninggalan mereka. Begitu juga dengan Yunani. Sisa-sisa dari bangunan besar nan megah masih dapat ditemukan. Tak terkecuali patung. Salah satu peninggalan yang masih tersisa dari peradaban mereka.
Maka datanglah Islam menggantikan peradaban mereka. Kegemilangan Islam berjalan seiring dengan budaya dan tradisi masyarakat muslim saat itu. Apa tradisi mereka? Salah satunya adalah menulis. Islam meninggalkan peradaban yang besar salah satunya dengan banyak karya tulisan. Masih Ingat saat orang-orang Mongol memasuki kota Baghdad? dari situ peradaban Islam sedikit meredup. Karya-karya para ulama dan ilmuan yang terkompres dalam sebuah kitab/buku, sebagian dibakar dan sebagiannya dimasukkan ke sungai. Sungai Dajlah menjadi saksi bisu akan kekejaman bangsa Mongol. Karena banyaknya buku yang dijeburkan kesungai, hingga mampu menjadi jembatan yang dapat dilalui. Warna sungai akhirnya berubah menjadi warna tinta. Padahal sungai itu cukup luas dan dalam.
Buku adalah bentuk dari salah satu sisa peninggalan peradaban Islam hingga saat ini. Buku yang tersebar hari ini dari ulama, ilmuan, penulis klasik lainnya banyak sekali yang belum kita baca. Apalagi kalau saja saat itu bangsa Mongol tidak menghanguskan buku dan membenamkannya kesungai, tentu lebih banyak lagi sisa dari kejayaan Islam.
Banyaknya buku-buku tersebut menunjukkan budaya tulis-menulis sangat pesat pada masa itu. Tradisi literatur mulai digalakkan ketika dibawah kekuasaan dinasti Umawiyyah. Kemudian Dimasa Bani Abbasiyah tradisi itu dikembangkan dengan merapihkan konten pada setiap bukunya. Banyak berdiri tempat pencetak buku dimasa itu sebagai penunjang gerakan penulisan yang sedang pesat.
Menulis adalah aktifitas dan tradisi muslim terdahulu yang mampu meninggalkan bekas hingga hari ini. Maka tentu sangat layak kita mewarisi tradisi ini ditengah aktifitas harian kita.
Alasan kedua: Menulis Melahirkan Pahala
Dalam Islam segala hal yang mengandung kebaikan akan dicatat sebagai pahala. Menulis bisa melahirkan pahala jika memang dapat memberi kemaslahatan bagi muslim yang lain. Memberi solusi dalam setiap masalah, dan mengubah seseorang menjadi taat kepada rabb-Nya. Tentu pahala terus mengalir bagi para penulis yang benar-benar ikhlas menuangkan ide-ide dan gagasan dalam sebuah tulisan. Kemudian tulisan itu dibaca oleh banyak orang. Maka bisa jadi para penulis yang baik, menuangkan ide kreatif untuk perubahan seseorang bisa jadi masuk pada golongan sebaik-baik manusia. Karena sebaik-baik manusia adalah yang memberi manfaat kepada orang lain.
خَيْرُ الناسِ أَنْفَعُهُمْ لِلناسِ
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia” (HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni. Hadits ini dihasankan oleh al-Albani di dalam Shahihul Jami’ no:3289).
Berapa banyak buku-buku muslim terdahulu yang mampu merubah masyarakat menjadi baik. Mereka telah berjasa menulis segala ilmu yang bermanfaat demi kebaikan bersama. Dan banyak pula tulisan-tulisan khazanah yang kental dengan keislaman, mampu menjadikan masyarakat terdidik dan beradab. Tanpa ada aktifitas tulis-menulis, sangat mustahil hari ini kita dapat merasakan manisnya ilmu-ilmu keislaman dan pengetahuan umum. Maka menulis mampu memberi perubahan dan pahala yang bisa mengalir kepenulis.
Alasan ketiga: Menulis Adalah Ladang Dakwah
Hari ini Pengertian dakwah telah melebar keberbagai sisi. Namun hal itu tidak menghilangkan esensi dari makna dakwah tersebut. Artinya siapa saja bagi seorang muslim bisa berdakwah. Salah satunya dakwah dengan tulisan. Hari ini justru dakwah melalui tulisan lebih mendukung. Segala media informasi seakan memudahkan para aktifis melebarkan sayap dakwahnya melalui tulisan. Bahkan dengan tulisan bisa jadi pengaruhnya lebih hebat pada hari ini dari pada dakwah lewat ucapan. Meski ada keutamaan tersendiri pada setiap cara dakwah tersebut.
Sebagaimana yang dikatakan Sayyid Qutb. “ Satu peluru hanya mengenai satu kepala. Tapi satu tulisan bisa mengenai ribuan kepala”.
Tulisan tidak hanya berupa ilmu-ilmu dasar dalam Islam. Tapi bisa juga dengan kisah-kisah hikmah yang menggugah. Atau juga pengalaman pribadi yang ditarik hikmah dari setiap peristiwa.
Dakwah dengan tulisan pula sangat mampu membendung dan mencegah pemikiran sesat dan melenceng. Dengan tulisan bisa mencounter tulisan yang sesat dan keluar dari jalur etika dan adab. Lewat tulisan bisa memberikan informasi yang sengaja tidak ditayangkan oleh media elektronik dan cetak. Sebab sebagian besar media hari ini memojokkan kaum muslimin. Subjektifitas dalam prinsip jurnalistik telah hilang. Hingga Islam seakan dipandang minoritas dalam kacamata media sekuler, padahal pemeluk Islam 85% dinegeri ini. Maka dengan adanya tulisan, mampu menyingkap semua fakta yang berusaha ditutup-tutupi oleh media. Dan menunjukkan dengan jelas antara kebenaran dan keburukan. Serta meluruskan opini buruk terhadap Islam yang telah tersebar ditengah masyarakat kita.
Itulah 3 alasan kenapa seorang muslim layak menjadi penulis. Lalu adakah alasan menjadikan kita untuk tidak bergerak melalui tulisan?
"Saya tidak bakat dalam menulis", Jika bakat yang menjadi halangan, Bukankah bakat itu adalah latihan yang terus diulang?… Dengan kata lain munculnya bakal karena terus ada latihan dan latihan. Bukan karena dia dari keluarga penulis dan condong senang menulis.
"Saya khawatir salah kalau menulis", Jika khawatir salah menjadi alasan, maka ini merupakan pemikiran yang picik. Sebab tidak ada penulis yang tidak punya salah. Para penulis besar tidak akan lahir tanpa tumpukan tulisan-tulisan mereka yang salah. Karena mereka menulis melalui proses yang panjang. Dan dalam proses itu akan banyak ditemui kesalahan. Dari kesalahanlah mereka belajar agar tidak mengulanginya kembali. Maka hasilnya dari proses itu, mereka mampu menyihir banyak manusia dengan tulisan mereka.
Mari kita menjadi bagian dari pelopor kebaikan melalui tulisan. [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!