Sabtu, 6 Jumadil Awwal 1446 H / 13 April 2019 16:19 wib
4.380 views
Pemimpin Dusta dan Bermental Boneka
JAKARTA (voa-islam.com)- Rasanya, telah terdengar suara langit. Telah terbit kesadaran besar. Apa lagi yang kita ingkari?
Seandainya mudah membaca hati, tentu dari dulu kita gak akan salah pilih. Sekarang, setelah dusta yang melelahkan, telah terbit kebenaran. Cukuplah rangkai kepalsuan sampai di sini!
Kita cukuplah menipu diri sendiri. Apalagi menipu bangsa. Kita tahu kita telah berbuat salah, membungkus kepalsuan pada diri pemimpin. Sepandai-pandai membungkus kepalsuan, toh sekarang sudah terbuka. Sudahlah, mari kita berhenti. Mulai dari berhenti berbohong pada diri.
Menjadi elite yang suka berbohong, asal bapak senang, menjilat ke atas dan menginjak ke bawah, melanggengkan feodalisme kekuasaan, dan lain-lain adalah budaya buruk yang masih hidup subur di antara para pemimpin. Dan ia semakin subur dengan pemimpin bermental kanak-kanan dan boneka.
Kita tahu, seorang pemimpin sebenarnya gak paham, tapi kita terus memuji ia seolah cerdas, bahkan pemimpin dibekali contekan dan hafalan seolah itu datang dari dirinya sendiri. Padahal para penjilat dan oligarki sedang mengelilingi dan memangsa pemimpin secara sadis.
Tindakan seperti ini tidak nampak pada rakyat dalam waktu dekat. Tapi kita sebagai elite mengerti hawa dan aura di seputar kekuasaan. Dan lama-lama rakyat mulai merasa ada yang palsu di seputar kekuasaan, ada dusta yang terpelihara rapi, sesuatu yang tampak indah tapi mengerikan.
Negara adalah institusi besar, tempat dusta disembunyikan. Kegagalan dapat dicitrakan sukses. Kebodohan dapat dicitrakan keluguan bahkan kesederhanaan. Kekanak-kanakan dapat dicitrakan seolah tulus padahal semua adalah kabut di depan cermin kepalsuan. Kini kabut telah hilang. Telah tersingkap kabut yang menutupi wajah asli kekuasaan ini. Rezim penuh dusta; demokrasi dipakai untuk melegalkan persekusi, hukum dipakai untuk kepentingan kekuasaan, suara kritis dibungkam dan dipenjara, kritik dianggap ancaman bagi negara. Sungguh memuakkan.
Mungkin, rezim ini berpandangan bahwa itu semua diperlukan untuk memperlancar pembangunan yang sedang digalakkan. Ya, pembangunan pakai utang, yang mengorbankan kepentingan dasar rakyat; kebebasan, pendidikan dan pelayanan kesehatan. Pembangunan yang meninggalkan beban di masa depan.
Inilah yang telah terasa di bawah, ada sesuatu yang sulit diucapkan tapi rezim ini seperti mempersulit hidup orang; beragama yang tenang selama ini dianggap persoalan, kerukunan yang telah selesai diungkit kembali, luka lama perang ideologi kembali dikobarkan. Entah untuk apa.
Kegelisahan identitas ditambah dengan massifnya wanprestasi ekonomi menyempurnakan migrasi secara kolosal rakyat yang 5 tahun lalu sebelumnya menaruh harapan yang besar pada sosok Jokowi. Maka, mari kita ikuti kata hati, dan kehendak rakyat yang nyata di depan mata.
Para elite, marilah kita mendengar suara sejati; rakyat telah berkehendak, mereka membangun kesukarelaan yang besar, emak-emak yang makin militan, para milenial, dan mereka yang membiaya calon mereka yang tak punya uang. Ini Arus bawah yang telah bersikap untuk mengakhiri rezim ini.
Gerakan rakyat yang sadar dan militan tak bisa diganti dengan massa bayaran, peserta yang didatangkan dengan biaya besar dan mobilisasi dengan menggunakan fasilitas negara, BUMN atau pihak yang berduit besar. Telah mati api wibawa dan daya tarik dari petahana. Tamat!
*Politisi, Fahri Hamzah on Twitter
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!