Rabu, 27 Jumadil Akhir 1446 H / 18 Maret 2015 21:09 wib
14.512 views
Rezim Jokowi Mengulangi Cara Soeharto Menghadapi Lawan Politikknya?
JAKARTA (voa-islam.com) - Pola yang dijalankan oleh Soeharto menghancurkan lawan-lawan politiknya, sekarang dijalankan oleh rezim Jokowi. Di mana lawan-lawan politik Jokowi dihancurkan, dan polanya persis seperti yang dijalankan oleh Soeharto.
Caranya dengan menggunakan orang-orang dalam yang mau bertindak sebagai 'brutus' (pengkhianat), dimanfaatkan untuk menghancurkan lawan politiknya.
Caranya dengan pola membuat 'Munas' yang sifatnya seperti dikatakan oleh Prabowo, yaitu 'Munas Akal-Akalan'. Kemudian, hasil 'Munas Akal-Akalan' itu yang diakui oleh pemerintah. Pola ini dilakukan oleh pemerintah Jokowi terhadap PPP dan Golkar.
Di masa lalu, rezim militer dibawah Soeharto pernah menukangi PP dan PDIP. Termasuk mendudukan tokoh seperti John Naro di PPP dan Suryadi di PDI. Bahkan pembakaran terhadap kantor PDIP di Jalan Diponegoro. Cara-cara yang kotor dan tidak demokratis yang sudah terkubur sejak 'Reformasi', kini dijalankan lagi oleh Jokowi.
Tapi, mengapa sekarang ini dijalankan oleh Jokowi dan PDIP di era demokrasi dan kebebasan? Sejatinya praktek politik di era Soeharto itu sudah tidak layak dijalankan di era Reformasi ini.
Dibagian lain, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Amin Rais menolak langkah pemerintah yang sangat tidak layak, dan menurut Prabowo ini akan membawa malapetaka, dan dapat menimbulkan kekacauan politik di masa depan.
Selanjutnya, Prabowo Subianto dengan statementnya di TVOne Minggu 15 Maret 2015 pk 17.30 WIB menyatakan bahwa Partai Gerindra berpandangan bahwa Partai Golkar hasil Munas Bali adalah yang sah.
Secara jelas dan gamblang Prabowo menyatakan bahwa untuk menentukan Golkar hasil Munas mana yang sah lihat saja dafar absennya. Di mana Golkar Munas Bali dihadiri 3000 orang sedangkan Golkar Munas Ancol hanya dihadiri 300 orang.
Maka, keputusan Menkumham yang mengakui Kepengurusan Partai Golkar pimpinan Agung Laksono hasil Munas Ancol dituding sebagai intervensi pemerintah terhadap parpol.
Sementara itu, Ketua DPP Gerindra Arief Poyuono, mencurigai polemik Partai Golkar dan PPP bukan berasal dari internal. Melainkan, ada skenario pemerintahan Jokowi-JK melalui putusan Menkumham Yasonna Laoly.
"Presiden Jokowi ke Istana Bogor saya rasa ini merupakan ada tanda-tanda, ada agenda pembredelan Partai Golkar oleh pemerintah melalui Menkumham," kata Arief, Rabu (18/3/2015).
Kecurigaan itu bukan tanpa sebab, kata dia, kecurigaan itu mencuat lantaran Menkum HAM Yasonna adalah kader dari Partai PDI-P. Untuk itu, dia meyakini, putusan terkait polemik dua partai itu ada keberpihakan.
"Artinya, kalau kami arah-arahkan ke sana sangat tepat dan cara pengambil-alihannya itu mirip seperti perusahaan-perusahaan multinasional asing yang mengambil sumber daya alam kita tidak sesuai dengan aturan, tanpa perlu legitimasi," tukasnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Peneliti/Pengamat Kepartaian yakni Mochtar Effendi Harahap. Dia menilai polemik pada Partai Golkar dan PPP yang terjadi belakangan ini ada ikut campur dari tangan pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla. Sebab, pemerintah menginginkan kedua partai itu mendukung pemerintah.
"Huru hara yang terjadi pada Partai Golkar dan PPP itu supaya mereka itu anti oposisi. Supaya parpol jadi koalisi bukan oposisi," kata Mochtar.
Menurut dia, jika kedua partai itu berada di luar pemerintahan, maka diyakininya akan mengancam pemerintahan Jokowi-JK selama lima tahun kedepan. Untuk itu, pemerintah membuat kedua partai mengalami prahara.
"Nantinya semua parpol akan gabung pada pemerintahan. Terbukti Ical sudah datang ke presiden dan memberi dukung ankegiatan pada pemerintah," pungkasnya.
Namun, dia tidak menjelaskan siapa pihak dari pemerintah yang ada di belakangnya. Yang pasti, kata Mochtar, pemerintah akan memutar kesalahan itu. Di mana partai yang akan disalahkan. "Partai akan dituduh oleh pemerintah bahwa parpol tak mampu mengurus permasalahan di internal partainya," tambahnya.
Sekarang situasi politik sangat tidak kondusif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini menjurus polarisasi yang semakin mendalam diantara kekuatan politik yang ada.
Pemerintahan Jokowi semakin tidak 'kredibel' , di mana nampak harga-harga kebutuhan pokok semakin membumbung, dan nilai rupiah atas dolar terus melorot, hingga mencapai Rp 13.400/perdolar.
Bahkan ada yang memprediksi rupiah bisa tembus Rp 16.00/perdolar. Ini benar-benar bangkrut rezim Jokowi. Masa depan rezim Jokowi semakin suram, dan tidak dapat memenuhi janjinya dalam kampanye.
Sejauh ini Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto hanya mengakui Golkar hasil Munas Bali. Begitu pula Amin Rais yang menjadi Ketua Majelis Pertimbangan PAN hanya mengakui Golkar hasil Munas Bali. (abimantrono/jj/dbs/voa-islam.com)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!