Ahad, 21 Jumadil Awwal 1446 H / 5 Oktober 2014 15:00 wib
6.306 views
Ketika Hajar Aswad di Ujung Jari
Sahabat Voa-Islam Rahimakumulloh...
Momen ibadah haji, tentu membuat hati kita ikut mengharu-biru meskipun belum pernah menunaikan sendiri. Di bawah ini, sedikit saya berbagi tentang suasana Kakbah ketika berkunjung dalam ibadah umrah tahun lalu. Semoga sedikit mengobati kerinduan meskipun rasa itu tak kan pernah tuntas hingga kita bisa menyaksikan sendiri, turut menjadi hamba yang memenuhi panggilanNya, insya Allah.
Banyak yang bilang kalau ingin mendekati Hajar Aswad apalagi bisa menciumnya sebagaimana disunahkan oleh Rasulullah SAW, maka harus ada orang yang membantu. Paling tidak ada teman, suami atau bahkan makelar. Ya...hingga urusan ibadah pun orang Indonesia sangat kreatif. Ada sekitar dua atau tiga oknum yang menjanjikan bisa mencium Hajar Aswad dengan harga sekian rupiah. Ketika mendapat tawaran itu pertama kali dan berkali-kali setelahnya, saya menanggapi dengan senyuman saja. Ah...andai surga bisa dibeli dengan rupiah.
Siapa sih yang tak ingin mencium Hajar Aswad? Bukan sekadar batu yang berwarna hitam tapi mengikuti apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah di zaman itu memunyai nilai tersendiri bagi umat yang mencintainya. Para sahabat saja ada yang sampai memilih jalan di tiap langkah yang pernah dilewati oleh sosok mulia ini kok. Itu level sahabat, apalagi level kita yang nun jauh berbeda sekian abad. Menapaki sunahnya dengan mencium Hajar Aswad tentu merupakan keinginan tersendiri.
Karena umrah pertama dan persiapan minim, saya tak begitu tahu medan. Saya hanya mempelajari hal-hal yang wajib dan yang membatalkan ibadah umrah saja. Sisanya saya benar-benar belajar sambil jalan. Thawaf bersama teman ternyata membuat gerak saya tidak bebas. Mungkin karena rombongan saya masuk kategori lansia sehingga saya ‘terpaksa’ mengikuti langkah mereka. Saya merasa kurang khusyuk. Saya ingin ‘curhat’ pada Allah di saat berthawaf. Saya ingin berputar secepat kaki saya bisa melangkah tanpa takut ditarik oleh seseorang karena dianggap berjalan terlalu cepat. Ya...saya butuh sendiri dalam berthawaf.
Awalnya belum ada keinginan untuk mendekat ke Hajar Aswad. Jangankan mendekat, dari kejauhan saja area batu hitam itu amat sangat penuh orang. Saya tak bisa membayangkan darimana saya bisa menembus tembok manusia itu. Ah...sudahlah, yang penting saya berthawaf. Yang penting Allah tahu niat saya, kerinduan saya, ‘curhat’ saya, itu cukup. Tak dinyana, lautan manusia itu dengan izin Allah bisa tersibak di saat saya ingin melangkah. Setiap saya thawaf, entah di putaran keberapa saya selalu bisa menyentuh dan mencium dinding Kakbah dengan mudah. Dengan mudah hampir tanpa perjuangan. Masya Allah.
Umrah Ramadan itu ramainya hampir mirip musim Haji. Tapi dengan kuasa Allah, tak ada yang tak mungkin. Bukan hanya menyentuh dan mencium dinding Kakbah, saya bisa berlama-lama di sana tanpa ada yang berusaha menggeser saya. Tapi saya tahu diri, saya beringsut untuk memberi kesempatan (biasanya sesama perempuan) untuk menempati posisi saya berdiri yang dengan leluasa bisa menyentuh Kakbah.
Saya pun berjalan lagi untuk melanjutkan thawaf. Niat semula yang cenderung tak punya keinginan apa-apa, tiba-tiba saja saya melihat ke pintu Kakbah. Katanya, di situlah Multazam berada. Di situ saya berdoa sambil melihat orang-orang bergelantungan berpegangan pada bagian bawah pintu Kakbah. Awalnya saya tak berminat, tapi tiba-tiba saya merasa ingin ada di sana. Ah...saya lanjutkan perjalanan thawaf saja karena saya memang tak terlalu berhasrat bisa menyibak lautan manusia itu. Sambil melanjutkan langkah terbersit keinginan untuk bisa memegang pintu Kakbah tapi tak ingin berdesakan dengan laki-laki.
Setiap melewati pintu Kakbah, saya selalu memantau sikon. Bila tak memungkinkan saya memilih melanjutkan perjalanan. Begitu terus hingga entah putaran keberapa atau thawaf di hari apa, saya melihat bahwa banyak perempuan ‘berjuang’ ingin memegang pintu Kakbah. Mereka dibantu oleh entah kakak laki-laki, ayah, suami, paman, atau siapa pun yang jelas mereka tidak ada yang sendiri.
Ah....tapi saya pun tak pernah merasa sendiri. Kan ada Allah. Saya berdiri memandang dan mencari peluang kira-kira bisa tidak saya ikut naik tembok itu dan berusaha memegang pintu Kakbah. Insya Allah bisa, saya pun bertekad. Saya pun mulai ‘berjuang’ untuk mendekat dan menyibak orang-orang. Alhamdulillah, hampir semuanya perempuan. Saya menyaksikan ada muslimah yang kerudungnya terhimpit, tak sengaja tertarik orang dan entah bagaimana mulanya, kerudung muslimah itu lepas.
Istighfar. Ya Allah...memegang pintu Kakbah tidak wajib. Sedangkan aurat ini adalah nilai harga diri kami, para muslimah. Sungguh, tak sebanding rasanya bisa memegang pintu Kakbah tapi aurat tersingkap karena kerudung terlepas. Saya tak ingin bernasib sama dengan muslimah itu. Tapi saya juga tetap ingin bisa memegang pintu Kakbah. Saya rapal doa-doa dalam hati. Allah Mahamendengar dan mengetahui meskipun itu terlafal dalan bahasa Indonesia. Di tengah perjuangan saya menuju pintu Kakbah, ada ikhwan memakai kain ihram berteriak di samping saya.
“Nisa, No...out.” Hah? Enak saja. Laki dan perempuan punya hak yang sama dalam ibadah. Hati dan kepala saya saling bersahutan. Jelas saya tak bisa membalas kata-katanya karena sepertinya dia orang Arab dan bahasanya sama sekali tidak saya kuasai. Saya sudah berjuang sedemikian dan sudah hampir dekat ke temboknya, malah disuruh out. Kalau situ ingin bisa memegang pintu Kakbah, ayo ikut berjuang. Jangan main ‘out’ saja. Yaa...tapi saya ngedumel dalam hati meskipun setelahnya istighfar. Tapi intinya saya juga bilang ke Allah bahwa saya juga ingin bisa memegang pintu Kakbah.
Ya...ada sisi hati saya yang merasa tertantang tapi tetap rasional kok. Saya nggak nekat kalau banyak ikhwannya. Saya maju karena saya lihat banyak perempuan saat itu. Daaannnn....dengan izin dan bantuan Allah, saya bisa naik ke tembok, pelan merangsek menuju pintu Kakbah dan akhirnya saya pun bisa menyentuhnya bahkan ikut ‘bergelantungan’ di sana. Ya...seolah kembali ke masa kecil yang suka panjat-panjat dan ternyata dengan usia dan bobot segini saya masih dimudahkan Allah. Alhamdulillah, terharu. Saya merasa Allah baik sekali terhadap saya.
Kerudung dan jilbab saya yang selalu lebar aman, alhamdulillah. Saya tak pernah merasakan ada yang menarik, menggencet, atau apa pun. Saya merasa semua baik-baik saja. Bila mau egois, saya bisa saja tidak turun dan di situ saja berlama-lama. Tapi saya lihat di bawah saya ada perempuan yang usianya mungkin 20 tahun menggapai-gapai berusaha untuk naik ke tembok Kakbah dibantu oleh (mungkin) ayahnya. Saya pun mundur dan memberikan tempat padanya. Bahkan saya bantu mengangkat tubuhnya karena memang posisi tembok menuju pintu Kakbah ada di atas. Meskipun tak berbahasa sama, isyarat terima kasih itu saya dapatkan dari si ayah dan anak perempuan tadi.
Saya pun melanjutkan langkah thawaf dengan tanpa kehilangan angka di putaran keberapa. Betapa Allah begitu memudahkan saya. Setelah berhasil dengan pintu Kakbah saya pun melirik area Hajar Aswad. Duh...masih ramai juga. Tak sekadar ramai, amat sangat bahkan beberapa kali saya menyaksikan saling dorong dan saling sikut hingga baju ihram mereka jatuh. Sekali saya melerai dua atau tiga ikhwan yang hampir adu jotos. Ya...karena saya biasanya sedikit berlama-lama memandang ke arah Hajar Aswad, tiba-tiba di dekat saya ada ikhwan saling dorong. Usianya masih muda bahkan mungkin di bawah saya. Usia mudah terbakar emosi dan sedang tangguh-tangguhnya misal terjadi adu fisik. Tapi sangat tidak etis bila ini terjadi di tempat sesuci ini.
Kendala bahasa membuat saya memutar otak dengan cepat. Kosakata ‘No’ dan ‘Istighfar’ saya jadikan andalan. Ya, cuma itu yang saya bisa plus nada suara tegas yang menjadi andalan saya (ehem). Uniknya, setelah hampir adu jotos para ‘brothers’ ini kembali lagi ke kerumunan untuk berdesakan menuju Hajar Aswad. Hadewww...sepertinya mereka ingin mengulang masa kecil dengan saling dorong. Saya pun tak berusaha mendekat, belum saatnya.
Saya lihat agak ke kiri ada yang naik tembok Kakbah, beberapa ikhwan berusaha merangsek maju. Ya...mereka memang berusaha dengan berbagai cara. Tiba-tiba, ada petugas berseragam menarik salah satu dari lak-laki di tembok itu dan mengusirnya. Lalu ada juga dari kerumunan laki-laki yang sudah sangat dekat dengan Hajar Aswad, tiba-tiba ditarik keluar seseorang dan disuruh pergi oleh petugas berseragam itu.
“Mereka orang-orang yang suka berbuat onar,” terdengar bisikan dari saudara serumpun.
Benarkah? Bagaimana petugas itu bisa tahu bila mereka pembuat onar ya? Tetap tak tega rasanya melihat mereka diseret-seret begitu. Saya pun memilih berlalu. Entah di putaran 6 atau 7, Allah kembali memberi saya jalan. Area Hajar Aswad yang tadi hiruk-pikuk, saya lihat agak (agak ya) lengang sedikit. Intinya saya bisa menggeser tubuh untuk ikutan mendekat ke arah si Hitam. Dan dengan sangat mudah nyaris tanpa perjuangan (seingat saya), tangan saya sudah berada di lempengan tembaga. Saya memegangnya lama dan mengusapnya. Saya yang memang kurang persiapan kecuali membawa sekeping hati untuk ‘bertemu’ denganNya, sedikit bingung.
“Loh katanya hitam, kok perak?”
Karena sendirian, saya tak bisa bertanya pada siapa pun. Bahasa Inggris tak laku di sini. Ada lubang hitam berjarak sekian centimeter saja dari tempat saya berdiri dan ujung jari yang masih mengusap lempengan perak itu. Saya masih bingung, tak tahu dimana si Hitam manis berada. Lubang hitam itu penuh orang. Maju mundur ikut antri atau tidak. Tapi karena saya benar-benar tidak merasa tahu dimana batu Hitam itu berada, saya memilih mundur.
Getaran hati saya, tetap biasa. Saya hanya mengikut sunahnya, berusaha meneladani dan mengikut jejaknya: Muhammad SAW. Getar saya tetap untuk momen ketika saya ‘ngobrol’ denganNya. Saya mengadukan seluruh hal yang hanya bisa dikomunikasikan denganNya, tidak dengan siapa pun makhlukNya. Di sinilah saya merasa menemukan penawar luka setelah saya babak belur dihantam gelombang sehingga membuat kapal yang saya naiki karam. Ya...di sinilah hati saya berlabuh. Tempat yang saya rindu untuk kembali lagi dan lagi.
Ketika kembali ke penginapan, saya ceritakan pengalaman tersebut pada teman sekamar. Dan semua bereaksi sama, menyesalkan mengapa saya tak melanjutkan perjuangan yang sudah di ujung jari: menyentuh dan mencium Hajar Aswad. Sebagaimana sikap saya terhadap sesuatu yang sudah berlalu, saya tak menyesal. Pasti ada isyarat yang ingin disampaikan Allah.
“Jangan khawatir ibu-ibu, itu pertanda bahwa Allah ingin saya kembali ke sini karena ada hal yang belum tuntas terbayar yaitu memegang dan mencium Hajar Aswad. Insya Allah satu ketika saya akan kembali lagi,” kata saya mantap meskipun saya sendiri tak tahu kapan itu terwujud. [riafariana/voa-islam.com]
*Menjelang Hari Raya Haji 1435H, Rindu Itu Selalu Datang Lagi dan Lagi
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!