Jum'at, 17 Jumadil Akhir 1446 H / 8 Oktober 2010 08:27 wib
16.754 views
7 Jurus Mendidik Anak Shalih Metode Nabi
Oleh: Sumedi, A.Md.Tek.
Kebahagiaan yang paling berkesan bagi sepasang pengantin baru adalah perkawinan. Tapi, coba tanyakan ke setiap pasangan suami istri yang telah mempunyai keturunan, tentang manakah yang lebih membahagiakan antara peristiwa perkawinan dan mendapatkan anak? Mereka akan serentak menjawab: “mendapat anak!”.
Anak adalah anugerah terindah bagi setiap orang tua. Kehadirannya yang selalu dinanti, tidak hanya menambah “gelar” kedua orang tua, dari yang semula hanya sebagai suami dan istri bagi pasangannya, menjadi ayah dan ibu bagi anak-anaknya. Anak, menjadi aset berharga, tumpuan harapan di dunia dan akhir masa. Juga, merupakan sebab diangkatnya kedudukan kedua orang tua ke derajat yang lebih mulia. Wajarlah kalau kemudian Rasul SAW menganjurkan umatnya untuk memperbanyak anak. “Agar aku banggakan kelak di hadapan nabi-nabi lain pada hari kiamat,” ujarnya.
Dalam mendidik anak-anak untuk mengantarkan mereka ke gerbang keshalihan, orang tua dapat mengambil metodologi manusia-manusia terbaik, yang terbukti efektif menjadikan anak keturunannya menjadi orang-orang yang dicintai Allah, dan dicintai pula segenap makhluk-Nya. Dan, para nabi dan rasul Allah, adalah manusia-manusia terbaik yang bersama bimbingan Tuhan, telah terbukti berhasil mendidik anak-anaknya mengikuti jejak keshalihan orang tuanya. Para nabi dan rasul Allah mendidik anak-anaknya dengan jalan sebagai berikut:
1. Memilihkan lingkungan yang baik.
Nabiyullah Ibrahim AS adalah satu-satunya nabi di antara sekian banyak nabi yang bergelar “abul anbiya’ wal mursalin” (bapak para nabi dan rasul). Banyak di antara anak keturunannya yang kemudian diangkat Allah sebagai nabi dan rasul. Saat baru mendapatkan anak yang sangat dinanti-nanti kelahirannya, Ibrahim as membawa bayinya itu ke suatu lembah, yang tidak berpenghuni dan tidak ada tanaman tumbuhan yang dapat dikonsumsi. Dikisahkan oleh Allah:
“Wahai Tuhanku, sesungguhnya aku menempatkan dari keturunanku di lembah yang tidak ditumbuhi tanaman. Wahai Tuhanku, yang demikian itu aku lakukan agar anak keturunanku mendirikan shalat” (Qs Ibrahim 37).
Nabi Ibrahim AS tidak menjadikan kemakmuran sebagai pertimbangan utama. Tetapi, ia menjadikan dapat atau tidaknya bayinya itu kelak tumbuh menjadi hamba yang taat sebagai kriteria.
….Usia anak-anak merupakan masa emas untuk menanamkan kebaikant. Para orang tua harus membiasakan segala hal baik yang sesuai dengan usia anak….
2. Membiasakan hal-hal yang baik.
Tidak mudah merubah kebiasaan, terlebih bila kebiasaan itu telah mendarah daging dan menjadi karakter. Usia anak-anak merupakan masa emas untuk menanamkan kebaikan, karena di waktu itu anak masih polos dan belum mempunyai kebiasaan yang kuat. Peluang ini sebaiknya dimanfaatkan para orang tua untuk membiasakan segala hal baik yang sesuai dengan usianya. Katakanlah misalkan, membatasi nonton TV di waktu-waktu tertentu, berkata santun, pergi ke masjid, dan membantu orang tua.
3. Memberikan keteladanan.
Setiap orang tua pasti bermimpi, anak-anaknya akan tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang moralitas dan intelektualitasnya terpuji. Tanpa mau terlebih dahulu memberikan keteladanan bagaimana menjadi orang yang diharapkan, orang tua hanya akan menuai angan. Sebab, untuk mendidik anak menjadi shalih, orang tua harus terlebih dahulu menjadi orang shalih itu, minimal, mampu menunjukkan gambaran di benak anak-anaknya. Tengoklah! Siapa yang ada di belakang ulama-ulama besar sekaliber Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal, Imam Hanafi, dan Syaikh ibnu Taimiyah? Di belakang mereka, ada orang tua-orang tua hebat (shalih) yang memang pantas melahirkan anak-anak pilihan.
…untuk mendidik anak menjadi shalih, orang tua harus terlebih dahulu menjadi orang shalih itu…
4. Dialog dan diskusi tentang berbagai hal.
Dialog dan diskusi sering kali diperlukan untuk memecahkan permasalahan-permasalahan yang dihadapi anak. Saat dimana anak-anak mau terbuka kepada orang tua, yang dipercaya lebih mampu mengatasi kesulitan yang tak terjangkau oleh akal pikirannya. Dengan cara ini pula, orang tua dapat mengajarkan nilai-nilai agama yang belum diketahui anak secara bertahap, agar anak jadi mengerti mengapa dia disuruh berbuat ini dan dilarang melakukan itu.
5. Pengawasan.
Dalam arti, sebagai orang tua, dalam rangka mendidik anak-anaknya ia tidak boleh melepas dan tidak memberikan pengawasan. Bisa jadi, saat tidak diawasi orang tuanya anak-anak melakukan tindakan yang membahayakan diri dan masa depannya. Berapa banyak orang tua yang tertipu. Dengan berasumsi bahwa anak-anaknya bisa dipercaya, mereka melepas begitu saja anak-anak yang seharusnya tetap selalu dalam pengawasannya. Anak-anak dibiarkan berbuat apa saja yang diinginkan, bergaul dengan siapa pun yang disukai. Tapi, ternyata asumsinya itu terbukti salah. Marah tidak lagi bermakna. Sesal, tidak berarti apa-apa.
6. Sanksi atau hukuman.
Hukuman, sekalipun terkesan angker, tetap dibutuhkan dalam mendidik anak. Hukuman diperlukan, saat nasihat dan peringatan tak lagi berguna bagi anak-anak. Namun, hukuman yang diberikan orang tua, semestinya sebagai sebuah keterpaksaan sekaligus buah dari rasa kasih sayangnya yang dalam. Bukan sebaliknya, hukuman diberikan sebagai wujud kebencian dan luapan emosi kemarahan yang tak tertahan, apa lagi dendam. Hukuman yang keluar dari kedalaman rasa kasih sayang dan kondisi yang memaksa dapat dilihat dari seberapa besar nilai manfaat dalam pendidikan, dan seberapa kecil efek negatif yang membahayakan. Semakin besar kemampuan mendidik, dan semakin tidak berbahaya sebuah hukuman, merupakan indicator dari mengapa hukuman itu diberikan.
….Bukti kesungguhan orang tua dalam mendidik anak, termanifestasikan ke dalam lantunan doa-doa mereka. Hampir-hampir tidak ada waktu-waktu mustajab untuk berdoa, kecuali akan dimanfaatkan untuk mengiba kehendak Yang Kuasa….
7. Mendoakan di setiap kesempatan.
Bukti kesungguhan orang tua dalam mendidik anak, termanifestasikan ke dalam lantunan doa-doa mereka. Hampir-hampir tidak ada waktu-waktu mustajab untuk berdoa, kecuali akan dimanfaatkan untuk mengiba kehendak Yang Kuasa. Untuk itu, orang tua akan menjaga diri dari segala hal (perkataan, perbuatan, makanan, dan pakaian) yang menghalangi terkabulnya doa, sekaligus memenuhi semua syarat pengabulannya. Karena, terkabul atau tertolaknya doa orang tua turut menentukan “nasib” anak-anaknya. Lalu, bagaimana mungkin sebagai orang tua kita tidak mendoakan anak-anak kita. Padahal Rasul SAW bersabda: “Tidak ada yang dapat merubah takdir, kecuali doa!”
Semoga, kita bisa menjadi orang tua yang senantiasa menyadari kewajiban dan tanggung jawab kepada anak-anak. Sehingga, bisa membayar kemuliaan yang telah dianugerahkan Allah dan berhak tetap menyandang kemuliaan itu sampai pintu-pintu surga berkenan terbuka dengan keridhaan-Nya, menyambut kedatangan kita.
*) Penulis adalah Pemerhati Masalah-Masalah Keluarga, Alumnus Fakultas Teknik Universitas Cenderawasih Jayapura, dan kini bekerja di LPMP Papua.
Baca artikel terkait:
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!