Sabtu, 21 Jumadil Awwal 1446 H / 27 September 2014 19:59 wib
30.135 views
Generasi Indonesia dan Umat Islamnya di Mata Mualaf Asal Italia Stefano Romano
Sahabat Smart Teen yang Disayangi Allah SWT...
Indonesia oh Indonesia, satu negeri yang kusebut sebagai ‘motherland’. Bukan ‘Mother Land’ yang bermakna ibu pertiwi tapi lebih ke ‘Land of Mothers’ yaitu negeri yang penuh dengan para ibu. Maksudnya adalah betapa banyak sosok ibu di negeri ini dengan anak-anak yang cukup banyak pula. Sebagaimana negara lain di Asia seperti Thailand, Cina, bahkan Afrika dan Arab yang menyukai punya banyak anak, begitulah saya melihat Indonesia. Tak heran bila pemerintah memberlakukan keluarga berencana untuk menekan angka kelahiran ini.
Indonesia adalah negara dengan mayoritas berpenduduk muslim. Mereka beranggapan bahwa memunyai banyak anak merupakan sikap yang disukai oleh Islam. Hal ini diperkuat dengan hadis berikut ini:
Dari Ma'qil bin yasar, ia berkata, "Telah datang seorang laki- laki kepada Nabi Muhammad SAW, kemudian laki-laki tersebut berkata kepada Nabi SAW, 'Saya telah bertemu dengan seorang wanita yang cantik dan bernasab baik, akan tetapi wanita tersebut tidak dapat melahirkan, apakah saya menikahinya?' Nabi menjawab. 'Jangan.' Kemudian laki laki tersebut datang lagi untuk kedua kalinya, dan Nabi juga melarangnya. Kemudian laki-laki tersebut datag lagi untuk yang ketiga kalinya, dan Nabi SAW menjawab, 'Nikahilah wanita yang banyak anak, karena aku akan bangga dengan banyaknya umatku.'" (hasan shahih)
Hadis ini mendorong seorang laki-laki untuk menikahi wanita yang subur sehingga nantinya umat ini akan bertambah banyak sehingga membuat Rasulullah SAW bangga akan jumlah mereka di hadapan umat lainnya. Penduduk yang mayoritas muslim ini meyakini bahwa semakin banyak anak maka semakin banyak rezeki pula. Masalahnya, apakah anak-anak ini juga bagaikana mendapat rezeki apabila mereka dilahirkan dari keluarga seperti di bawah ini?
Orang-orang seperti ini beranggapan bahwa apa yang menurut mereka baik pastilah baik juga menurut anak-anak. Padahal sesungguhnya jauh berbeda apa yang dirasakan oleh anak-anak dibandingkan dengan apa yang dirasakan oleh orang tuanya. Mereka, anak-anak yang tinggal di jalanan, tinggal di kampung-kampung kumuh, anak-anak yang terlantar, apakah masih bisa disebut anugrah bila kondisinya seperti itu?
Tentu saja tak ada orang tua yang mau dibilang bahwa mereka tak mencintai anaknya. Tapi apakah bisa disebut cinta bila yang terjadi adalah anak-anak usia 10 tahun sudah kecanduan merokok, mengorek-ngorek sampah untuk mencari sesuap nasi, bahkan area bermain mereka pun tak jauh dari tumpukan limbah pembuangan sampah? Belum lagi mereka, anak-anak yang bermain di jalanan, bermain gitar kecil sebagai alat untuk mengamen, gadis-gadis cilik yang memakai kerudung lusuh dan kumuh menadahkan tangan di perempatan lampu merah meminta belas kasih dari mobil yang lewat. Dan yang lebih mengenaskan lagi, ibunya duduk di pojokan mengamati anaknya dan mereka siap memarahi anak-anak itu bila mereka tak membawa banyak uang. Memprihatinkan! Seharusnya mereka melepas kerudung yang digunakan sebagai hijab pura-pura itu. Mereka hanya memberi stigam buruk terhadap Islam padahal sesungguhnya apa yang mereka lakukan itu sangat jauh dari ajaran Islam sendiri.
Saya tahu apa yang saya katakan ini sangat keras bahkan mungkin ada pihak yang tidak menyukainya. Tapi dalam posisi ini saya berbicara tidak sekadar sebagai seorang muslim atau manusia, saya berbicara dari sudut pandang anak-anak sendiri. Saya menyuarakan apa yang tak mampu mereka suarakan. Tidakkah kalian mendengar jeritan anak-anak yang haknya untuk hidup layak kalian zalimi?
Satu kampung yang benar-benar membuat saya terhenyak adalah kampung bernama Petamburan di Jakarta. Satu sore saya berjalan di sepanjang jalan kampung tersebut yang bersisian dengan sungai Cideng untuk kemudian masuk ke dalam kampung bagian dalam. Ketika saya tiba di sana, saya melihat anak-anak itu sedang bermain di pinggiran bedeng sepanjang tepian sungai. Anak-anak ini mengintip melalui celah-celah tembok. Saya pun mendatangi mereka. Di sana, terlihat dengan jelas sungai kumuh itu. Di seberangnya menjulang tinggi gedung-gedung pencakar langit.
Ketika saya melanjutkan langkah, terlihat dua anak lainnya yang sedang bermain di dekat rumah merpati yang terbuat dari kayu. Rumah merpati itu ditempeli simbol yang mempersatukan bangsa Indonesia yaitu burung Garuda dengan slogannya Bhineka Tunggal Ika. Saya mengikuti anak-anak ini yang ternyata berusaha menerbangkan merpatinya dan kemudian menunggu merpati itu kembali lagi ke sangkarnya. Setelah menunggu beberapa lama, ada salah satu merpati itu yang tak kembali. Anak yang merpatinya tak kembali ini terlihat sangat marah. Ketika saya berusaha menanyakan apa sebab kemarahannya, ia pun menjelaskan bahwa merpati itu baru saja dibelinya. Karena baru dibeli, merpati itu belum hapal rumah barunya sehingga ia hilang entah kemana. Anak ini jengkel karena ia tak tahu bagaimana cara mendapatkan merpati ini kembali. Lagipula ia membelinya dengan harga yang cukup mahal.
Saya melihat anak-anak ini tak ubahnya seperti seekor merpati. Anak-anak yang lahir di Jakarta ini memunyai keinginan untuk bisa terbang bebas dan lepas meskipun pada akhirnya mereka harus kembali lagi ke sangkarnya yang sempit. Simbol merpati kusematkan pada anak-anak ini, membuatku berpikir bahwa lebih baik burung itu tak kembali. Karena itu artinya pertanda bahwa masih ada mimpi yang bisa dibangun oleh anak-anak ini. Satu ketika nanti mereka juga bisa seperti merpati itu yaitu terbang tinggi meriah cita-cita yang ingin mereka rengkuh. Ah...andai bisa kukatakan hal ini kepada mereka, anak-anak pinggiran kota ibukota.
Satu hal lagi hal lucu dan ironis berkaitan dengan lambang Indonesia yang ditempelkan di rumah buruh merpati itu. Berbeda-beda tetapi satu sejauh ini hanya bisa ditemukan pada keragaman agama yang ada di Indonesia. Keragaman yang lain yaitu berupa kesenjangan antara yang miskin dan kaya masih sangat jauh dari cita-cita Bhineka Tunggal Ika itu sendiri. Dan anak-anak itu yang setiap harinya hanya mampu melihat gedung pencakar langit dari kejauhan seolah-olah ingin meneriakkan sesuatu pada bangsa ini: kami adalah anak-anak ibukota! Kami adalah merpati dalam sangkar yang ingin bisa terbang bebas untuk meraih cita-cita kami! Berbeda-beda tetapi satu untuk negeri!
---------------
Ada satu hal yang kontradiktif di sini. Di satu pihak ada satu keyakinan banyak anak banyak rezeki. Tapi di pihak lain dengan banyaknya anak tersebut, orang tua tak mampu memberi pendidikan yang layak sebagai hak anak. Orang tua yang ‘bertanggung jawab’ pun umumnya tinggal para ibu (ayahnya entah sudah kabur kemana). Sehingga tak jarang, orang tua tak mampu mengontrol kelakukan anaknya sehingga mereka menjadi anak jalanan dengan kelakukan kriminal di usia yang masih sangat muda.
Mari kita renungkan, berapa banyak anak yang mengalami masa kecilnya tak terurus seperti ini? Mereka menjadi perokok di usia yang masih sangat kecil. Saya menyaksikan sendiri anak-anak ini karena bahkan beberapa dari mereka meminta rokok itu pada saya tanpa malu. Berapa banyak nantinya dari generasi ini yang akan menjadi pemuda tak tentu arah, bertato, memakai pakaian hitam-hitam sok bergaya ala punk dan kegiatannya sehari-hari hanya meminta uang dengan bernyanyi meskipun suara cempreng di angkutan umum? Bukan tak mungkin mereka ini nantinya akan memperburuk wajah Islam di Indonesia ketika orang-orang tak bertanggung jawab merekrutnya untuk dijadikan sosok yang suka mengebom tempat-tempat umum. Inilah resiko memunyai banyak anak tetapi orang tua tak mampu mengontrol dan mendidik mereka dengan baik.
Lalu apa gunanya memunyai banyak anak tapi orang tua tak mampu mendidiknya? Orang tua tak mampu mengontrol kelakuan anaknya dan mengarahkannya agar jadi anak yang berguna. Padahal di sisi lain, Islam di Indonesia menurut saya adalah Islam yang indah. Jangan sampai karena penanganan yang salah terhadap satu generasi bisa merusak wajah Islam di Indonesia secara khusus dan di dunia secara umum.
----------
Itulah mengapa, saya dan teman saya yang bernama Desti dan Lilis (dari organisasi PKPU) dibantu oleh istri saya ingin memberikan sesuatu yang istimewa untuk anak-anak dari kampung Petamburan ini. Hal ini agar mereka tidak beranggapan bahwa saya datang hanya ingin mengambil foto-foto mereka kemudian pergi dan tak kembali.
Kepedulian yang tumbuh dalam diri saya tak ingin hal itu terjadi. Jadilah dengan dibantu oleh RT Petamburan, kami mengadakan lomba menggambar. Kami memperkirakan sekitar 30 anak yang akan hadir tapi ternyata jumlahnya bertambah hingga mencapai 70 anak. Beberapa dari mereka tidak kebagian tempat untuk lomba sehingga hanya bisa melihat dari luar area lomba.
Di antara anak-anak itu, ada beberapa ibu mereka yang hadir. Di tengah senyum dan wajah bahagia mereka melihat anak-anaknya, ada satu ibu yang berbeda. Dia melihat anaknya dari kejauhan dengan pandangan mata duka. Ia tahu bahwa kegembiraan anaknya hanya ada hari ini saja. Esok dan hari setelahnya, ia tak yakin lagi kegembiraan seperti apa yang akan menyapa anaknya kelak. Pemandangan ini sungguh membuat dadaku sesak.
Ketika acara selesai, anak-anak lari semburat setelah masing-masing menerima hadiah. Belum sempat kuambil gambar mereka kecuali hanya dua anak gadis kecil yang enggan pergi setelah acara usai. Mereka mendatangiku dan mengucapkan terima kasih sambil bertanya kapan aku akan kembali datang. Sesederhana itu tapi bagiku itu sungguh sangat berhati dan mampu membuat hatiku tersenyum setelah sesak menatap jalan hidup anak-anak ini.
Tentu saja tak semua anak-anak Indonesia membuat dadaku sesak. Ada juga anak-anak yang terlihat bahagia meskipun di tengah kemiskinan yang ada. Mereka ini adalah anak yatim yang Ramadan lalu berbuka bersama kami bersama dengan PKPU. Kemudian ada juga anak-anak di sekolah Islam Bunga Bangsa, kelas kecil di ‘Al Muhajirin’, Kelompok Bermain dan TK Nurul Islam Fajri di Pondok Pinang. Dari semua hal menyenangkan di wajah anak-anak ini, ada sekelompok anak yang membuatku bahagia lebih dari apa pun. Mereka ini adalah anak-anak yang sedang membaca Iqro di kelas TPA Al Anugerah di Kelurahan Curug Parung, Depok. Di wajah merekalah hati terasa teduh dan serasa ada harapan di masa depan negeri ini.
Kenangan yang masih membekas dan terasa sangat indah dan begitu bermakna adalah pemandangan di Kampung Slipi, Jakarta. Ruang kecil yang diterangi oleh lampu templok, seorang guru ngaji yang sudah sangat tua dengan murid berjumlah enam atau tujuh anak, salah satunya adalah seorang gadis cilik berusia sekitar 3 tahun yang sedang belajar membaca Iqro. Di tangan yang sudah tak lagi muda dan penuh kerut berpadu dengan tangan kecil si anak yang sedang berusaha mengeja halaman pertama dari buku Iqro (buku yang sama dengan yang kugunakan untuk belajar membaca huruf Arab), terletak keindahan dan seluruh jiwa Islam seolah melebur di sana. Terdapat harapan yang cerah akan nasib negeri ini ke depan, bangga akan nilai-nilai relijiusitas yang kental di dalamnya. Tentu saja tanpa melupakan bahwa ada bagian dari negeri ini, anak-anak yang tumbuh dan besar di tengah tumpukan sampah.
Terlepas dari dua kontradiksi yang tersaji pada wajah kanak-kanak negeri ini, aku percaya bahwa anak-anak yang sedang belajar Iqro ini akan tumbuh dan besar menjadi generasi yang akan mengikis semua kesenjangan ini. Mereka akan tumbuh menjadi generasi hebat yang membawa perubahan pada negeri agar tak ada lagi anak-anak yang terpaksa tumbuh di tengah tumpukan sampah, insya Allah. Karena sesungguhnya inilah spirit yang dibawa oleh Islam bahwa semua anak seharusnya mendapat tempat yang layak untuk perkembangannya.
Sebagaimana yang dikatakan oleh seorang bijak dari Afrika, Bambara: “Jika kamu ingin menyelamatkan pengetahuan dan mengantarkannya melewati waktu maka percayakan itu pada anak-anak.”
Begitu pun Rasulullah SAW ketika ditanya didatangi oleh salah satu sahabat yang mengatakan bahwa ia memunyai 10 anak tapi tak pernah diciumnya sekali pun. Jawab Rasulullah “Mereka yang tidak menyayangi maka tidak akan disayangi oleh Allah.” (HR. Bukhari & Tirmidzi).
Stefano Romano
September 2014
*Tulisan ini berangkat dari kegelisahan dan kemarahan saya melihat kondisi anak-anak di wilayah Petamburan, Jakarta pada kesempatan pertama saya mengunjungi wilayah ini ketika saya berada di Indonesia. Seluruh cinta saya hadirkan dalam tulisan ini untuk anak-anak terutama yang berada di Jawa. Terima kasih pada Ria yang bersedia menerjemahkan dan mempublikasikannya untuk voa-islam.com*
(diterjemahkan oleh riafariana eksklusif untuk sahabat voa-islam.com dari wawancara dengan Stefano Romano)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!