Ahad, 27 Jumadil Akhir 1446 H / 15 Februari 2015 09:30 wib
15.182 views
Munarman: Polri Seperti Negara Dalam Negara
Kisruh KPK vs Polri sudah sering terjadi, sejak era pemerintahan Presiden SBY hingga Presiden Jokowi sekarang ini. Namun kisruh kali ini paling banyak menyita perhatian Presiden Jokowi, karena banyaknya intervensi di dan sekitar Istana, sehingga membuat Presiden Jokowi seperti kebingunggan untuk menyelesaikannya.
Berikut ini wawancara Voa-Islam.Com dengan advokad kondang Munarman SH seputar duel KPK vs Polri, dimana sampai sekarang belum diketahui siapa pemenangnya.
Apakah memang ada siklus tigatahunan kriminalisasi pimpinan KPK?
Siklusnya bukan tiga tahunan, siklusnya itu adalah faktor institusi Polri yang terganggu kepentingannya. Jadi bila ada petinggi Polri yang tersangkut masalah hukum dan ditangani oleh KPK, maka reaksi yang muncul adalah perlawanan dari Polri. Ini terjadi karena institusi Polri saat ini memiliki kewenangan dan kekuasaan yang begitu besar dan esprit de corps yang salah penerapan.
Bisa anda bayangkan, di tubuh Polri itu melekat kekuasaan bersenjata, kekuasaan ketertiban umum, kekuasaan keamanan, kekuasaan intelijen dan kekuasaan law enforcement. Ini artinya sama saja seperti negara dalam negara. Padahal seharusnya fungsi polisionil itu melekat dalam fungsi pemerintahan secara umum dan terbagi dan tersebar dalam berbagai lembaga pemerintahan.
Contoh, fungsi ketertiban dan keamanan umum itu adalah fungsi dari Kementrian Dalam Negeri, sementara fungsi law enforcement itu adalah fungsi Kementerian Hukum.Lalu fungsi intelijen ada di lembaga Badan Intelijen dalam Negeri seharusnya. Namun saat ini semua fungsi itu menjadi satu kesatuan dalam tubuh polri ditambah dengan kekuatan bersenjata Polri dalam hal ini adalah pasukan semi militer bernama Brimob.
Jadi wajar saja, bila ada satu kekuatan bersenjata sekaligus kekuatan sosial politik yang bereaksi begitu keras terhadap lembaga negara lainnya seperti KPK, karena didasari oleh psikologi super power. Harusnya fungsi fungsi polisionil tersebut disebarkan dalam beberapa lembaga/instansi pemerintah.
Jadi selama masalah struktur kelembagaan dan struktur kekuasaan Polri masih tetap seperti sekarang, masalah seperti ini akan berulang, entah tiap tahun ataupun tiap tiga tahun.
Jika keempat pimpinan KPK yang tersisa jadi tersangka, lalu bagaimana solusinya agar kinerja KPK tetap jalan ?
Tentu saja akan terjadi kekosongan kepemimpinan KPK bila semua komisionernyajadi tersangka. Sementara untuk mengisi jajaran kepemimpinan KPK, menurut UU KPK, harus melalui proses seleksi yang membutuhkan waktu.
Pada sisi lain, untuk mengeluarkan Perppu hanya untuk mengangkat pimpinan KPK yang bersifat sementara, tidak memenuhi kondisi darurat yang disyaratkan oleh UUD, jadi ini memang kondisi yang dilematis.
Oleh karenanya Presiden harusnya bertindak cepat sebelum 3 komisioner lainnya ditetapkan sebagai tersangka. Presiden segera memanggil pihak Polri dan KPK untuk segera menghentikan drama yang tak lucu ini.
Mengapa Jokowi mengulur-ulur waktu pelantikan Komjen (Pol) Budi Gunawan sebagai Kapolri ?
Inilah akibat Presiden yang tak memiliki kewibawaan dan tak punya kapabilitas dalam leadership. Kita semua tahu, bahwa Presiden saat ini disebut sebut Presiden yang lemah dari segi dukungan kekuatan politik, karena Presiden ini disebut sebagai petugas partai dan dia sendiri secara psikologis memang memposisikan dirinya hanya sebagai prajurit, bukan jenderal perang. Akibatnya tak berani mengambil resiko politik, hanya mengejar popularitas dan berusaha menyenangkan semua pihak pendukungnya.
Apakah memang Abraham Samad memiliki dendam pribadi terhadap Budi Gunawan ?
Wah, kalau soal pribadi saya tak begitu paham, karena soal dendam ini kan soal perasaan, susah kita mengukur perasaan seseorang.
Bagaimana sebaiknya kriteria pimpinan KPK mendatang, sehingga mereka akan sulit untuk dikriminalisasikan ?
Hahaha, ya harus cari Malaikat kalau begitu.... Tetapi ada satu hal yang menurut saya dari segi psikologi struktur eselon, kita lihat orang – orang yang melamar jadi pimpinan KPK yang berlatar belakang birokrat sipil atau polisi itu puncak kariernya hanya eselon II, yaitu setingkat Direktur di lembaga pemerintahan atau kepala kantor tingkat propinsi atau berpangkat Brigjen paling tinggi.
Jadi seolah olah KPK itu sekedar tempat para pensiunan eselon II, sehingga tidak memiliki kewibawaan personal. Akan beda bila para komisioner KPK itu untuk calon yang berasal dari dan berlatar belakang birokrat adalah pernah menjabat eselon I atau berpangkat bintang 3.Malah harusnya kalau dari polisi atau militer bintang 4.
Karena yang dihadapi adalah korupsi yang terstruktur dan modus operandinya seperti mafia. Jadi harus bener bener orang kuat, nggak cukup orang yang gagah gagahan semata, namun tak punya power.
[Abdul Halim/Voa-Islam.Com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!