Jum'at, 15 Jumadil Awwal 1446 H / 2 Agutus 2019 09:23 wib
3.354 views
Bencana dan Penyelesaiannya yang Rumit
JAKARTA (voa-islam.com)- Beberapa hari yang lalu tepat 1 tahun, yakni pada tanggal 29 Juli 2018 gempa Obel-Obel mengawali rangkaian gempa di NTB. 230-an ribu rumah dilaporkan mengalami kerusakan. Masih ada laporan rumah yang rusak dan tidak tercover pada angka itu.
“#1TahunGempa NTB bukan hanya merobohkan rumah-rumah warga di 7 kabupaten kota se-NTB, tapi juga menekan perekonomian NTB. Hampir 500-an ribu menjadi pengungsi, mereka kehilangan pekerjaan, pariwisata merosot,” Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah mengamati.
Satu tahun empa NTB, trauma tentang bencana menurut dia telah membekas pada memori kolektif warga. Trauma yang membekas, penanda ingatan itu begitu kuat.
“Penanda #1TahunGempaNTB bukan hanya pada ingatan, tapi juga terlihat pada sebagian korban yang masih menginap di tenda-tenda. Saya mendapat keluhan dari beberapa pihak, setelah #1TahunGempaNTB penanganan korban berjalan, masih ada yang banyak yang belum tercover.”
Ada Pemda yang telah menerbitkan SK untuk daftar korban yang perlu mendapatkan bantuan stimulan, namun sampai sekarang belum ada kejelasan. Pada APBN disiapkan dana cadangan sebesar 15 T, 5T untuk penanganan bencana, dan secara khusus 10 triliun untuk NTB dan Sulteng. Total 10 triliun untuk NTB dan Sulteng masih belum memadai jika dibandingkan kebutuhan senilai lebih 50 triliun untuk pemulihan NTB dan Sulteng.
“#1TahunGempaNTB Dana cadangan berarti penyiapan dana yabg penggunaannya saat bencana, sedangkan untuk keperluan mitigasi dan pra bencana, diperlukan dana kontijensi yang tercermin pada belanja BNPB. Tren belanja BNPB dalam 5 tahhn terakhir terus berkurang dari 1,471 triliun jadi di bawah 648 miliar.
Selain itu, dalam pengamatannya masih ditemukan problem harmonisasi aturan ditingkat peraturan pelaksana, ditingkat menteri kabinet.
Misalnya Jadup diberikan pada pascabencana, sedangkan pada peraturan BNPB santunan bisa pada masa transisi darurat.”
Faktualnya, dengan perpanjangan transisi darurat, mestinya dana-dana sosial bisa diberikan, tapi terganjal aturan. Dari awal birokrasi kita punya masalah dalam membuat sistem. Antara takut menyimpang dan mencari lubang kesempatan.
Begitu juga misalnya temuan Timwas di Banten, dana siap pakai dari APBD tidak bisa digunakan dalam transisi darurat. Padahal utk APBN dapat digunakan. Dana di APBD diatur melalui aturan Permendagri, sedang untuk APBN melalui peraturan kepala BNPB.
Dengan intensitas bencana yang meningkat, tekanan pembiayaan pada APBN meningkat. BNPB mencatat 2.572 kejadian bencana di 2018. Adapun hingga 15 Juni 2019 ada 1.993 kejadian. Kita mesti bersiap. “Yang perlu dicatat, pasca #1TahunGempaNTB, pembangunan rumah masih belum tuntas, masih ada korban yang belum tercover.Itu bermula dari ‘kerumitan’ peraturan teknis, yang jangan diulangi lagi pada daerah lainnya.
Sejak Agustus 2018 ia mengaku sudah mengingatkan terkait perlunya birokrasi bencana. Hal yang tampaknya belum ia jumpai terwujud. Ia juga mendorong gagasan itu masuk dalam revisi UU Penanggulangan Bencana nanti.
Bencana ini adalah tempat kita bercermin, untuk menginsyafi diri, agar lebih mendekatkan diri pada Tuhan, juga menjaga hubungan dengan alam agar tetap lestari. Di samping upaya-upaya sains untuk menumbuhkan kesiagaan dalam mitigasi bencana.
“Kita diberi ujian, terus menerus. Bukan untuk menjadi lemah, tetapi untuk menjadi kuat dan unggul.” Maka, catatan kecil ini yang ia tulis untuk mengingatkan para petugas. Jangan kirim kesan kepada korban bahwa kita tak berdaya. Kita justru harus menyalakan api dan gelora.
(Robi/voa-islam.com)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!