Selasa, 13 Jumadil Awwal 1446 H / 10 November 2015 05:57 wib
5.803 views
Siapa Pahlawan Sejati Indonesia Sekarang?
JAKARTA (voa-islam.com) – Siapa sejatinya yang berhak mendapata gelar pahlawan? Selalu, setiap 10 Nopember, pasti akan teringat tentang heroisme rakyat Surabaya yang melawan pasukan Sekutu yang mendarat di Surabaya dipimpin oleh Jenderal Mallaby.
Kemudian, ada sosok Bung Tomo, yang menggerakan rakyat Surabya melawan pasukan Sekutu. Dengan pekikan “takbir” melalui radio, Bung Tomo menggelorakan perjuangan mengusir penjajah dari tanah air.
Sekarang, 2015, penjajah itu bukan datang lagi, tapi didatangkan, dan kemudian menjajah lagi terhadap Indonesia. Seperti masih belum cukup Indonesia di jajah dan diperbudak oleh Belanda, Jepang, dan Inggris, sekarang masuk penjajah dari Eropa, Amerika, Cina, dan Jepang. Mereka sama seperti penjajah pada umumnya, tujuan menjajah ingin mengeruk harta kekayaan bangsa Indonesia.
Namun, sekarang penajajah bukan lagi menggunakan “bedil”, tapi menggunakan uang, dan melakukan “investasi”. Melalui investasi itu, mereka menguasai Indonesia. Itulah yang disebut sekarang ini dikenal dengan “PROXY WAR'. Negara dikuasai dengan diam-diam, bekerjsama dengan penguasa dan pejabat.
Indonesia sudah masuk “jebakan” (debt trap) kapitalisme global. Tak dapat berkutik lagi. Indonesia hanya menjadi tempat mengeksplotasi rakyat, dan mengeruk kekayaan alam, dan sumber daya alam yang merupakan harta kekayaan bangsa Indonesia. UUD '45, seluruh bumi dan air, digunakan kemakmuran sebesar-besarnya bagi rakyat Indonesia, ternyata hanya “tulisan” belaka dalam konstitusi. Kenyataannya tidak. Karena, bumi dan air, serta seisinya itu hanya diperuntukan bagi asing, yang melakukan investasi di Indonesia.
Sudah 70 tahun merdeka rakyat Indonesia tetap mlarat. Rakyat tetap miskin. Tak banyak mengalami perubahan sejak Indoneesia secara formal lepas dari penjajahan, seperti saat dibacakan “Proklamasi” oleh Bung Karno, 17 Agustus 1945, di Jalan Proklamasi.
Sesudah 70 tahun merdeka, para penguasa, pejabat, dan pemimpin, tak dapat membebaskan diri mereka dari para penjajah, dan mengabdi kepada penjajah, bukan mengabdi kepada rakyat. Rakyat dibiarkan sengsar dijajah dan diperbudak olehh penjaajah asing. Mereka tidak memiliki jiwa nasionalisme dalam diri mereka. Ruh nasionalisme terkikis, dan habis oleh gemerlapnya kenikmatan dunia. Mereka “hubbud dunya” (mencintai dunia), dan lupa akhira. Sehingga bersedia menyerahkan diri mereka kepada penjajah.
Lebih ucu lagi. Para penguasa dan pejabat yang jahat, dan korup, serta menistakan dan menzalimi rakyat mendapatkan gelar pahlawan. Disanjung. Dihormati. Padahal, ketika menjadi penguasa dan penjabat, menistakan rakyat. Seakan mereka yang memberi gelar itu, sepertinya lupa, dan tidak ingat lagi, tentang kehidupan para “pahlawan” yang disematkan tanda jasa itu. Sungguh inilah ironi yang terjadi di Indonesia.
Sejatinya, yang sekarang yang berhak menyandang pahlawan, dan sebenar-beanrnya pahlawan, adalah mereka orang-orang yang papa, miskin, dan mlarat, yang hidup di pedesaan dan kota. Mereka menerima dengan keadaan, bersabar, tidak berontak, dan tetap menjalani kehidupan mereka dengan penuh harap.
Merskipun, mereka terzalimi dan tersakiti, mereka selalu dinina-bobokan dengan janji-janji palsu. Tapi, mereka tetap sabar, dan tidak berontak. Merekalah yang berhak mendapat “bintang tanda jasa”. (sasa/voa-islam.com)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!