Rabu, 3 Jumadil Awwal 1446 H / 21 Oktober 2009 11:11 wib
6.685 views
Kriteria Pemimpin2
Sambungan...
Bukankah Amirul mu’minin Umar bin Al Kaththab berkata :
حَاسِبُوْا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوْا
“Koreksilah dirimu, sebelum engkau diminta pertangungjawaban (terhadap apa yang kamu lakukan)” Ada yang mengartikannya juga :” sebelum engkau dikoreksi orang lain” (HR Turmudzi).
Usaha untuk mengatasi Ta’ashub (fanatisme) umat dan gerakan semacam in memerlukan adanya studi perbandingan (comperative study) terhadap perkembangan golongan dan kelompok umat Islam lainnya, sehingga tanpa diberi ulasan, dirinya sudah mampu melihat segala kekurangan dan kelemahan. Bentuk prasangka dan curiga yang ditularkan dari mulut ke mulut menjadi hilang. Lebih-lebih lagi kalau pemimpin golongan atau gerakan itu sudi mengadakan silaturrahmi sesama muslim dan antar sesama gerakan dan ormas Islam, sampai mau menjalin hubungan kerja sama yang baik.
Bentuk aktifitas di atas, yakni dengan memahami jalan pikiran sesama muslim dan sesama golongan dan gerakan atau ormas dan partai Islam, akan lahir sikap tasamuh (toleransi) dan kebebasan berpikir untuk menilai benar tidaknya sesuatu berdasarkan analisanya sendiri. Sikap toleran yang dimaksud disini mencakup masalah ushul (pokok) seperti akidah yang dalilnya dzanni (tidak pasti), juga masalah furu’ (cabang) yaitu hukum-hukum yang dalilnya dzanni pula. Akhirnya tumbuhlah pada dirinya sikap :”bersatu dalm akidah, bertoleransi dalam furu’iyah“.
Sikap tolerensi tersebut bukan berarti mengorbangkan keyakinan, prinsip atau pendirian, akan tetapi menandakan luasnya cakrawala pandangan.
Pemimpin kelompok umat Islam yang tidak mampu menanamkan kepada anak buahnya sikap tasamuh tadi, hanya akan membawa umat menuju perpecahan, saling berdebatan bukan untuk mencari kebenaran dan mengikutinya melainkan ingin mem-pertahankan pendapatnya walau terbukti salah dan atau sesat.
a) Mampu menumbuhkan kerjasama dan solidaritas sesama umat Islam.
Kerjasam bisa ditumbuhkan, bila pemimpin satu sama lainnya tidak memper-sempit jalur komunikasi. Masing-masing pemimpin harus mampu menanamkan bahwa antara sesama muslim --apalagi anggota gerakan-- ada ukhuwah Islamiyah dan semua adalah umat yang satu (umatan wahidatan). Adanya berbagai organisasi, partai dan jamaah adalah sekedar alat untuk mencapai tujuan yang sama sesuai dengan ijtihad dan pemahaman masing-masing.
Kerjasama (Ta’awun) antar sesama gerakan dan ormas Islam --sebagaimana di tegaskan dalam Al Qur’an-- merupakan etika umum masyarakat muslim. Allah SWT berfirman :
وَتَعَاوَنُوْا عَلَى البِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوْا عَلَى الإِثْمِ والعُدْوَانِ
“Dan tolong menolong kamu dalam (mengerjarkan) kebajikan dan ketakwaan (akan tetapi) janganlah kamu tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran (terhadap aturan Islam).” (Al Ma-idah: 2)
Kerjasama dan tolong-menolng dalam segala bentuk dan cara yang disepakati, akan menghilangkan nafsu permusuhan dan lenyaplah apa yang disebut oleh ahli-ahli sosiologi dengan istilah ‘perebutan hidup’ yang telah menjerumuskan dunia ke dalam kehancuran. Karena didorong oleh ‘perebutan’ itu, tiap-tiap golongan dan gerakan mengira bahwa kelanjutan hidup mereka tidak akan mungkin, jika tidak menghancur-kan golongan lain. Bilamana dasar pemikiran seperti inilah yang merajalela, maka syari’atul ghaab (hukum rimba)-lah yang akan berlaku dan bukan syari’at Islam.
Seorang pemimpin yang menginginkan bawahannya kompak dan berwibawa akan selalu menamkan tadlamun (solidaritas), tarahum (kasih sayang) dan ta’athuf (simpati atau menaruh perhatian) terhadap sesama muslim dan terhadap kelompok gerakan lainnya, baik di bidang dakwah, sosial-politik maupun pembelaan. Dengan demikian akan hilanglah rasa egoisme, dan yang terjadi adalah altruisme dalam arti suka memperhatikan dan mementingkan kepentingan orang lain.
Organisasi atau kelompok yang ada di lingkungan uamat Islam, mereka lahir dari individu. Maka bila jalinan hubungan individu menjadi baik, akan membawa perubahan terhadap kelompok atau golongan.
Pemimpin yang berjiwa integratif dan pemersatu, tentu mampu melakukan kunjungan silaturrahmi atau anjangsana ke kantor organisasi atau tempat tinggal tokoh-tokoh gerakan maupun golongan dan organisasi, sambil melihat keadaan dari dekat. Kebijaksanaan yang ia lakukan tidaklah hanya sekedar apa yang diistilah “top down approch” yakni pendekatan dari atas ke bawah akan tetapi pendekatan yang berakar di bawah, sehingga bangunan kerjasama itu tumbuh dari basis yang kokoh dan kuat.
b) Mampu menghilangkan pengkultusan terhadap pemimpin dan golongan.
Para pemimpin golongan dan kelompok dari kalangan umat Islam hendaknya menyadari, bahwa dirinya memikiki banyak kelemahan. Tak mungkin penguasaan akan segala masalah dapat ditangani satu orang bahkan satu kelompok. Keahlian yang yang ada pada satu orang pemimpin yang dibantu oleh sekelompok orang yang ahli, belum tentu dimiliki oleh seorang pemimpin lainnya meskipun dibantu juga oleh sekelompok orang yang memiliki keaneka ragam keahlian.
Bahaya kultus terhadap pemimpin atau wadah ialah kurang mau menerima kritik dan saran dari golongan lain, bahkan kadang-kadang dari golongan yang sama, sehingga terjadilah penyakit ‘ujub (sombong) dan memganggap dirinya atau gerakan dan kelompoknya hebat bahkan paling hebat. Ananiyah (akuisme) di sini tumbuh dengan subur, sebab hanya pemimpinnya atau golongannya yang dianggap paling mampu dan sempurna. Mereka akhirnya tidak diajak musyawarah apalagi kerjasama, lantaran rasa akuisme (egocentricity) dan kesempurnaan.
Jika para pemimpin golongan suka mengultuskan diri atau dikultuskan peng-ikutnya malah menanamkan fanatisme dan kultus terhadap wadah organisasi yang dipimpinnya, maka jangan mengharap cita-cita ‘izzul Islam wal Muslimin’ (kemuliaan agama Islam dan kaum muslimin) akan terwujud, sebab semua itu datang dari ke-sadaran umat Islam sendiri, terutama para pemimpinnya.
c) Bersikap terbuka, baik dalam menerima ide, saran maupun kritik.
Salah satu penyebab kemajuan yang dicapai seseorang dalam memimpin ialah bila pada dirinya bersemayam sikap terbuka. Segala bentuk buah pikiran, baik yang datang dari bawahan maupun dari pihak lain, diterimanya dengan terbuka. Setelah dilakukan pertimbangan dan penganalisaan bersama, bila ternyata membawa ke arah perkembangan dan kemajuan, maka diterimalah buah pikiran itu, walaupun datang dari orang yang berbeda usia dan tingkat ilmu pengetahuan.
Seorang pemimpin yang menolak saran dan kritikan berarti tidak menamkan pada pihak bawahannya sikap yang Islami, yaitu berani mengkritik pemimpin. karena merasa dirinya pasling benar. Hal yang demikian itu, jelas bertentangan dengan men-talitasnya sebagai pemimpin muslim.
Abu Bakar Ash Shiddiq ra. pada waktu dibebani amanat kepemimpinan umat sebagai khalifah Rasulillah saw., beliau berpidato menjelaskan tanggungjawabnya sebagai pemimpin, yang nadanya siap menerima kritik dan saran; dan bahwasanya dirinya bukanlah orang yang terbaik diantara mereka :
أَيُّهَا النَّاسُ، فَإِنِّيْ قَدْ وُلِّيْتُ عَلَيْكُمْ وَلَسْتُ بِخَيْرِكُمْ
فَإنْ أَحْسَنْتُ فَاَعِيْنُونِي وَإِنْ أَسَأْتُ فَقَوِّمُونِيْ . .
“Wahai manusia, aku telak kau percayakan untuk memegang kekuasaan, padahal tidak sebaik kamu sekalian. Oleh karena itu, apabila ternyata apa yang aku lakukan itu benar, maka dukunglah aku. Akan tetapi bila ternyata apa yang aku lakukan salah maka luruskanlah aku . .” (Ibnu Katsir; al Bidayah wan Nihayah jil.6 hal.340).
Kepolosan dan ketulusan hati itulah yang menyebabkan beliau berhasil dalam memegang tampuk pemerintahan. Beliau bersikap terbuka, karena berkeyakinan bahwa setiap manusia memiliki potensi yang terpendam. Potensi itu akan sangat bermanfaat, bila ditanamkan unsur kebersamaan, sehingga dapat dirasakan tidak ada perbedaan antara pemimpin dan yang dipimpinnya.
Allah SWT. berfirman:
الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللهُُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الأَلْبَابِ
“ialah orang-orang yang mau mendengarkan ucapan (pendapat dari mana pun datangnya), kemudian mau mengikuti mana yang paling baik di antara (pendapat) itu. Mereka itulah yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (Az Zumar: 18)
Disamping terbuka menyerap buah pikiran dari orang lain, juga terbuka dapat memberi peluang bagi setiap orang untuk mengungkapkan segala yang terpendam di dalam hatinya. Hal itu perlu untuk menghilangkan sikap curiga mencurigai, baik dari intern umat atau organisasi, maupun orang dan kelompok lain.
d) Mampu mempersiapkan tenaga pengganti dan berjiwa kritikal.
Tidak sedikit para pemimpin di kalangan umat Islam yang menduduki tampuk pimpinan sampai berbagai periode, bahkan ada yang sampai seumur hidup. Tentang klassifikasi tipe pemimpin di dunia, ada dua macam pepimpin.
Pertama:‘hording type’, yaitu pemimpin yang senang menumpuk-numpuk keahlian. Tidak mau dia mewariskan kemampuannya kepeda generasi sesudahnya, atau kepada bawahannya. Malahan mereka takut kalau mendapat saingan. Kehorma-tannya dipandang akan menurun bila diungguli oleh bawahan. Tak ada kaderisasi, apalagi menanamkan tanggungjawab organisasi.
Kedua: ‘productive type’, yaitu pemimpin yang mampu menciptakan tenaga pengganti. Pemimpin semacam ini senang sekali bila memiliki generasi penerus atau bawahan yang cakap. Ia selalu mempersiapkan tenaga pengganti bilamana usia sudah uzur dan fisik sudah semakin lemah, serta perkembangan dunia luar semakin pesat.
Sikap koreksi yang dilakukan bawahan terhadap atasan, jangan diartikan berani dengan orang tua. Ada sebagian orang yang menyalah gunakan sabda Nabi :
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَم صَغِيْرَنَا وَيُوَقِّر كَبِيْرَنا
“Bukan tergolong umatku mereka yang tidak sayang terhadap yang muda di antara kita, dan tidak menghormati yang tua diantara kita” (HSR Turmudzi)
Sikap kontrol yang dilakukan oleh bawahan atau generasi muda dianggapnya tidak menghormati yang lebih tua. Karena itu, pemimpin semacam ini sampai me-ninggal dunia dirinya tidak akan mampu menciptakan generasi pewaris.
e) Mampu mengatasi penyakit juhuud dan jumuud dalam tubuh golongan.
Penyakit yang melanda umat Islam dewasa ini memang banyak, diantaranya sikap juhuud (reaksioner) dan jumuud (beku berfikir).
Sikap reaksioner (juhuud) dapat disebabkan oleb beberapa faktor, misalnya jarang melakukan komunikasi dengan dunia luar; jarang mengetahui keadaan setiap kelompok dan organisasi baru yang berkembang didalam masyarakat; bahkan jarang sekali berdialoge dan musyawarah dengan gerakan lain, apalagi kerja sama.
Kekurangan informasi menyebabkan mudah curiga terhadap segala bentuk ide maupun saran yang datang dari luar, baik dari ormas-ormas dan parpol-parpol Islam, atau dari tokoh-tokoh masyarakat. Sikap reaksioner juga terjadi karena kurangnya daya cipta dan daya karya yang dimilikinya, sehingga setiap adanya rencana baru yang dibuat oleh kelompok lain, dan setiap adanya karya baru yang dikeluarkan oleh gerakan lain, langsung dihalanginya hanya lantaran iri dan dengki.
Kebekuan berpikir (jumuud) biasanya terjadi lantaran puas dengan apa yang ada. Kepemimpinan, oraganisasi dan tata kerja yang dimilikinya selama ini dianggap cukup memadai.
Sikap juhuud dan jumuud akan hilang, bila pada mereka ditimbuhkan daya cipta dan kreatifitas yang kuat, sehingga dengan adanya daya cipta dan kreatifitas tersebut akan tumbuh dengan sendirinya sikap dinamis dan kegairahan hidup akan selalu tumbuh pada setiap perkembangan baru.
Dalam ajaran Islam daya cipta memiliki tempat yang sangat terhormat. Maka Rasulullah saw. bersabda :
مَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ
أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ
بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Barangsiapa di masa Islam membuat saatu kreasi (sunnah) yang baru dan baik (sesuai dengan tuntutan ajaran Islam), kemudian diamalkan oleh orang yang sesudahnya, maka kepadanya ditulis pahala sebanyak orang yang menger-jakan (sunnah yang baru itu) tanpa dikurangi pahala mereka. Dan Barangsiapa di masa Islam membuat saatu kreasi (sunnah) yang baru dan buruk (tidak sesuai dengan tuntutan ajaran Islam), kemudian diamalkan oleh orang yang sesudahnya, maka kepadanya ditulis dosa sebanyak orang yang mengerjakan (sunnah buruk itu) tanpa dikurangi dosa-dosa mereka” HSR Muslim).
2. Intern Umat Islam :
Bagaiman karakter seorang pemimpin yang harus mampu memimpin berbagai golongan umat atau berbagai kelompok dan gerakan Islam secara keseluruhan? Pemimpin semacam ini harus memenuhi kriteria calon Amir al jama’aat wal harakaat al Islamiyah (ketua umum persatuan jamaah dan gerakan Islam), yang diantaranya ialah persyaratan-persyaratan berikut :
a. Berpandangan luas serta tidak fanatik golongan :
Seorang pemimpin yang berpandangan luas, dapat mempertemukan pendapat yang berbeda-beda, meskipun masing-masing merasa puas dengan pendapatanya itu sendiri. Bila ternyata tidak dapat dipertemukan, maka dengan kebijaksanaanya dapat menyadarkan pihak yang paling merasa dirinya benar itu, agar menghargai pendapat orang lain, karena masing-masing memiliki argumentasi.
Pimpinan umat yang memiliki sifat dan watak fanatik terhadap golongan tertentu, pasti tidak disukai oleh pihak lain yang tak sepaham, karena khawatir bahwa pahamnya nanti akan membawa pengaruh.. Setidak-tidaknya dengan kepemimpinan-nya akan mepengaruhi jalan pikiran bagi pihak-pihak yang berbeda. Lebih berbahaya lagi kalau dalam tubuh (wadah) intern umat dirinya selalu menyerang golongan lain-nya yang tidak sepaham.
Fanatik golongan timbul lantaran kepicikan pandangan, sehingga perbedaan suku, asal daerah, golongan, atau perbedaan madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali), persilisihan paham terhadap cabang salah satu hukum agama dijadikan modal untuk bersengketa dan memecah belah uamt.
Di Indonesia, sengketa pendapat dalam hal cabang (furu’) yang terkait dengan hukum agama sulit didamaikan, terutama pada mereka yang tingkat pemahamannya terhadap hukum agama rendah atau dangkal. Ada juga yang memiliki pemahaman yang tinggi tetapi selalu mengadakan sengketa, hanya lantaran ingin dikatakan bahwa pendapatnyalah yang paling benar.
Maka yang namanya pemimpin harus memiliki wawasan yang cukup luas tentang hukum syariat Islam dan perkembangan madzhab-madzhab fiqih, ditinjau dari segi dalil-dalil yang dipakai masing-masing fuqaha’ dan duduk permasalahannya.
Bersambung...
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!