REPUBLIKA.CO.ID, JERUSALEM--Buldoser Israel menghancurkan enam bangunan, termasuk setidaknya tiga tinggal, di Jerusalem timur yang diperebutkan pada hari Selasa. Sebelumnya, penghancuran properti Palestina sempat berhenti yang bertujuan untuk mendorong perundingan damai.
Pihak Israel berdalih, bangunan yang dihancurkan tak dilihat apakah tempat tinggal atau bukan, "tapi semua yang dibangun secara ilegal dan tidak dihuni." Penghancuran itu dilakukan atas perintah pengadilan, kata juru bicara kotamadya dalam sebuah pernyataan.
Tapi Palestina mengklaim, tiga dari struktur yang dibongkar adalah rumah dan satu gudang. Dua dipan dan tas penuh dengan pakaian anak-anak dan peralatan dapur berserakan di luar salah satu bangunan.
Salah satu rumah yang dihancurkan adalah milik Basem Isawi, 48 tahun, seorang kontraktor. Ia melarang keenam anaknya keluar dari rumah terdekat untuk melihat apa yang terjadi dengan rumah mereka.
Isawi mengatakan ia hampir selesai membangun rumah itu, yang menghabiskan dana sekitar 25 ribu dolar AS. "Kami mengawasi mereka menghancurkan rumah, dan kami tidak bisa berbuat apa-apa," kata Isawi. Polisi mengatakan pembongkaran dilakukan tanpa insiden.
Pada hari Senin, komite kota Jerusalem memberikan persetujuan awal pembangunan 32 apartemen baru di lingkungan Yahudi di Jerusalem timur. Dan dalam beberapa minggu terakhir, mereka telah mulai menghancurkan bangunan-bangunan yang diklaim berdiri tanpa izin.
Saeb Erekat, seorang pembantu Presiden Palestina Mahmoud Abbas, mengutuk penghancuran rumah. "Pemerintah Israel telah diberikan pilihan antara permukiman dan perdamaian dan jelas bahwa mereka memilih permukiman," katanya.
Kantor Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu tidak berkomentar tentang hal ini.
Di Washington, jurubicara Departemen Luar Negeri AS PJ Crowley mengatakan Amerika Serikat sangat prihatin tentang penghancuran rumah dan tidak setuju dengan beberapa aspek kebijakan Israel. "Kami terus menentang dan akan membuat jelas kepada pemerintah Israel bahwa kami menentang tindakan sepihak," katanya.
Israel mengatakan mereka hanya menegakkan hukum terhadap pelanggaran bangunan, namun Palestina mengatakan praktik perencanaan diskriminatif tidak memungkinkan bagi mereka untuk mendapatkan izin, sehingga pilihan bagi warga Palestina hanyalah membangun secara ilegal dengan risiko pembongkaran.