Rabu, 27 Jumadil Akhir 1446 H / 26 November 2014 14:13 wib
9.301 views
Demokrasi, Penghalang Islam ?
Oleh: Rizka K. R. (Divisi Intelektual BEM Jurusan Sejarah dan Kebudyaan Islam)
Demokrasi, dalam pandangan banyak orang ialah sebuah sistem yang tepat untuk menyuarakan pendapat. Berbagai jenis keyakinan (baca: agama) konon katanya mempunya ruang yang sama. Jika salah satu dari sebuah keyakinan yang ada tidak dapat menyuarakan bebas maka dipertanyakan “demokrastisasi” di negeri ini. Namun adakah kalian tahu bagiamana nasib Islam dalam sistem demokrasi?
Benarlah sudah dalam kitab Syeikh Taqiyuddin bahwa awal mulai kehancuran Islam adalah saat Islam tidak lagi menjadi fikrah dan thariqoh dalam kepribadian setiap umat muslim. Sekulerisme ala Kemal Attaturk menggawangi hancurnya Islam. Penghancuran sistem Islam dengan menggantikan sistem sekuler di wilayah Turki yang dahulu adalah wilayah daulah Islamiyyah, justru menjadi titik tolak. Lantas bagaiamana keadaan umat Islam sebelum daulah benar-benar tinggal nama?
Ali Muhammad As-Syalabi seorang sejarawan muslim telah merumuskan dalam kitab Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyyah bahwa realita umat muslim di akhir abad ke-19 sudah mengalami kondisi terpuruk. Banyak gerakan yang lahir dan menyimpang dari aqidah Islam seperti Syi'ah Itsna ‘Asyariyah, Druz, Nushairiyah, Ismailiyah, Qadiniyah, Baha’i dan sekte-sekte sesat lainnya yang telah mencemarkan nama Islam.
Gerakan ini menampakkan batang hidungnya, khususnya sejak kedatangan kaum Salibis yang telah menekuklututkan Islam. Mereka, sebagaimana biasanya, selalu bersekutu dengan musuh kaum muslimiin, menjadi pembantu dan tentara yang patuh di bawah kepemimpinan mereka.
Sebuah contoh, sekte Baha’i. Sekte ini berdiri pada tahun 1260 H/1844 M di bawah pengawasan dan perlindungan penjajah Rusia dan yahudi Internasional, serta kolonialis Inggris dnegan tujuan untuk merusak akidah Islam, menghancurkan kesatuan kaum muslimin dan memalingkan mereka dari masalah-masalah asasi yang sedang mereka hadapi. Sekte Baha’i ini mengaku sebagai Mahdi, kemudian mengaku sebagai nabi, lalu mengakui memiliki sifat-sifat Rububiyah dan Ilahiyah.
Sungguh menjadi sesuatu yang menyakitkan di mana pemerintahan Utsmani tidak dengan segera menghancurkan gerakan keagamaan yang sangat keji dan jahat ini, dan mereka tidak menerapkan hukum Allah atas mereka. Kemunduran umat muslim pada waktu itu menunjukkan bahwa keberadaan mereka tidak lagi menggunakan metode Islam dalam mempelajarinya hingga mengamalkannya.
Realita bahwa di masa akhir Utsmaniyyah pula para peneliti mendapati adanya penyimpangan yang sangat berbahaya dalam kepemimpinan Utsmani. Baik dari level militer maupun keilmuan. Misalnya seorang yang penganut Freemasonry yang bernama Medhat Pasha bisa menjadi Perdana Menteri atau Muhammad Ali Sang Penjahat bisa duduk menjadi gubernur Mesir yang dipilih oleh para ulama dan fuqaha.
Perselisihan antara ulama terjadi sangat rumit. Terlihat dari pengkisahan oleh Al-Jabarti, “Perselisihan, cekcok, dengan saudara-saudaranya dari kalangan ulama sehingga membuat Muhammad Ali Pasya menyuruhnya untuk tidak melakukan aktivitas apa-apa. Syaikh pun menuruti apa yang diperintahkan dan tidak seorang pun yang memberi pertolongan. Seakan-akan dia menjadi seorang yang terbuang."
Syaikh Muhammad Shabari menyifati kondisi ulama saat itu yang menjauhi masalah pemerintahan dan tidak memberi nasehat kepada para penguasa dan bagaimana pandangan orang-orang sekuler terhadap ulama-ulama saat itu. Dia berkata, “Sesungguhnya orang-orang yang telah menelanjangi agama dari politik kita, mereka dan saudara-saudaranya tidak melihat pentingnya ulama menyibukkan diri dengan politik dengan alasan bahwa ia sangat tidak sesuai dengan mereka dan hanya menurunkan derajat mereka. Maksud mereka adalah, untuk memonopoli politik hanya berada di tangan mereka saja dan menipu ulama dengan cara mneurunkan derajat meeka pada kelompok orang-orang yang lemah. Untuk itu mereka mencium tangan para ulama itu dan dikhayalkan bagi mereka bahwa dengan dicium tangan ini mereka menjadi orang-orang yang terhormat ditengah mereka. Setelah itu, mereka melakukan apa saja terhadap agama dan manusia secara keseluruhan. Sebab mereka sudah merasa bebas dari kemungkinan adanya ulama yang akan melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Yang mungkin dilakukan oleh para ulama itu hanya menggerutu dimulut dan hati, satu keimanan yang paling lemah.
Para ulama terisolasi dari politik seakan-akan mereka sepakat dan sejalan dengan semua pemimpin, baik yang shaleh ataupun yang zhalim untuk menjadikan kekuasaan di tangan mereka, sedangkan para ulama itu hanya mendapatkan “berkat” dan penghormatan; sebagaimana seorang khalifah yang mengundurkan diri dari kekuasaan dan dari wewenang politik.
Para ulama di akhir pemerintahan Utsmani telah tiarap ke bumi dan mengikuti hawa nafsu. Mereka telah meninggalkan kewajiban-kewajiban yang seharusnya mereka lakukan. Dengan demikian, mereka menjadi contoh yang jelek bagi masyarakat umum yang melihat dan mengawasi mereka dari jarak dekat. Banyak di antara mereka yang tenggelam dalam kemewahan materi dan berfoya-foya. Mereka menutup mulut rapat-rapat, bukan karena telah disumpal dengan hadiah-hadiah yang datang dari Pasya dan penguasa. Mereka diposisikan di tempat-tempat terhormat dan kedudukan tinggi yang sangat mungkin membungkam suara mereka dan memadamkan ruh perlawanan yang ada di dalam dada mereka.
Paparan di atas adalah hanya beberapa gelintir fakta yang telah terjadi di akhir masa Daulah Utsmani. Masa di mana umat muslim tidak lagi memahami Islam sebagai sebuah peraturan dalam kehidupan. Bentuk sistem Islam tidak seperti seharusnya. Sebagaimana seharusnya para ulama saling mengingatkan kepada penguasa. Syari’at Islam yang seharusnya menjadi fikroh dan thariqoh telah mereka jauhi.
Benarlah sudah, bahwa di awal abad ke-19 hingga ke-20 sebenarnya bukanlah masa modernisme, post modernisme yang sering terdengar gaungnya kepada kita, para mahasiswa. Namun sesungguhnya di abad itu yakni umat muslim sedang menderita penyakit yang sangat memamtikan. Syaikh Taqiyuddin sudah mengingatkan umat muslim sejak dahulu. Katanya, "Keadaan ini semakin menjadi-jadi ketika memasuki abad XX M, dengan munculnya banyak penghalang yang memisahkan Islam dengan kehidupan, sehingga semakin manambah kesulitan baru baru bagi gerakan-gerakan Islam, disamping kesulitan-kesulitan yang telah ada sebelumnya. Hal ini terjadi karena kaum Muslim terutama kaum ulama dan kaum terpelajarnya sedang dikuasai oleh beberapa “musuh” (Mafahim hizbut Tahrir). Wallahu ‘alam bishowab
Sumber: Ali Muhammad As Syalabi, 2011, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyyah. Jakarta Timur: Pustaka Al Kautsar.
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!