Kamis, 14 Jumadil Awwal 1446 H / 24 Oktober 2019 06:44 wib
4.911 views
Ini Temuan Lokataru Foundation pada Aksi 24-26 September 2019
JAKARTA (voa-islam.com)—Lokataru Foundation menyoroti sikap represif pemerintah pada aksi mahasiswa da berbagai elemen masyarakat sipil pada 23-30 September lalu. Akibat dari sikap represif ini lima orang meregang nyawa; Immawan Randy (21), Yusuf Kardawi (19), Maulana Suryadi (23), Bagus Putra Mahendra (15), dan Akbar Alamsyah Rahmawan (19).
Deputi Direktur Eksekutif Lokataru Foundation Mufti Makaarim A dalam keterangan tertulisnya mengungkapkan beberapa fakta yang ditemukan.
Dikatakan Mufti, terdapat banyak kesulitan untuk mengidentifikasi jumlah korban kekerasan karena simpang siur informasi, baik terkait jumlah dan kondisi korban akibat penanganan pihak kepolisian yang berlebihan, hingga kondisi mereka di ruang penahanan.
“Persoalan ini ditemukan Tim Advokasi untuk Demokrasi (terdiri dari sejumlah lembaga bantuan hukum dan organisasi advokasi HAM) yang sampai hari ini masih dihalang-halangi pihak kepolisian untuk bisa memberikan bantuan hukum,” ujar Mufti, Rabu (23/10/2019).
Bahkan, jelas Mufti, pihak keluarga juga dihalangi untuk bertemu dengan‘tahanan’ yang sebagian besarnya merupakan mahasiswa dan pelajar. Sejak akhir September, Lokataru Foundation melakukan pemantauan terkait aksi #ReformasiDikorupsi dan situasi mereka yang ditahan polisi.
“Kami berusaha menyusun analisa terhadap data penangkapan mahasiswadan pelajar, yang berfokus pada insiden 24 –26 September 2019, yakni ketika pecah bentrok aksi #ReformasiDikorupsi di depan gedung DPR/MPR RI dan beberapa kota besar lainnya,” ungkap Mufti.
Melalui pemantauan ini, ditambah data-data dan informasi dari Tim Advokasi untuk Demokrasi, Lokataru menemukan:Pertama, berdasarkan pemantauan lapangan, pembubaran unjuk rasa tanggal 24 September di depan gedung DPR/MPR RI sudah dilakukan kepolisian sebelum pukul 18:00 (batas jam keramaian di tempat umum) dengan serangan water cannon dan gas air mata.
“Sejak pukul 18.00 sebagian peserta aksi telah beristirahat. Namun ketika para peserta berangsur pulang di malam hari, aparat kepolisian justru melakukan sweeping di beberapa titik untuk menangkapi mereka yang diduga demonstran,” jelas dia.
Kedua, dari hasil pemantauan Lokataru, ada setidaknya 400 mahasiswa dan pelajaryang menjadi korban penangkapan selama 24–26 September. Perlu dicatat, tidak semua penangkapan tersebut dapat diidentifikasi, mengingat komunikasi tim pengumpul data yang lebih dekat dengan Tim Advokasi untuk Demokrasi yang berlokasi di Jakarta.
Ketiga, mayoritas mahasiswa dan pelajar ditahan tanpa alasan jelas. Banyak dari korban tidak jelas status hukumnya saat ditangkap hingga dilepaskan. Sedikit sekali informasi yang diberikan selama penangkapan, sehingga banyak korban yang tidak memahami mengapa mereka ditangkap.
Selama proses penahanan, korban tak dapat menghubungi keluarganya serta tidak memperoleh akses terhadap bantuan hukum (incommunicado detention). Pola penangkapan demonstran kali ini lebih menyerupai penangkapan pelaku kejahatan berat, dimana seseorang ditangkap dan diisolasi tanpa bisa diakses oleh keluarga dan pemberi bantuan hukum.
“Kami menyebut pola penangkapan mahasiswa dan pelajar ini dengan istilah “arrest first, question(s) later” alias tangkap dulu, bertanya kemudian. Tanpa bukti kuat, mereka yang ditangkap segera dikenakan pasal-pasal, antara lain:Penghasutan untuk melakukan tindakan kekerasan, Pengrusakan dan tindak kekerasan terhadap orang atau barang, Menghalangi, melawan, memaksa aparat penegak hukum untuk melakukan tindakan pembubaran aksi demonstrasi, Menolak untuk membubarkan diri (menolak peringatan polisi),” ungkap Mufti.* [Syaf/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!