Selasa, 3 Jumadil Awwal 1446 H / 27 Oktober 2009 21:48 wib
4.142 views
Surat Terakhir dari Ancone
By: Ria Fariana
Dear Friend,
Bagaimana kabarmu beserta keluarga, keponakan-keponakanmu yang lucu, dan teman-temanmu dalam Islam? Aku harap mereka semua baik-baik saja. Dan bagaimana pula dengan ujian akhirmu? Sebagaimana yang kau tulis di suratmu yang lalu tentang perasaan sedihmu akan meninggalkan masa-masa di Senior High yang penuh keakraban terutama dengan siswa-siswa baru yang mulai berkenalan dengan cahaya baru Islam yang kau bilang namanya hidayah. Aku ingat ketika kulontarkan kata-kata kebencian ketika aku mengetahui agamamu, dengan sabar kamu berusaha meluruskan persepsiku.
Ah….forget it friend. Aku malu bila mengingat apa yang sudah kutulis padamu. Padahal tahun pertama persahabatan kita begitu manis. Aku masih ingat ketika membuka e-mail pertama darimu di sebuah box surat dalam dunia maya. Kau ceritakan siapa dirimu, hobimu, dan dari mana kamu tahu e-mail addressku. Aku begitu terkesan dengan cerita-ceritamu tentang negeri dengan hawa tropis di sana, Indonesia. Kau ceritakan pula tentang kota tempat tinggalmu Surabaya, yang akan menjadi kota metropolitan kedua setelah ibu kota Jakarta. Kedatangan e-mailmu seakan-akan kiriman Tuhan dari langit karena begitu tepat momentnya, tatkala aku begitu butuh seorang teman untuk berbagi cerita.
Ngomong-ngomong mengenai Tuhan, aku tidak begitu peduli dengan-Nya. Aku percaya bahwa Tuhan ada tapi tentang keterlibatan-Nya dalam urusan dunia, nanti dulu. Paham sekuler yang ditanamkan sejak dini itu begitu kuat di kepribadian kami, anak-anak Eropa. Biarlah Tuhan mengurusi persoalan di langit. Tentang urusan dunia, biarkan kami anak-anak Tuhan yang menanganinya. Ditambah lagi pelajaran agama tidak pernah ada di sekolah-sekolah umum, kecuali sekolah biara tentunya. Jadilah kami generasi yang begitu bangga pada kemampuan otak dan kreativitas. Dad pernah menyekolahkanku di sekolah biara dengan paket khusus liburan musim dingin beberapa tahun lalu.
O ya, Dad berasal dari England, negerinya si cantik Lady Diana. Makanya aku memanggilnya lain dari anak Perancis umumnya. Dad begitu ingin aku mengikuti jejaknya, mengabdikan diri pada Tuhan dan menghindari urusan dunia yang tidak abadi, katanya. Tapi aku bukanlah Melville, abangku yang mengikuti jejak Dad. Melville yang memutuskan masuk biara setelah Nicole, pacarnya lari dengan laki-laki lain. Dad semakin bangga dengan anak laki-laki satu-satunya itu. Di tengah kekalutannya, dia memilih biara sebagai pelarian. Mungkin menurut Dad itu lebih baik daripada Mary, si bungsu yang saat ini tak ketahuan rimbanya setelah menggugurkan kandungan di usianya yang masih 15 tahun itu.
Hanya akulah harapan Dad yang masih tegar dan suci, sesuci keperawanan Bunda Maria. Tapi Dad pun tahu bahwa aku tidak tega menjadikan biara sebagai pelarian dari semua masalah, terutama mereka yang patah hati. Kasihan Yesus yang menderita karena dosa manusia dan menjadikan biara dan gereja hanya sebagai tempat penampungan bagi mereka yang putus asa dan merasa hidupnya tak berarti lagi. Hampir semua yang menjadi pastor dan biarawati adalah mereka yang telah pernah melakukan seks di luar nikah. Bahkan yang membuatku kecewa tidak itu saja. Suatu malam aku memergoki seorang suster dan pastor melakukan hal-hal yang tidak sepantasnya mereka lakukan. Aku tahu, sebetulnya aku tidak boleh mengetahui apa yang mereka lakukan. Tapi rasa ingin tahuku mengalahkan segalanya. Semalaman aku tidak bisa tidur dan harus kembali merenungi kata-kata dalam suratmu sebelumnya. Menikah adalah sesuatu yang alami pada manusia untuk mengendalikan diri dari perilaku-perilaku yang menyimpang. Kamu menyebutnya fitrah. Di lain pihak segolongan orang melakukan penyimpangan sehingga terlalu bebas atau free sex, sedangkan sebagian yang lain pura-pura sok suci dan berusaha lari ke biara-biara untuk menghindari sesuatu yang menurut mereka kotor dan menjijikkan. Tapi mereka munafik, toh mereka lakukan juga walaupun dengan sembunyi-sembunyi.
Banyak hal yang membuatku semakin bingung, ketika aku berusaha memperdalam agama ini. Tentang prinsip tiga dalam satu, penebusan dosa, ataupun yang lain. Kami di sini tidak diperbolehkan untuk bertanya atau menyangkal tapi hanya diajar untuk menerima tanpa bantahan. Karena pernah suatu kali aku mencoba menanyakan kedua hal di atas dan aku pun masih ingat bagaimana merahnya wajah pastor pengajar. Kemudian salah satu suster mendekatiku, memintaku keluar kelas dan memintaku beristirahat. Dianggapnya aku sakit dan sedang mengigau. Semakin kupikirkan ini semakin pening rasa kepalaku. Kuputuskan untuk tidak mengikuti bahasan selanjutnya tentang trik-trik untuk menjadi misionaris yang efektif. Aku tidak berminat lagi. Aku sudah cukup muak dengan itu semua. Menarik orang-orang awam, miskin dan bodoh dengan iming-iming uang dan makanan. Dan bukannya dengan argumentasi dan intelektualitas logis yang bisa dipertanggungjawabkan untuk mencari kebenaran. Satu hal lagi, tingkah lakuku semakin diawasi sejak kulontarkan pertanyaan tempo hari. Untunglah ada seorang biarawati yang baik dan memohon suster kepala untuk menyerahkan pengawasanku padanya. Suster Antoinette namanya. Dia begitu memahami tentang kebingunganku terhadap prinsip-prinsip unlogical yang kuterima. Bahkan dia mendorongku untuk mempelajari berbagai agama lain. Aku masih ingat salah satu kata-katanya, “Islam adalah salah satu agama besar di dunia dan identik dengan terorisme. Tapi bukan mustahil kebenaran ada di dalamnya.” Aku langsung teringat dirimu yang juga berpakaian rapat seperti Suster Antoinette.
Kota ini terlalu kecil bagiku untuk mendapatkan sepercik embun pada dahagaku, haus akan kebenaran. Minggu depan umurku genap delapan belas tahun, usia kebebasan yang bahkan orang tua pun tidak berhak melarang atau menyuruh apa pun pada anaknya. Lucu bila mengingat di negaramu sana umur tujuh belas tahun biasa dirayakan dengan meriah bagi mereka yang mengagungkan peradaban barat dengan anggapan mereka sudah dewasa. Di sini kedewasaan itu tidak diukur dengan pesta meriah tapi bukti seratus persen harus sudah lepas dari tanggung jawab orang tua. Benar-benar hidup mandiri. Aku harus ke Paris, suatu kota yang kata orang the most romantic city in the world. Yah, aku ke sana memang mau mencari cinta, tapi bukan cinta semu yang diobral sepanjang Mouff distrik, atau pun dari Place de la Contrescarpe dan sepanjang the Rue Mouffetard. Yang kucari adalah cinta hakiki, yang akan memberi kedamaian di hati. Yang akan menjawab semua pertanyaan besarku tentang dari mana aku berasal, untuk apa sebenarnya aku hidup di dunia ini, dan setelah semua ini berakhir, kemanakah aku kan pergi.
Paris di malam hari. Cukup indah dengan segala lampu kota menghias di tiap sudut jalan dibandingkan dengan kota kecil Ancone yang bernuansa pedesaan. Toko-toko berjajar, orang-orang berjas dan berdasi hanya untuk makan malam, diskotik, pub dan hotel penuh orang. Tapi bukan itu tujuanku kemari. Kulangkahkan kaki menuju museum kota tempat perpustakaan dan literatur tentang segala agama berada. Tidak banyak yang kudapatkan unutk memuaskan dahagaku tentang kebenaran dan konsep hidup yang benar. Kulangkahkan kaki menuju Cancale, pantai Brittani yang terkenal indah. Kebetulan di bulan September ini cuaca sangat cerah, summer season. Matahari lambat terbenam sehingga aku masih sempat menyaksikan sinar indahnya di hampir tengah malam ini. Kutarik nafas dalam dan tak henti memandang keindahannya. Pastilah ada Yang Mahaindah di balik itu semua. Seperti yang pernah kau kutipkan dari kitab sucimu Al Kur’an bahwa dalam penciptaan langit dan bumi terdapat tanda-tanda kebesaran Tuhan bagi mereka yang mau berpikir.
Hari mulai gelap dan aku tak ingin menghentikan kembaraku. Kubiarkan kaki melangkah sekehendak hati hingga tibalah aku di depan Masjid Hammam atau orang biasa menyebutnya Hammam of the Paris mosque. Entah kenapa ada kerinduan menyeruak kala terdengar seruan dari dalam yang nantinya aku tahu bernama adzan. Sebuah panggilan merdu untuk beribadah yang bernama sholat. Di tengah ketertegunanku ada seorang muslimah berbaju rapat mengingatkanku akan suster Antoinette yang hanya terlihat muka dan telapak tangan. Dia menyapaku ramah dan mengajakku ke ruangan teduh yang merupakan sekretariat muslimah. Di situlah untuk pertama kalinya aku menangis setelah semua pertanyaan yang mengusikku terjawab dengan sangat memuaskan. Tentang dari mana aku berasal, untuk apa aku hidup di dunia ini, dan ke mana aku akan kembali setelah kematian menjemput. Aku merasa seperti terlahir kembali dan menemukan diriku yang sama sekali baru. Betapa ada Yang Maha Segalanya di balik manusia, alam dan kehidupan ini, ada Yang Maha menciptakan dan dia juga Maha pengatur. Karena tidak ada yang Maha memahami manusia selain pencipta itu sendiri. Betapa naif bila kehidupan yang sedemikian rumit diserahkan ke akal manusia yang terbatas dengan konsep trial and error. Harus ada aturan pasti tentang semua hal itu. Dan konsep kebaikan akan ada pahala sedangkan kejahatan akan ada balasan tidak hanya setelah mati kelak tapi juga di dunia sebagai ganjaran untuk pemelihara hidup dan kehidupan. Benar-benar suatu konsep hidup yang amazing, luar biasa. Betapa sejak mula kita bangun tidur hingga semua aktifitas sehari-hari dilakukan hingga tidur lagi ada semua aturan yang begitu sempurna. Baru kali ini aku menemui suatu agama yang tidak hanya berdimensi spriritual an sich, tapi dimensi politik untuk mengurusi kehidupan semua lapisan masyarakat pun terbahas dengan sempurna dalam agama samawi terakhir ini, Al-Islam.
Akhirnya segala jerih payahku terbayar lunas. Tidak pernah aku sebahagia ini. Tapi di saat bersamaan ada terbersit khawatir di hati apabila Dad mengetahui tentang keislamanku. Dad orang yang keras, dia tidak segan-segan menghajar anaknya yang dianggap tidak patuh. Itu sebabnya Mary memilih lari dari rumah dengan perut buncit akibat pergaulan bebasnya. Ah, betapa rindunya aku dengan saudaraku itu. Ingin rasanya kubagi kebahagiaan ini dengan orang-orang terdekatku. Aku harus pulang.
Seperti yang pernah kutulis padamu, Dad orang yang keras. Tubuhku penuh bilur akibat siksaan dari kemarahannya setelah tahu tentang keislamanku. Aku tidak bisa menahan rasa hatiku untuk tidak memberitahunya. Walaupun sesungguhnya Tuhan, kita menyebutnya Allah membolehkan kita menyembunyikannya apabila situasi tidak memungkinkan. Tapi aku memilih jalan ini. Akan kutanggung semua konsekuensi dari keimananku. Karena di sinilah aku merasakan secara nyata lezatnya beriman dalam Islam.
Kutulis paragraph terakhir dari surat pertamaku ini untukmu, my dearest friend. Betapa tak henti kagumku dengan teknologi yang membikin dunia seperti sebuah desa informasi. Ketika internet bagai pisau bermata dua, maka aku telah menggunakan sisi baiknya. Sedikit banyak kamu telah membantuku menemukan muara dari kembara ruhaniku. Kamu yang hadir di belahan bumi sana dan tak pernah kugenggam erat hangat persahabatanmu selain hanya sebuah image foto yang kita kirim satu sama lain, tapi hati kita nyata dalam balutan kasih Ilahi. Doakan aku, karena doa itulah kekuatan kita yang terpisah beribu-ribu mil jauhnya. Bukan good bye karena ini bukan perpisahan, tapi I’ll see you soon karena kita akan bertemu, Insya Allah. Bila tidak di dunia ini, biarlah di akhirat nanti. Salam sayangku selalu untukmu dan semua orang-orang yang kau kasihi dan juga muslim sedunia. Semoga Allah memberiku kekuatan dalam menjalani ini semua.
Love for thee
Laura Rotchild.
Aka Fathimah
PS: Douce France, doux pays de mon enfance. Sweet France, sweet land of my childhood. Aku terlahir di sini, dan biarlah kututup mataku di sini pula.
* * * * *
Kubaca tiap kata dari surat pertama dan terakhir Laura dengan hati berkecamuk antara bahagia dan sedih bercampur jadi satu. Selamat datang saudaraku, selamat datang dalam iman dan Islam. Aku tidak tahu apakah pantas aku mengucapkan good bye dan saatnyakah kulakukan sholat gaib untukmu? Aku begitu mengenal tulisanmu dan gaya bertuturmu. Terlihat di surat terakhirmu kalau kamu begitu kesakitan sehingga sering tulisanmu melewati garis, naik turun tidak beraturan. Dari gayamu bercerita pun aku tahu kamu menyimpan luka baik fisik atau pun psychologis yang dahsyat. Kamu selalu tidak ingin berbagi kesedihanmu dengan orang lain. Tapi tiga tahun berteman di dunia maya cukup bagiku untuk mengenali dirimu dan berusaha merasakan kepedihanmu. Walau mungkin itu tak sebanding dengan apa yang kamu rasakan sendiri. Kamu mungkin tidak sadar kalau di ujung lembaran suratmu ada warna merah kehitaman membeku sehingga membuatku yakin kalau kondisimu jauh lebih parah dari isi suratmu yang hanya menggambarkan bilur di tubuh.
* * * * *
Laila Putri mengambil air wudhu dan menunaikan sholat sunnah untuk mendoakan sahabatnya itu. Tak ingin meyakini dirinya untuk melakukan sholat ghaib tentang kondisi terakhir Laura yang memilih nama Fathimah sebagai nama hijrahnya. Sahabat yang terasa begitu dekat tapi jauh secara materi. Pertemanan yang terjalin lewat dunia maya sebatas e-mail akhirnya harus ditutup dengan sepucuk surat nyata berbilur lara dan darah. Allah selalu bersamamu ya…ukhti.
(Teruntuk teman dunia mayaku, kapankah kalian menemukan muara bahagia itu?)
Note: Karya ini pernah menjadi terbaik pertama di milad situs dakwah alhikmah.com
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!