Selasa, 27 Jumadil Akhir 1446 H / 5 Juli 2016 22:41 wib
9.500 views
Disebut Ahok Menjadi Presiden karena Bantuan Pengembang, Bagaimana Nasib Jokowi?
JAKARTA (voa-islam.com)- Etika politik seharusnya perlu diperhatikan oleh segenap tokoh/elit/pejabat dan lainnya. Hal ini dilakukan agar perpolitikan tetap terjaga kondusifitasnya.
Dalam etika politik, ini siapapun ditekankan harus menjalankannya, tanpa terkecuali. Untuk mengetahui bagaimana pejabat/tokoh dapat dilihat mempunyai etika dalam politik, simak tulisan Syahganda Nainggolan ini, kelanjutan dari tulisan sebelumnya:
"....Nasib Obama dan Jokowi tentu mirip dalam konteks ini: pelanggaran etika politik. Obama dikecam karena pernyataannya dalam kampanye dahulu, 'the days of sweetheart deals for Halliburton will be over when I'am in the White House'. Sebuah janji mengakhiri the corporate cronyism.
Jokowi juga demikian. Dalam kampanyenya menunjukkan kedekatannya kepada pedagang kaki lima, buruh, dan lain-lain. Sebagai simbol perubahan dari rezim SBY yang kesannya elitis, ke arah rezim 'wong cilik', dan semangat gotong royong.
Etika politik merupakan isu sensitif di negara negara maju dan demokrasi. Hal ini menyangkut pelaku politik negara maupun kebijakannya. Di Amerika, terkadang etika politik ini bukan hanya menyasar urusan publik, yang terkait dengan jabatan publik seseorang, tapi juga sering melibatkan isu privat mereka.
Dalam urusan publik, kasus kedekatan sebuah perusahan besar, seperi Google dg Obama atau Halliburton dg Goerge Bush, dianggap melanggar etika politik. Kasus Hillary Clinton menggunakan akun email pribadi dalam urusan publik juga dianggap pelanggaran etika. Begitu pula kasus "oral sex" pegawai magang Lewinsky terhadap presiden Clinton dahulu, dianggap melanggar etika.
Lalu apakah itu etika politik? Etika politik adalah sebuah standar menjalankan moral politik. Standar ini menjadi acuan bagi pihak pihak yang berpolitik. Etika ini merefleksikan moral politik yang dianut.
Moral politik secara teoritis terbagi dalam 2 mazhab. Pertama adalah mazhab idealis. Dan kedua, mazhab realis. Mazhab idealis adalah yang secara tradisional mengetengahkan pentingnya menjalankan nilai nilai kebaikan dalam urusan publik. Basisnya adalah rasionalitas, moralitas dan altruism.
Sedangkan mazhab realisme menolak sentimen moral dalam hal kekuasaan. Machiavelli, Hobbes dan Thucydides adalah pionir mazhab realis ini. Mereka mengetengahkan bahwa 'egoistik' dan 'self-interest' adalah prioritas. Menurut pandangan realistis, 'Consideration of right and wrong have never turner people aside from the opportunities if aggrandizement offered by superior strenght'. Machiavelli mengetengahkan pentingnya 'the effectual truth' bukan 'truth' itu sendiri. Dia juga menggantikan kata 'virtue' (justice atau self restraint) dengan 'vigor' or 'ability'....." (Robi/voa-islam.com)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!