Jum'at, 27 Jumadil Akhir 1446 H / 23 Januari 2015 13:38 wib
8.596 views
Kasus JIS: Tampaknya Sidang Hanya Legal Formal Semata, Sementara Hasilnya Sudah Ada di Tangan Hakim
Jakarata (voa-islam.com) - Melihat jalannya persidangan dua guru JIS yang didakwa melakukan pelecehan seksual terhadap murid TK JIS yang berinisial MAK, tidak berbeda dengan jalannya persidangan para petugas kebersihan di JIS, beberapa waktu lalu. Para petugas kebersihan itu akhirnya divonis bersalah meski fakta-fakta dan bukti-bukti yang diajukan JPU lemah dan tak berdasar. Atas putusan ini, Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) akan melaporkan kelima hakim dalam kasus dugaan kekerasaan seksual di JIS kepada Komisi Yudisial (KY).
Koordinator KontraS Haris Azhar mengatakan, pertimbangan majelis hakim dalam mengambil keputusan ini hanya berdasarkan berita acara pemeriksaan (BAP) yang disusun oleh polisi tanpa mempertimbangkan fakta-fakta dan keterangan para saksi selama persidangan.
"Kami mengikuti terus proses hukum kasus ini. Apa yang telah diputuskan hakim sangat tidak berdasar dan menimbulkan banyak pertanyaan di masyarakat. Kami akan melaporkan seluruh hakim ke KY agar bisa terungkap apa sebenarnya motif kasus ini, pidana atau uang yang sangat besar itu (Rp 1,5 triliun)," ujarnya.
Lima orang hakim yang memimpin persidangan dari kasus petugas kebersihan ini adalah Ahmad Yunus, SH., Usman, SH., Nelson Sianturi, SH., Dr. Yanto, SH., MH., Handri Anik Effendi, SH.
Kembali ke sidang dua orang guru JIS. Sidang yang secara berkala dilaksanakan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu tampak hanya legal formal semata, untuk memuluskan rencana ibu TPW, yaitu menjerat dua orang guru JIS hingga mereka divonis bersalah, lantas memenangkan gugatan perdatanya kepada pihak JIS sebesar USD $ 120 juta, atau setara dengan Rp 1,5 Triliun.
Hakim, jaksa, dan polisi sepertinya berbagi tugas. Polisi bertugas merangkai cerita, jaksa bertugas menghadirkan saksi-saksi, hakim bertugas mengatur jalannya persidangan.
Sidang hanya panggung sandiwara saja. Hasilnya sudah ada di tangan hakim. Orang-orang tak bersalah dipaksa mendekam di balik jeruji yang dingin dan kejam. Keluarga para terdakwa pun menderita karena mereka kehilangan tulang punggung kehidupan mereka. Tak seorang pun yang dapat menghentikan sandiwara ini. Kepada siapa mereka mencari keadilan bila para penegak hukum yang memutuskan perkara semua telah disuap atau dibayar?
Lihat saja jalannya sidang yang berlangsung belum lama ini. Dugaan adanya unsur rekayasa dalam kasus dugaan kekerasan seksual di Jakarta Intercultural School (JIS) sangat kental.
Menurut salah satu pengacara terdakwa Henock Siahaan, dalam sidang tertutup yang berlangsung hingga malam terungkap, sejumlah saksi ahli yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) masih terafiliasi dengan ibu korban.
Selain itu, para ahli yang terdiri dari psikolog tersebut tidak miliki kompetensi serta tidak didukung oleh pengetahuan serta pengalaman yang memadai.
Dua orang psikolog yaitu Connie Kristianto dan Nella Safitri merupakan psikolog yang diduga 'dibayar' oleh pelapor kasus ini yaitu TPW dan DAR.
Ibu dari korban MAK dan CAP meminta dua psikolog itu untuk memberikan konseling kepada anak mereka sejak kasus ini mencuat ke publik.
Sementara itu, dua ahli lainnya yaitu Nurul Adhiningtyas dan Setyani Ambarwati merupakan psikolog di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) di DKI Jakarta.
Lembaga ini merupakan mitra Polda Metro Jaya, pihak yang menjadi penyidik kasus JIS. “Pemilihan dan penunjukan ahli yang dihadirkan dalam persidangan kemarin sangat tidak independen dan meragukan. Seharusnya ahli yang dihadirkan tidak memiliki afilisasi dengan pihak-pihak yang terlibat, apalagi sampai dibayar oleh ibu yang diduga anaknya menjadi korban kasus ini,” kata Hennock, Rabu (21/1).
Adanya hubungan antara saksi ahli dengan TPW terlihat dari semua keterangannya tidak independen dan bias. Selain itu, keahlian dari para saksi juga meragukan.
Hennock mencontohkan, dalam keterangannya Setyani mengatakan bahwa “anak tidak mungkin berbohong”. Tapi pada keterangannya yang lain ia menyatakan bahwa “anak kalau dipaksakan bisa berbicara apa saja”.
Dalam ilmu psikologi sendiri teori “anak yang tidak mungkin berbohong” merujuk kepada teori yang dikemukakan oleh Catherine Fuller tahun 1984. Teori ini ada sebelum peristiwa tuduhan kekerasan seksual palsu yang terjadi di TK
Mc. Martin di Amerika Serikat. Namun, setelah kasus di TK McMartin tersebut teori anak tidak mungkin berbohong sudah ditinggalkan oleh dunia psikologi.
Sebagai ahli, Setyani juga hanya mengumpulkan informasi sepihak yaitu dari ibu korban dan polisi. Dalam keterangannya psikolog yang ditunjuk Polda Metro Jaya mendampingi MAK sejak bulan Maret 2014 ini mengungkapkan, dia tidak mengumpulkan informasi dari pihak sekolah karena tidak mendapatkan izin.
Padahal Setyani juga mengakui bahwa dirinya belum pernah mengirimkan surat resmi kepada JIS untuk datang dan melakukan pengumpulan informasi terkait kasus ini.
“Semua keterangan yang disampaikan ahli sangat bias dan tidak relevan untuk didengar. Sangat berbahaya menggunakan keterangan ahli yang sudah memiliki afiliasi dengan salah satu pihak,” tandas Hennock.
Tak Pernah Menyebut Neil dan Ferdi
Ahli lainnya yaitu Connie Kristanto, mengaku diminta oleh orang tua MAK untuk memberikan terapi terhadap anaknya, MAK, sebanyak 30 kali sesi. Selama 30 sesi bersama MAK, Connie mengakui bahwa si anak tidak pernah menyebut nama Neil dan Ferdi.
Lebih penting lagi, lanjut Hennock, Connie mengaku hanya memiliki spesialisasi di psikologi klinis. Keahlian itu tujuannya hanya mengobati dan memberikan terapi.
Connie tidak punya keahlian psikologi forensik. Oleh karena itu, dia tidak pernah menggali apa latar belakang kejadian yang diduga menimpa MAK dan siapa pelakunya.
Selama berulang kali sesi pemeriksaan anak dengan Connie, anak tidak pernah ditanya mengenai kedua hal tersebut. Sebagai ahli Connie juga tidak memiliki pengetahuan mengenai false memory.
False memory atau memori palsu adalah sebuah ingatan yang tercipta dari penciptaan kenangan palsu, persepsi palsu atau keyakinan palsu tentang diri atau lingkungan.
Penciptaan ingatan ini menimbulkan kebingungan sehingga seseorang tidak mampu lagi membedakan apakah ingatan tersebut benar atau salah, benar-benar terjadi atau tidak pernah terjadi.
"Seharusnya saksi ahli yang kompeten adalah psikiatri forensik. Dengan demikian dapat memeriksa kejiwaan anak untuk mengetahui penyebab trauma psikologis dan saat memberikan keterangan dapat dinyatakan masuk akal. Dan yang lebih penting, ahli harus independen,” ujar Hennock.
Dalam UU kesehatan No. 36 Tahun 2011 pasal 150, ayat 1 tentang pemeriksaan kesehatan untuk kepentingan hukum dilakukan oleh dokter spesialis kedokteran jiwa. Sedangkan ayat 2 tentang penetapan status kecakapan hukum seseorang yang diduga mengalami gangguan kesehatan jiwa dilakukan oleh tim dokter yang mempunyai keahlian dan kompetensi sesuai dengan standar profesi.
"Mengingat saksi ahli yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum tidak memiliki kualifikasi yang dibutuhkan untuk menangani kasus ini, tidak independen dan ahli tidak mengikuti perkembangan metode penanganan psikologis anak, kami berharap majelis hakim mempertimbangkan untuk mengenyampingkan kesaksian ahli hari ini,” kata Hennock. (may/voa-islam.com)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!