Survei: 37 Persen remaja Yahudi AS Bersimpati Pada HamasSabtu, 23 Nov 2024 20:25 |
By : Ria Fariana
“Wah udah penuh nih. Kamu sih kelamaan mandi, dandan, orang cuma mau lihat basket aja. Belum lagi jalannya macet.” Sambil berdesak-desakan mencari tempat duduk strategis, Oning ngomel terus. Aku sih cuek aja, sudah terbiasa.
“Mana cowok yang katamu tadi?”
“Aku juga nggak tahu. Makanya lagi dicariin nih.” Mataku jelalatan memandang ke lapangan, juga ke kursi pemain cadangan. Di situ pun nggak kelihatan. Bukankah dia pemain inti? Tapi kenapa nggak diturunkan? Kulihat skor di papan, kurang beberapa point lagi SMU-ku unggul di babak kedua ini. Seharusnya aku gembira, tapi entah kenapa aku berharap tim lawan yang menang, tentu saja dengan dewa penyelamatnya, Ernesto. Nama itu sudah kuhapal di luar kepala.
Priiit!!! Permainan dihentikan sementara. Pelatih dari tim lawan meminta waktu untuk mengatur strategi dan pergantian pemain. Yes ! Akhirnya diturunkan juga dia, sang dewa penyelamat tim lawan.
“Pil…Pil, tuh cowok oke banget. Apa dia yang yang kamu maksud? Lho…kok?” Aku hanya senyam-senyum. Pertama ngelihatnya dulu aku juga asing. Di antara teman-temannya yang berhawai ria (celana hawai itu lho) dia sendiri yang pakai training panjang. Belum lagi di bawah dagunya berkibar beberapa lembar jenggot imut.
“Hoe…orang dari mana tuh kayak embek. Diikutin Qurban tahun depan aja.” Tuh kan sudah mulai ada yang usil dengan penampilannya.
“Eh diem loh! Gitu-gitu tampangnya oke punya daripada kamu,” cewek di sebelahnya menggerutu sebal.
“Ayo…ayo terus. Siapa nama cowok itu? Peto, Neto, Tito, siapa sih Pil?”
“Husy, enak aja! Ernesto namanya.”
“Oh iya. Ayo…ayo, Ernesto. Nggak enak Pil, kepanjangan. Ayo…ayo Neto, gasak aja tim tempe itu. Ayo Neto!”
Aduh, telingaku bisa budek nih dekat Oning yang lagi teriak-teriak kesurupan. Pake ngubah-ngubah nama orang lagi. Tak urung namaku pun jadi korbannya. Bagus-bagus nama pemberian ortu Aprillia, diganti seenaknya jadi Pilli, bahkan terkadang jadi Pipil. Belum lagi teman-teman cowok pada melototin kami. Habisnya hampir semua supporter cewek sekolahku pada nyorakin Ernesto. Bahkan yang biasanya nggak hobi nonton basket, saat ini pada berjubel di lapangan ini. Padahal lokasi sekolah lawan ini lumayan juga jauhnya dari SMU-ku.
Priiit…Priiit. Peluit tanda pertandingan usai. Babak kedua ini dimenangkan tim lawan dengan selisih tipis satu point. Karena pada babak kesatu tim SMU-ku yang unggul, jadinya harus diadakan pertandingan sekali lagi untuk menentukan siapa pemenangnya. Tapi karena beberapa sebab pertandingan ditunda hingga minggu depan, begitu kata panitianya. Kulirik Swatch di tanganku menunjukkan pukul 5.20. Astaga! Kutepuk jidatku dengan keras.
“Ning, aku belum sholat Ashar tadi. Ayo cepat, kita cari mushola sekolah ini.” Kutarik kaos Oning yang kedomboran di tubuhnya yang mungil itu. Kususuri koridor sepanjang kelas-kelas, tapi yang namanya mushola atau semacamnya nggak kelihatan juga. Aku mulai kalang kabut dan sepanjang pencarian itu kuomeli Oning yang menyuruhku cepat-cepat tadi.
“Eh tuh ada cowok, kita tanya dia aja.” Mata Oning yang biarpun kecil gitu kalau lihat cowok sejauh apa pun kelihatan juga.
“Permisi.” Deg, hatiku berdesir.
“Musholanya mana? Eh…maksudnya, letak mushola sekolah ini di mana?” kuralat ucapanku yang saking groginya sampai gak karuan. Dia menunjuk ke suatu arah tanpa memandangku, maksudku kami, aku dan Oning.
“Makasih!” sahutku ketus mendapati tanggapannya yang dingin itu. Setelah agak jauh darinya, Oning baru sadar siapa cowok tadi.
“Pil, dia kan Ernesto. Kita kenalan dulu yuk, Pil.” Tak kuhiraukan teriakan-teriakan Oning yang mengajakku kembali.
Setelah mushola ketemu aku segera ambil air wudhu dan sholat ala ‘flash’ alias cepat bin ngebut. Begitu aku salam kanan kiri, tak lama kemudian azan Magrib berkumandang. Sambil mengatur nafas yang rada ngos-ngosan, aku berusaha menikmati suara adzan. Kok sepertinya pernah dengar sih. Karena penasaran, aku dan Oning berusaha melongok ke balik tabir pembatas. Dia lagi!
“Pulang yuk! Udah malam nih, sholat Maghribnya di rumah aja.” Kusenggol Oning yang lagi bengong. Sepanjang perjalanan di mobil Oning, aku nggak habis pikir tentang Ernesto. Dia jago basket, finalis Karya Ilmiah Remaja tingkat nasional, dan piawai mengumandangkan adzan. Tapi kenapa dia cuek banget? Dengar-dengar sih kalau sama makhluk berjenis cewek aja cueknya itu. Apa dia pernah patah hati? Tapi kenapa aku merasa sudah pernah mengenalnya?
Ciiit. Mobil dihentikan mendadak banget. Untung kepalaku nggak sampai kejentus sandaran kursi.
“Sorry Pil, gue turunin di sini aja deh. Habis, males muter neh.” Dengan teganya Oning mendorong badanku keluar mobil. Tanpa ba bi apalagi bu, ditancapnya Katana merah itu sambil meninggalkan asap tebal mengepul di depanku. Aku hanya bisa menyumpah-nyumpahi Oning dalam hati.
Esok harinya di sekolah, seperti dugaanku semula. Dari pojok kantin Mbok Yem hingga pojok kamar kecil, dari pojok ruang kelas hingga lapangan olahraga, seakan tidak ada topik lain yang diomongkan kecuali satu, ERNESTO. Semua memuji permainannya, body dan tampang kerennya juga. Nggak terkecuali yang cowok, pada ngomongin penampilannya. Yang sok alim lah, norak lah, nggak kompak dengan timnya, dan gosip-gosip murahan lainnya. Dasar pada iri semua. Soalnya dengan tampilnya Ernesto, pasaran mereka jatuh di mata cewek-cewek. Belum lagi Oning yang langsung ngilang sejak bel istirahat, biasa cari informasi.
“Kosong…kosong. Tiga jam pelajaran kosong semua. Cabut ahhh!” Anto, si ketua kelas masuk sambil teriak-teriak. Banyak teman-teman yang ngikuti Anto sambil teriak-teriak kegirangan.
Kuputuskan untuk ke Sekretariat OSIS, nanggung mau pulang. Setibanya di sana, ruangan yang cuma muat kurang dari sepuluh siswa itu sudah penuh cowok. Gini-gini aku nggak mau jadi perawan di sarang penyamun. Jadinya aku cuma duduk-duduk di bangku depan ruang SekOs itu.
“Pil…Pil, aku bawa banyak berita nih,” Oning berlari-lari menghampiriku.
“Tapi jangan di sini, banyak mata-mata,” katanya sambil menarikku ke kantin.
“Huu…bilang aja kalau mau minta traktir,” gerutuku.
Sambil cengar-cengir Oning langsung memesan semangkuk bakso dan segelas es kelapa muda. Sambil makan Oning memulai ceritanya.
“Pil, kamu tahu nggak…”
“Nggak!” potongku cepat.
“Heh, denger dulu dong!” Oning melotot konyol.
“Kamu nggak usah komentar dulu deh. Kalau kamu nekat, ceritaku ku-cut, ok?” Akhirnya meluncur juga cerita-cerita Oning tentang Ernesto. Mulai dari penyebab ditundanya pertandingan minggu kemarin karena Ernesto tetap menolak untuk memakai celana seragam timnya dengan alasan sebatas lutut dan pusar adalah aurat laki-laki, hingga cerita bahwa dia pindahan dari sekolah di Spanyol. Semuanya komplit. Tapi ada yang tertinggal dari cerita Oning, yaitu masa kecilnya. Entah kenapa, aku begitu ingin mengetahuinya.
“Dia juga nggak pernah mau lihat kalau ngomong sama cewek. Pantas waktu tempo hari kita tanya dia kayaknya cuek banget. Kalau nggak salah itu namanya wan…wan, apa Pil yang ada wan-nya itu lho.”
“Ikhwan!” jawabku jengkel. Aku jadi ingat ketika masih aktif di keputrian rohis waktu kelas satu dulu, tentang hal menundukkan pandangan.
“O ya Pil, hampir lupa. Ini ada undangan pengajian bulanan rutin se-kodya.”
“Kok aku sih? Kan biasanya aktivis rohis yang datang,” protesku. Bukan kenapa-napa sih, tapi aku suka kikuk bila ada di tengah-tengah para jilbaber. Apalagi ini seluruh SMU se-Kodya, perwakilan tentunya.
“Tauk tuh, ketua OSIS sendiri yang nugasin kamu untuk datang. Mungkin dia pikir sudah saatnya kamu insyaf.”
“Oning, please…”
“Nggak usah please-please gitu deh. Aku udah tahu kamu pasti ada maunya kalau gitu. Sorry deh Pil, aku nggak bisa.”
“Eit, nggak ada mobil, nggak ada traktir,” potongku cepat.
“Kejam kamu. Dasar nggak ikhlas,” gerutu Oning. Soalnya kalau nggak diancam gini nggak bakalan Oning mau nganterin pakai mobilnya.
Hari Minggu dua hari kemudian, Oning molor setengah jam dari undangan yang pukul 8 pagi. Tapi kali ini nggak ada alasan untuk marah ketika kulihat dia keluar dari mobil sudah berkerudung rapi. Pasti dia butuh berjam-jam untuk memakainya. Memang Oning selalu berusaha tampil rapi begitu bila berkumpul dengan para jilbaber.
Berbeda sekali dengan keadaanku yang cuma pakai celana panjang feminin dan hem panjang plus kerudung tipis asal bawa. Pernah sih nyoba ditutupkan sempurna ke kepala, tapi sampai pegal rasanya tangan dan kepala ini, hasilnya jauh dari sempurna. Akhirnya harus puas dengan kerudung yang cuma disampirkan di bahu.
Duh Gusti…kenapa ‘makhluk’ ini seakan-akan ada di mana-mana? Lihatlah, dia duduk di depan memberi sambutan sebagai ketua rohis sekodya. Tuhan, kenapa perasaan ini muncul lagi? Kulirik Oning yang serius mendengarkan kata sambutannya (atau pura-pura serius?). Kurasakan waktu berjalan lambat sekali hari ini. Aku harus menemukan jawaban dari segala kegelisahan ini. Harus!
Setelah acara usai, kuberanikan diri untuk menunggunya di balkon bangunan sebelah kiri tempat peserta putra keluar masuk ruangan. Sengaja tak kuberitahu Oning yang bisa-bisa menggagalkan rencanaku yang telah kupertimbangkan masak-masak ini. Nah, itu dia sedang berjalan menuju pintu di mana aku sedang menunggunya. Ketika dia melewatiku, “Ers, bisa aku berbicara denganmu?” kuberanikan diri untuk menyapanya. Dia hanya menoleh sekilas.
“Namaku Aprillia, ada hal penting yang ingin kubicarakan”
“Maaf, tapi saya ada keperluan penting setelah ini. Lagipula alangkah lebih baik bila kamu membawa teman karena itu akan lebih menjaga kehormatan kita berdua,” katanya tenang. Dan dia pun berlalu setelah mengucapkan salam.
Sepanjang perjalanan pulang tak kuhiraukan lagi omelan protes Oning. Benakku dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang belum mampu untuk kujawab. Semakin penasaran aku dibuatnya.
Setibanya di rumah mama memberitahuku ada seseorang yang sedang menungguku di teras belakang dengan papa. Teras belakang? Dengan papa? Setahuku hanya tamu istimewa yang dijamu papa di teras belakang. Siapakah dia? Kulangkahkan kaki ke arah teras belakang. Kulihat sosok itu membelakangi pintu di mana aku berdiri. Dan ketika aku sudah sampai di samping papa.
“Nah…ini dia yang kita tunggu. Ini Aprillia, saudara kembar yang ingin segera kau temui itu,” Papa memperkenalkanku ke tamu itu.
Saudara kembar? Cowok di depan papa langsung berdiri dan kulihat ia tertegun memandangku. Di tengah kebingunganku, papa merangkul kami berdua dalam dekapannya. Ternyata cowok yang sempat jadi idola ini adalah saudara kembarku yang diangkat anak oleh Tante Santi, adik kandung papa yang positif tidak bisa punya anak karena rahimnya diangkat. Tante Santi ikut suaminya yang bekerja sebagai staff konsulat di Spanyol dan membawa serta bayi yang diangkatnya waktu itu. Sebagai anak kembar ikatan batin di antara kami begitu kuat dan itulah sebabnya papa tidak pernah menceritakan padaku hingga hari ini.
Kulihat saudara kembarku yang duduk di seberang meja itu dengan haru. Ah…lucunya. Ketika perasaan aneh yang dulu sempat kusangka rasa cinta seperti cewek ke cowok, ternyata adalah perasaan sayang dan rindu terhadap saudara kembar yang dulu selalu bersama-sama ketika masih di dalam rahim mama. Dan dia pun tidak lagi malu-malu memandangku. Ada senyum terukir di wajah tampannya. Ia pun merentangkan tangan untuk menerimaku dalam pelukannya. Ah…indahnya cinta ini.[]
FREE ONGKIR. Belanja Gamis syari dan jilbab terbaru via online tanpa khawatir ongkos kirim. Siap kirim seluruh Indonesia. Model kekinian, warna beragam. Adem dan nyaman dipakai.
http://beautysyari.id
Di sini tempatnya-kiosherbalku.com. Melayani grosir & eceran herbal dari berbagai produsen dengan >1.500 jenis produk yang kami distribusikan dengan diskon sd 60% Hub: 0857-1024-0471
http://www.kiosherbalku.com
Mau penghasilan tambahan? Yuk jadi reseller tas TBMR. Tanpa modal, bisa dikerjakan siapa saja dari rumah atau di waktu senggang. Daftar sekarang dan dapatkan diskon khusus reseller
http://www.tasbrandedmurahriri.com
Suplier dan Distributor Aneka Obat Herbal & Pengobatan Islami. Melayani Eceran & Grosir Minimal 350,000 dengan diskon s.d 60%.
Pembelian bisa campur produk >1.300 jenis produk.
http://www.anekaobatherbal.com