Kamis, 15 Jumadil Awwal 1446 H / 19 September 2019 09:23 wib
4.685 views
Islamophobia Dijadikan Komoditas Politik
JAKARTA (voa-islam.com)- Politikus Gerindra, Dahnil Anzar Simanjuntak menyebut bahwa narasi Islamophobia telah efektif ditebar pada politik Indonesia. Ia pun berbagi sedikit hasil dari riset yang dilakukan Tim Prabowo-Sandi pada hasil Pemilu yang lalu.
“Hasil riset berdasarkan agama menunjukkan bahwa 85 persen pemilih non muslim memilih Jokowi-Maaruf, dan hanya 15 persen memilih Prabowo-Sandi,” demikian paparannya, Rabu (18/9/2019).
Pun pada kasus Pilkada DKI dicatat oleh Gerindra bahwa jumlah non muslim yang memilih Ahok-Djarot pada waktu itu di atas 85 persen. Dan Dahnil menyebut bahwa 85 persen pemilih non muslim yang memilih Jokowi-Maaruf ketika itu pun tidak mau memilih Prabowo-Sandi karena dianggap radikal, kelompok Islam garis keras, dan pendukung HTI.
“15 persen pemilih non muslim yang pilih Prabowo-Sandi karena alasan visi Ekonomi yang jelas. #Islamophobia,” cuitannya.
Narasi dan tuduhan Prabowo-Sandi disebut adalah kelompok radikal bukan cuma efektif kepada saudara-saudara yang non muslim tapi juga kepada kelompok abangan, yang merasa takut dengan stigma radikal tersebut. Narasi radikal ini juga tidak hanya digunakan untuk Pemilu, tapi untuk semua segmentasi agenda politik.
“Termasuk untuk membungkam kelompok kritis dan kelompok yang dianggap sulit berkongkalikong #Islamophobia.”
Mantan Ketum PP Pemuda Muhammadiyah itu juga menyebut bahwa narasi radikal juga digunakan dalam kasus KPK untuk menurunkan dukungan terhadap lembaga antirasuah tersebut. Sehingga publik abai dengan isu yang subtansinya, yakni pembunuhan terhadap agenda pemberantasan korupsi.
Dan agenda tersebut sukses.”
Dahnil menambahkan bahwa narasi radikal pun tetap disematkan kepada siapa saja yang mencari keadilan, apalagi bila datang dari kelompok Islam yang kuat. Sehingga, dukungan publik terhadap mereka menjadi lemah.
“Tengok saja beberapa kasus. Beberapa NGO, masyarakat sipil seperti Kontras, LBH, YLBHI tidak mudah terpengaruhi dengan narasi radikal, namun beberapa NGO lain termasuk NGO antikorupsi termakan isu ini sehingga polarisasi gerakan masyarakat sipil berdasarkan afiliasi politik terjadi.”
Dahnil melihat selama ini tampaknya publik Indonesia ditakut-takuti dengan adanya tuduhan radikal, dan narasi ini khas dulu ketika Suharto memproduksi narasi PKI kepada pihak-pihak yang mengancam kekuasaan politiknya.
“Jadi, bila dulu zaman Orde Baru stigma yang berlawanan dengan pemerintah adalah PKI, sekarang dengan langgam, bahkan banyak orangnya sama di dalam pemerintahan menggunakan tuduhan Islam Radikal. #Islamophobia.”
(Robi/voa-islam.com)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!