Senin, 25 Jumadil Awwal 1446 H / 26 Oktober 2015 09:03 wib
8.932 views
Dari Pemuda Untuk Perubahan Indonesia
Oleh: Hanif Kristianto
Sahabat VOA-Islam...
Oktober menjadi bulan perenungan dan perjuangan. Semangat dan cita-cita perubahan diwakili kalangan terpelajar yang tersadarkan atas kondisi negeri ini. Tak ingin lagi bernostalgia dengan sumpah pemuda yang sudah lama dipekikan. Pemuda saat ini menatap ke depan ketidakjelasan arah negeri ini. Bahkan untuk mengatur bangsa sebesar Indonesia dibutuhkan orang-orang kuat yang tak sekadar berhasratmenjadi penguasa.
Momentum satu tahun kepemimpinan Jokowi-JK disikapi beragam oleh pergerakan, aktifis, mahasiswa, dan rakyat. Mereka mengeskpresikan ‘kekesalan’ pada rezim dengan cara yang mereka bisa. Dari yang termudah, sekadar ciutan di media sosial. Hingga menghimpun ratusan sampai ribuan orang dalam forum besar. Tujuannya untuk satu kata ‘perubahan’ dan ‘revolusi’. Ditambah lagi ketidakpastian ekonomi, kebobrokan birokrat karena bermacam kasus, politik yang perlente, hingga ketidakpastian hukum. Semuanya menambah beban berat rakyat. Hidup sudah mendekati titik sekarat.
Suara lantang untuk menurunkan rezim kian terdengar. Pergerakan massa yang dipelopori aktifis kampus dan tim think tank bergerak menghipun dukungan
Suara lantang untuk menurunkan rezim kian terdengar. Pergerakan massa yang dipelopori aktifis kampus dan tim think tank bergerak menghipun dukungan. Kegetiran kebijakan penguasa diekspresikan dalam bentuk usulan dan tututan nyata. Mereka pun menyayangkan sikap beberapa aktifis yang takluk dengan makan malam, iming-iming beasiswa, hingga rela diberi jabatan prestise dalam pemerintahan.
Janganlah seruan perubahan itu berenti di bulan ini. Perlu kiranya disiapkan roadmap yang jelas. Visi misi ke depan yang tanpa diintervensi oleh kepentingan perorangan, kelompok, ataupun orang yang rakus jabatan. Semua roadmap harus jelas dan dipahami rakyat. Keikutsertaan rakyat dalam pergerakan menuju perubahan tidak boleh dipandang sebelah mata.
Hal penting yang harus dilakukan dan mendesak ialah mengajak dahulu orang-orang yang memiliki kesadaran. Selanjutnya, gerbong rakyat dapat ditarik oleh lokomotif yang telah diisi dengan pemahaman dan ideologi yang benar. Orang-orang yang melakukannya juga harus sadar, di stasiun apa mereka akan berhenti? Kesadaran yang dibangun tidak hanya semangat, melainkan dilandasi oleh iman dan kesadaran politis-ideologis.
Mainstream Baru?
Seruan yang ada saat ini lebih banyak didominasi oleh seruan politis-ideologis. Hakikatnya sejahterah atau tidaknya rakyat ditentukan kebijakan dan sistem yang ada. Akademisi dan intelektual muda saat ini cenderung berpikiran parsial. Mereka berkutat dalam bidang kajiannya. Seolah jurnal, paper, dan hasil penelitiannya telah memberikan kontribusi pada negeri ini. Padahal jika dicermati, mereka miskin kesadaran ideologis dan politis.
Bisa dipastikan yang dilakukan pun sekadar pragmatisme. Berfikir sistemik pun jarang dilakukan, meski mereka mengklaim sebagai kaum akademisi dan intelektual. Hal ini dikarenakan sistem pendidikan menfokuskan untuk menghasilkan individu-individu yang mumpuni di bidangnya. Selayaknya, pendidikan juga diarahkan secara holistik dan sistemik, sehingga berfikirnya luas.
Membuat mainstream baru perlu adanya. Seruan pun tak hanya pragmatisme. Lebih dari itu harus bersifat ideologis. Seruan pragmatis didasadari dari kerusakan fakta yang ada dalam kehidupan umat, menyadari pula kewajiban merubahnya, tetapi seruannya langsung berpindah kepada langkah aksi tanpa terlebih dahulu memikirkan hakikiat permasalahan yang tengah menimpa masyarakat.
Langkah aksi itu dilakukan tanpa memikirkan konsep yang akan dijadikan asas dalam membambangkitkan masyarakat, juga metode yang akan dijalani untuk sampai kepada sasaran yang ditetapkan. Akhirnya, gerakan itu akan melakukan aksis-aksi tanpa perencanaan dan berputar-putar di situ-situ saja tanpa dikaji lebih dahulu bahkan seringkali tanpa sasaran sama sekali.
Gerakan pragmatis menempatkan fakta—walaupun nyata kerusakannya—sebagai sumber penyelesaian, bukan sebagai obyek yang harus diselesaikan. Inilah yang memicu aksinya selalu menyesuaikan diri dengan fakta yang rusak, sekaligus sebagai kursi penyangga asas yang mendasari masyarakat. Perubahan dari satu rezim ke rezim berikutnya merupakan contoh nyata.
Orde lama ke orde baru yang diliputi penggulingan kekuasaan Soekarno. Soeharto menikam kekuasaanya dari belakang. Begitu otoriter dan bengisnya rezim orde baru. Seruan, jeritan, dan kritik rakyat dibungkam total. Politik otoritarian dijalankan sistemik dengan menggandeng ABRI sebagai tangan besi. Berpindah ke orde reformasi sebagai akibat ketidakpuasan rakyat kerena KKN. Tokoh-tokoh politik pun bermunculan dan menggelorakan perubahan ke arah yang lebih bebas. Jika ditilik semua perubahan itu baru sebatas pada orang. Sistem yang diterapkan masih sama dan koridor politik demokrasi dan ekonomi liberal.
Sementara itu, seruan ideologis menyadari kerusakan realitas yang ada dan keterbelakangan masyarakat. Dari hasil penginderaanya berpindah menuju kajian fakta secara mendalam untuk mengetahui hakikat permasalahannya. Sebab, seseorang tidak mengetahui hakikat permasalahan pasti tidak akan mampu menggambarkan cara penyelasaiannya. Seruan ini mengkaji realitas masyarakat secara mendalam beserta berbagai pemikiran, ikatan, tolok ukur, perasaan, dan peraturannya.
Hal ini akan mengantarkan kepada pengetahuan bagian mana yang benar dari yang rusak lagi berpenyakit, pemikiran dan perasaan mana yang diperlukan masyarkat, serta pemikiran dan perasaan asing lagi rusak mana yang telah merasukinya. Kajian mendalam juga akan mengantarkan pada pemahaman tentang fakta mengenai peraturan yang diterapkan untuk mengurus kepentingan masyarakat.
Setelah hal itu dilakukan, barulah berpindah menuju pembahasan ideologi—yang berkaitan dengan Islam—untuk memahami solusi yang benar atas permasalahan yang sedang dihadapi. Solusi itu mewakili sekumpulan pemahaman dan peraturan yang mendasari perubahan masyarakat dapat berlangsung dengan sempurna.
Perubahan ideologis itulah yang tampak digagas oleh beberapa pergerakan mahasiswa yang menjadikan ideologi Islam dan Khilafah sebagai mainstream baru. Mereka pun mengundang mahasiswa dan aktifis pergerakan dalam Diskusi Pergerakan Mahasiswa Indonesia dengan tema yang menohok. “Telaah Kritis Mahasiswa: 2015 Indonesia Semakin Terjual dan Menderita”. Acara dihelat pada Ahad 25 Oktober 2015 di UNS Solo.
Sebelumnya ada acara pemanasan dimulai di beberapa daerah dengan tema “Perang Pergerakan Mahasiswa Satukan Umat Menghadapi Neoliberalisme dan Neoimprelalisme”. Begitu pula, Kongres Mahasiswi Islam untuk Peradaban turut mengajak dengan tema besar “Intelektual Muda Tegakkan Khilafah” Selamatkan Intelektual Muda dari Cengkraman Neokolonialis-Feminis. Agenda Mahasiswi itu pun dihelat di beberapa kota di Indonesia.
Komunikatif dan Selektif
Sudah menjadi komunikasi yang jamak dengan melihat tema yang ada. Seruan yang menyentuh akal bagi yang berfikir dan menyentuh jiwa bagi yang merasakan. Kondisi ini tentu tidak bisa dipisahkan dari komunikasi politik. Sebagaimana penjelasan McNair (2011:4) menyatakan bahwa komunikasi politik adalah komunikasi yang ditujukan tentang politik yang mencakup:
- Semua bentuk komunikasi yang dilakukan oleh politikus dan pelaku politik lainnya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.
- Komunikasi yang ditujukan kepada para pelaku-pelaku politik oleh yang bukan politikus seperti pemilih dan kolumnis koran.
- Komunikasi tentang para pelaku-pelaku politik dan aktivitas mereka yang terdapat pada laporan berita (news report), editorial, dan bentuk lainnnya dari pembahasan media tentang politik.
Tema yang diangkat oleh pergerakan ideologis pengusung Khilafah lebih bersifat politik. Disesuaikan pula dengan kalangan intelektual muda. Misalnya ungkapan “Telaah Kritis Mahasiswa”. Hal itu menunjukan bukti komitmen mahasiswa ke suatu arah baru yang tak lagi mengusung jargon lama. Mereka menawarkan gagasan Khilafah Global dalam konteks yang mudah dipahami rakyat Indonesia.
Bagi kalangan mahasiswi Neokolonialis-Feminis merupakan dua hal yang menghinggapi intelektual muda. Sadar jika mahasiswi dijadikan terget untuk liberalisasi dan ekploitasi kepintarannya hanya untuk pragmatisme. Kalangan mahasiswi ideologis pun mengajak untuk melawan belenggu itu dan berjuang untuk membebaskan dirinya dengan Khilafah.
Dua tema besar pada pertemuan akbar pergerakan kampus di atas menunjukan kegalauan dan kesadaran. Kontribusi pemuda tidak dapat diabaikan. Karena mereka sebagai pengontrol kebijakan pemerintah, pengganti pemimpin nantinya, dan orang-orang yang akan mengisi peradaban ke depan. Mereka menyatakan Neoliberalisme, Neoimprelisme, dan Neokolonialis-Feminis sebagai musuh bersama (common enemy). Perjuangan untuk terbebas dari belenggu selayaknya dipikul semuanya. Apalagi ini merupakan gagasan solutif politis-ideologis dengan Khilafah.
Hasil dari perhelatan akbar itu hendaknya semakin disosialisasikan ke semua lapisan masyarakat. Agar semua ‘nggeh’ dengan kondisi Indoneisa saat ini dan tahu solusinya. Jangan biarkan umat ini bingung dan berputa-putar pada aktifitas yang tidak jelas dan tak berujung.
Hendaknya komunikasi terus dijalin dengan lebih erat. Ketuklah pintu-pintu umat atau umat yang akan membukakan pintu untukmu. Selain itu, sikap selektif untuk memilih tema-tema yang dekat dengan rakyat akan menjadikan kecintaan rakyat pada pergerakan ini.
Saatnya persembahkan jiwa dan raga ini untuk Indonesia lebih baik. Kalian punya iman-Islam, kalian memiliki aturan yang bersumber dari Allah Swt, dan kalian punya Khilafah yang akan melindungi dan melepaskan segala bentuk penjajahan. Selamat berkongres dan berdiskusi untuk membeirkan solusi terbaik dan sistemik!
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!