Selasa, 3 Jumadil Awwal 1446 H / 19 Januari 2021 22:52 wib
3.212 views
Jokowi Teken Perpres 7/2021, Pengamat: Parameter apa yang Digunakan untuk Menilai Ekstrimisme?
BANDUNG (voa-islam.com) - Setelah mengkaji substanai Perpres No 7/2021 tentang Rencana Aksi Nasionala Pencegahan dan Penanggulangan Ekstrimisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE) sepanjang 113 hal (versi PDF) dan sudah diteken oleh Presiden Jokowi pada 6 Januari 2021 yang lalu, Pengamat Terorisme dari The Community Islamic of Ideological Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya memberikan beberapa catatannya.
Menurut Harits, substansi Perpres secara keseluruhan sebagai legitimasi program kerja BNPT 2020-2024 sebagai leading sektor urusan kontra terorisme di Indonesia.
"Dan implementasi Perpres otomatis akan memunculkan nomenklatur baru untuk anggaran atau pembiayaan. Meniscayakan muncul struktur atau unit baru di BNPT atau institusi yang terlibat. Tentu akan menambah beban anggaran baru," katanya dalam keterangan tertulisnya yang dikirim kepada redaksi Voa Islam pada Senin (18/01) kemarin.
"Perpres saya pahami bukan fokus diaksi terorisme, tapi mengarah kepada gejala pra-aksi terorisme yang kemudian dibahasakan sebagai ekstrimisme berbasis kekerasan yang mengarah kepada aksi terorisme," lanjutnya.
Pada konteks diksi "ekstrimisme" serta makna yang diadopsi dalam Perpres kata Harits, berpotensi melahirkan perdebatan karena ambigu, karena menyasar wilayah "keyakinan", lain soal dengan "tindakan kekerasan".
Ia menilai dan mempertanyakan dengan paradigma dan parameter apa pada level implementasi untuk menilai sebuah "keyakinan dan atau tindakan kekerasan" itu sebagai ekstrimisme?
"Potensi subyektifitas dan tendensiusitas akan muncul dan sulit dikontrol," tuturnya.
"Kenapa pemerintah tidak fokus dan bersungguh-sungguh menyelesaikan persoal hulu sebagai variabel pemicu munculnya aksi terorisme seperti halnya yang tertuang dalam Perpres?" ujarnya.
"(Seperti) Tingkatkan kehidupan ekonomi, tingkatkan kesejahteraan dan kualitas SDM rakyat Indonesia dan kedua yang tidak kalah darurat adalah tegakkan keadilan. Ciptakan iklim kepercayaan publik kepada pemerintah bahwa keadilan bisa tegak di bumi NKRI," tambahnya.
Harits menyebut kalau aspek ini tidak menjadi fokus prioritas, justru substansi dan implementasi Perpres ini menjadi kontraproduktif dan masyarakat digiring sibuk pada persoalan cabang atau dampak dan bukan pada persoalan hulu.
"Apalagi jika masyarakat dibuatkan lahan 'pekerjaan' baru, diberi kesempatan untuk menjadi 'tukang lapor' paska mereka ditraining oleh BNPT atau lembaga terkait saya menduga kuat mudahnya fitnah bertebaran di tengah masyarakat. Dan ini bukan menyatukan tetapi makin membuat keterbelahan kehidupan sosial masyarakat," jelasnya.
"Jadi Perpres ini berpotensi kontraproduktif dan melahirkan kontraksi sosial baru," tutupnya. [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!