REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Damaskus adalah salah satu kota tertua di dunia yang didiami oleh berbagai peradaban silih berganti. Salah satu peradaban yang pernah tumbuh dan berkembang di kota ini adalah Islam. Semasa Dinasti Umayyah (661-750 M), Damaskus menjadi ibukota dunia Islam. Khalifah-khalifah Umayyah yang memerintah dari Damaskus menguasai seluruh kawasan, mulai dari Spanyol hingga ke India.
Sejarah mencatat, peradaban Islam telah meninggalkan banyak bangunan indah di Damaskus, ibukota negara Suriah ini. Salah satu bangunan paling spektakuler di Damaskus adalah Masjid Umayyah atau yang juga dikenal dengan sebutan Masjid Agung Damaskus. Secara historis dan budaya, masjid yang berdiri megah dijantung kota Damaskus itu merupakan salah satu tempat ibadah umat Islam yang paling tua.
Masjid ini dibangun pada masa Khalifah al-Walid bin Abdul Malik (88-97 H/705-715 M) dari Dinasti Umayyah. Arsitekturnya telah memberi pengaruh bagi seni bina masjid di seluruh dunia. Dari masjid inilah, arsitektur Islam mulai mengenal lengkungan (horseshoe arch), menara segi empat, dan maksurah. Namun, sesungguhnya ada cerita yang sangat panjang, yang mendahului pembangunan masjid ini.
Bangunan asli Masjid Umayyah berdiri sejak empat ribu tahun lalu, yaitu sebagai tempat penyembahan api oleh kaum Aramia. Kemudian, pada abad pertama Masehi, bangunan ini diperluas oleh bangsa Romawi yang berhasil merebut kota Damaskus dari tangan kaum Aramia, untuk digunakan sebagai tempat penyembahan Dewa Jupiter.
Ketika agama Kristen berkembang di Kerajaan Romawi, Kaisar Theodosius (330 M) melarang penyembahan dewa-dewa dan mengubah bangunan ini menjadi sebuah gereja katedral dengan nama Gereja St John Baptist Basilika. Tahun 636 M, bangsa Arab mengalahkan kaum Romawi dan mereka pun berkuasa atas kota Damaskus. Namun, mereka membiarkan gereja ini tetap berdiri.
Akhirnya, ketika sebagian besar penduduk Damaskus memeluk agama Islam, bangunan gereja ini pun diubah fungsinya menjadi masjid pada tahun 705 M. Di masjid ini juga terdapat beberapa kuburan Nabi yang bisa diziarahi pengunjung, antara lain kuburan kepala Nabi Yahya (yang dipenggal oleh umatnya sendiri), Nabi Hud, dan Nabi Khidir.
Masjid Umayyah di Damaskus ini memperlihatkan proses percampuran budaya Romawi dan Islam. Karena, meskipun telah dilakukan beberapa perubahan pada arsitektur gereja, bagian-bagian khas gereja masih tampak pada kompleks masjid ini, termasuk sumur tempat membaptis bayi-bayi Kristen.
Proses pembangunan Masjid Agung Umayyah dimulai pada 87 H/705 M dan selesai pada 96 H/714 M. Pembangunan masjid terbesar pertama di abad ke-8 M itu melibatkan para seniman dan tukang bangunan dari berbagai negeri, seperti Persia, India, Afrika Utara, Mesir, dan Bizantium. 'Aristektur Barat, KAC Creswell, dalam bukunya, Early Muslim Architecture, dan Strzygowski (1930) mengatakan, ''Masjid Agung Umayyah adalah murni hasil kerja umat Islam yang terinspirasi oleh gaya Persia.''
Pada awalnya, masjid yang besar dan megah itu berdiri di atas lahan dengan panjang 157 meter dan lebar 100 meter serta terdiri atas dua bagian utama. Bagian halaman menempati hampir separuh area masjid dan dikelilingi serambi yang melengkung. Halaman masjid yang berbentuk persegi empat ini dibiarkan terbuka karena terinspirasi Masjid Nabawi di Madinah.
Bangunan Masjid Umayyah tampak megah dengan ditutupi kubah yang indah serta tiga buah menara yang menjulang tinggi ke langit Damaskus. Tiga menara yang menemani bangunan masjid yang megah itu terbilang unik. Sebab, biasanya jumlah menara yang ada pada masjid jumlahnya satu, dua, empat, atau tujuh seperti yang terdapat di Al-Haram As-Sharif (Ka'bah).
Menara pada Masjid Umayyah ini merupakan usaha pembuatan menara pertama pada bangunan masjid. Awalnya, pada bekas bangunan gereja St John Baptist Basilika terdapat dua buah menara yang berfungsi sebagai penunjuk waktu, lonceng pada siang hari dan kerlipan lampu pada malam hari. Menara itu merupakan salah satu ciri khas bangunan Romawi.
Kedua menara peninggalan bangunan gereja ini terdapat pada sisi barat dan timur. Menara sebelah timur atau yang biasa disebut sebagai Menara Isa diyakini sebagai tempat akan turunnya Nabi Isa AS. Khalifah al-Walid yang memang dikenal memiliki selera dan kepedulian tinggi dalam rancang bangun arsitektur telah memulai tradisi membangun menara sebagai salah satu unsur khas pada masjid.
Khalifah al-Walid mempertahankan kedua menara yang bertengger di bangunan bekas gereja tersebut. Bahkan, untuk mempertegas wibawa dan kemegahan Masjid Umayyah, beliau kemudian membangun lagi sebuah menara di sisi utara pelataran masjid, yakni tepat di atas Gerbang al-Firdaus. Menara itu pun biasa disebut menara utara Masjid Umayyah.