Rabu, 21 Jumadil Awwal 1446 H / 17 Agutus 2016 04:22 wib
8.493 views
Sebuah Ironi 71 Tahun Kemerdekaan Indonesia
Oleh: Aruum Mujahidah
(Guru SMAN 1 Tambakboyo Tuban Jatim)
Alhamdulillah, patut kiranya kita panjatkan syukur kepada Allah SWT yang telah menganugrahkan kemerdekaan pada bangsa ini. Tepat, di tahun ini Indonesia telahmerdeka yang ke-71. Sederet tahun yang cukup lama untuk usia kemerdekaan sebuah bangsa. Masyarakat pun saling berlomba untuk mengisi kemerdekaan ini. Mulai dari karnaval, gerak jalan, panjat pinang, aneka lomba adat, dan pasang bendera merah putih di depan rumah, serta umbul-umbul di sepanjang jalan. Fenomena ini telah menjadi budaya di masyarakat kita. Semua lapisan masyarakat seakan tak mau ketinggalan dalam memeriahkan peringatan kemerdekaan bangsa Indonesia tercinta ini.
Namun demikian, benarkah kemeriahan sambutan kemerdekaan ini memang benar-benar menunjukkan Indonesia telah merdeka secara nyata? Merdeka dalam arti yang sesungguhnya di mana rakyat hidup aman, sejahtera dan bahagia serta adanya independensi dalam segala pengaturan pemerintahanya. Pertanyaan-pertanyaan inilah yang kiranya membuat kita merenung diusia kemerdekaan yang lebih dari setengah abad ini.
Ironi Kemerdekaan
Menurut Kamus Besar Bahasia Indonesia (KBBI), merdeka adalah (1) bebas dari penghambaan, penjajahan, dsb; (2) tidak terkena atau lepas dari tuntutan;(3) tidak terikat, tidak tergantung kepada orang atau pihak tertentu;leluasa. Dari sini kita dapat menarik definisi sederhana dari kata merdeka yaitu sebuah kondisi di mana tidak adanya tekanan dan tidak tergantung dengan pihak lain, adanya keleluasaan dan kemandirian.
Usia kemerdekaan RI telah lebih dari setengah abad, 71 tahun. Dalam hitungan puluhan tahun itu, sudah lebih dari cukup kiranya bagi kita untuk melihat apakah kita (rakyat Indonesia) benar-benar telah merasakan merdeka secara seutuhnya? Pasalnya, dalam rentang puluhan tahun itu kondisi rakyat Indonesia kian sengsara. Mulai dari angka kemiskinan, pengangguran, anak-anak terlantar yang tak mampu mengenyam pendidikan semakin tahun semakin meningkat. Belakangan jumlah kriminalitas pun kian merajalelayang membuat kita merasa tak aman di negeri sendiri. Kasus-kasus perampokan, pelecehan dan pemerkosaan menjadi menu harian di layar kaca.
Pun demikian dengan kekayaan negeri ini yang semakin dikuasai oleh asing maupun aseng. Hal ini mengakibatkan rakyat miskin di tengah melimpah ruahnya kekayaan alam. Tentu kita melihat bagaimana fenomena busung lapar anak-anak Papua di tengah gundukan gunung emasnya. Pengolahan SDA (Baca:emas) nya justru di nikmati oleh PT. Freepot Mc. Moran yang sampai hari terus melakukan perpanjangan kontrak hingga puluhan tahun mendatang. Sungguh, bagaikan anak ayam yang mati di lumbung padi.Indonesia miskin dalam negeri yang kaya raya. Bank Indonesia merilis Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia per Januari 2016 mencapai U$$ 308 miliar atau setara Rp 4.034 triliun (kurs: Rp13.098 per dolas AS). Itu artinya Utang Luar Negeri Indonesia tumbuh 2,2 persen dari rilis Februari 2015. Jumlah penganggungan yang semakin bertambah namun di sisi lain tenaga aseng (baca:Cina) bebas masuk secara masif dengan gaji pekerja jauh lebih mahal dibanding orang dalam negeri.
Dari segi budaya dan pemikiran, generasi remaja semakin merosot moralnya. Budaya tawuran, pergaulan bebas, rasa hormat yang mulai tergerus, pemakaian narkoba yang didominasi usia produktif menjadi sorotan tersendiri bagi kita. Adat ketimuran yang semakin ditinggalkan oleh generasi bangsa yang digeser oleh budaya asing lewat media dan fashion. Akhirnya, kita temukan anak bangsa bermoral asing di dalam negara.
Berkaitan dengan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pun demikian. Kebijakan –kebijakan yang ada mayoritas tidak berpihak pada rakyat. Bahkan, menurut anggota DPR RI Eva Kusuma Sundari 76 UU yang dihasilkan pasca reformasi, semuanya berbau pesanan asing, khususnya AS. Akibatnya, hingga saat ini kita masih menyaksikan potret kehidupan rakyat Indonesia yang penuh dengan problematika. Rakyat harus ikhlas menahan mahalnya harga kebutuhan pokok dalam negeri yang disebut agraris ini. Rakyat harus merogoh kocek berlebih untuk membeli minyak di tengah negeri yang katanya penghasil minyak nomor tiga di dunia ini. Semua itu atas dasar membebeknya pemerintah oleh aturan internasional di bawah komando negara adidaya (baca:Amerika).
Memang secara fisik, sudah tidak ada lagi penjajah yang membawa senjata yang menodong ke arah rakyat-rakyat kita. Namun, secara regulasi pemerintahan dan pemikiran, bangsa ini masih terjajah
Inilah ironi kemerdekaan itu, kata-kata merdeka yang didengung-dengungkan puluhan tahun lamanya tak ada dalam realita. Beberapa fakta di atas membuat kita semakin tersadar bahwa kemerdekaan belum sepenuhnya dimiliki rakyat Indonesia. Karena sebuah kondisi kemananan, kesejahteraan, leluasa, tidak adanya tekanan dari pihak lain masih belum sepenuhnya di dapatkan. Memang secara fisik, sudah tidak ada lagi penjajah yang membawa senjata yang menodong ke arah rakyat-rakyat kita. Namun, secara regulasi pemerintahan dan pemikiran, bangsa ini masih terjajah. Sebagai bukti, pemikiran generasi bangsa kian liberal dengan mengkiblat kepada asing. Begitu pun, arah kebijakan dan regulasi pemerintahan tidak luput dari tekanan asing.
Suksesnya penjajahan ini dikarenakan ditopang oleh sistem kapitalisme yang saat ini diterapkan di negara kita. Sebuah sistem di mana orang-orang kapital (pemilik modal) yang berkuasa. Sistem ini telah meng-goalkan penjajah asing dengan segala kebijakanya masuk ke negara kita untuk dengan leluasa mengeruk sumber daya alam. Sistem ini membuka jalan lebar masuknya budaya dan gaya hidup asing seperti liberalisme, permisifme, pragmatism beserta anak turunannyayang telah sukses menjajah moral anak bangsa. Dari sistem ini pula lahir aturan-aturan yang berdasar pada hawa nafsu manusia di mana secara tidak langsung terjadi ketundukkan terhadap diri manusia itu sendiri dan atau kepada sesama manusia yang berakibat munculnya banyak kerusakan dan perselisihan. Karena tidak mungkin aturan yang diciptakan manusia itu mampu menghantarkanya pada kesejahteraan dirinya karena dia adalah makhluk yang lemah dan terbatas serta adanya perbedaan standart kemaslahatan dalam setiap pikiran manusia.
Sungguh, inilah yang harus disadari oleh segenap bangsa bahwa Indonesia belum merdeka. Penjajahan secara pemikiran dan kebijakan adalah cara halus untuk menghancurkan sebuah bangsa. Lebih berbahaya dari sekedar penjajahan fisik yang bisa dilihat oleh mata. Akhirnya, sepakatlah kita bahwa Indonesia belum sepenuhnya merdeka.
Kemerdakaan Hakiki
Sesungguhnya setiap mamusia lahir dalam keadaan suci, seperti kertas putih bersih, dan hanya tunduk pada satu Dzat yang menciptakanya, Allah SWT. Sehingga dia menjadi manusia yang bebas berdiri di atas fitrahnya sebagai makhluk yang lemah, terbatas, yang hanya butuh pada Sang Penciptanya, terbebas dari penghambaan kepada sesama makhluk, materi dan hawa nafsunya sendiri. Inilah hakikat kemerdekaan itu, cahaya kebebasan yang terpancar dari tauhid.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Sa’ad bin Abi Waqqas ra. saat berhadapan dan menjawab pertanyaan Panglima Perang Rustum,” Apa alasan kalian memerangi kami?” Sa’ad bin Abi Waqqas menjawab, “ Untuk membebaskan kalian dari penghambaan kepada manusia menuju penghambaan kepada Allah SWT.”
Sesungguhnya islam datang untuk memberikan rahmat bagi seluruh alam. Islam datang untuk membebaskan manusia dari kejahiliaan menuju manusia yang mulia di atas fitrahnya. Dalam islam, kebebasan berarti kebebasan dari terikat dengan aturan lain selain aturan Allah SWT, yang artinya kebebasan itu di dapatkan ketika seorang hamba benar-benar terikat dengan aturan Allah dalam seluruh aspek kehidupanya. Islam menjamin kemerdekaan individu dengan menetapkan aturan yang tidak mencederai fitrah manusia. Dengan mengikatkan diri pada syariah Allah SWT sebagai pencipta manusia, alam semesta dan kehidupan. Yang akan membuahkan kebahagiaan di dunia maupun akhirat.
Kemerdakaan hakiki sesungguhnya adalah ketika terciptanya kehidupan seimbang dan sesuai dengan fitrah manusia. Islam sebagai agama yang paripurna diturunkan oleh Allah SWT untuk menyelaraskan kehidupan ini. Maka dari itu, kemerdakaan hakiki hanya bisa diraih ketika penghambaan totalitas hanya ditujukan kepada Dzat yang menciptakan manusia, jagad raya beserta isinya. Semua itu akan terwujud manakala seluruh aspek kehidupan kita berkiblat pada aturan Allah SWT.InsyaAllah, inilah kemerdekaan yang sesungguhnya. Sebuah kemerdakaan yang berujung pada ridhoNya. Wallahu a’lam bi ash-shawab. [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!