Jum'at, 2 Jumadil Akhir 1446 H / 8 Maret 2019 21:00 wib
7.833 views
Wakil Rakyat vs Rakyat
Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Jual saham bir! Bagi Anies Baswedan, gubernur DKI, itu harga mati. Harus ditunaikan karena menyangkut kontrak politik dengan masyarakat Jakarta. Mereka pilih Anies, sebab Anies setuju untuk jual saham bir di PT. Delta Djakarta tbk. Sebagai janji politik, harus ditunaikan. Sebagai gubernur, ini aspirasi rakyat yang harus dieksekusi. Gubernur dipilih oleh rakyat, dan sudah seharusnya membuat keputusan atas aspirasi dan untuk kepentingan rakyat.
Anies sudah tunaikan janjinya? Dalam proses. Tepatnya, ada kendala. Ketua DPRD DKI gak setuju. Serius? Nampaknya begitu. Beda pendapat soal ini, ternyata tak bisa diselesaikan sambil ngopi. Komunikasi politik buntu. Artinya, Prasetyo, ketua DPRD DKI ini serius menghadang kebijakan Anies untuk jual 26,25 saham Pemprov DKI di perusahan bir itu. Anies menyerah? Tidak! Haram hukumnya untuk menyerah. Tutup reklamasi dan hadapi Salim Group untuk stop swastanisasi air saja berani, apalagi cuma urusan saham bir.
Alasan Prasetyo tak setuju? Menyangkut keuntungan. Pertahun bisa 50 milyar kok dijual? Begitu pertimbangan Prasetyo. Itu argumen normatifnya. Alasan lainnya? Hanya Prasetyo yang tahu. Adakah alasan di balik alasan? Adakah argumen di balik argumen? Yang tak diketahui publik kadang lebih substansial dari yang terpublish. Disinilah perlunya dialog.
Prasetyo sendirian? Kabarnya, dia didukung oleh anggota DPRD dari partainya. Juga dari Partai Nasdem. Nampaknya ada konsolidasi kekuatan di DPRD DKI untuk menghadang Anies jual saham bir.
Memang, keuntungan saham Pemprov DKI di PT. Delta Djakarta tbk ini lumayan. Tentu jika dibandingkan kalau uang itu disimpan di brangkas, atau didepositokan di bank. Riba! Kata Prasetyo. Religius sekali ketua DPRD kita ini. Benarkah?
Tapi tunggu dulu! Bagaimana kalau hasil penjualan saham bir itu diinvestasikan di perusahaan air bersih? Bisa 100.000 rumah terpasang pipa dan teraliri air bersih. Kalau diinvestasikan ke rumah sakit, bisa 25 rumah sakit kelas D dibangun. Kalau diinvestasikan di pendidikan, bisa 60 unit sekolah didirikan. Luar biasa bukan? Apakah ini riba?
Hasil penjualan saham Pemprov di usaha bir ini berpeluang bisa mendapatkan keuntungan lebih besar. Terutama keuntungan moral dan sosial. Berdirinya sekolah akan melahirkan SDM-SDM baru bagi masa depan Jakarta.
Tapi rakyat, lebih melihat keuntungan non material. Disinilah perbedaannya dengan ketua DPRD. Kalau mau disederhanakan begini, pertama, ini adalah perseteruan antara rakyat dengan wakil rakyat. Anies, sebagai gubernur hanya menyerap aspirasi rakyat, tentu saja setelah melalui proses analisis kajian, ternyata rakyat benar. Saham bir harus dijual. Ya, dia laksanakan. Sudah semestinya, karena gubernur dipilih rakyat dan bekerja untuk rakyat. Bukan untuk dirinya, apalagi untuk ketua DPRD.
DPRD kan juga wakil rakyat? Betul. Tapi, apakah selalu bekerja dari aspirasi rakyat dan untuk rakyat? Tak sedikit anggota DPR maupun DPRD yang jadi petugas partai, bukan pekerja rakyat. Emang mereka digaji partai? Gajinya malah dipotong untuk partai. Ini yang kadang-kadang orang lupa.
Kedua, ini perseteruan material vs non material. Ketua DPRD kekeh dengan argumentasi materialnya. Pokoknya keuntungan! Karena itu, jangan dijual! Lah, kok ngotot? Jangan...jangan... Nah, jadi curiga deh.
Sementara rakyat tidak hanya melihat keuntungan material saja yaitu 50 miliyar. Tapi dampak moral dan sosialnya? Belum lagi dampak spiritualnya. Nah, ternyata rakyat lebih luas jangkauan berpikirnya.
Melihat ketua DPRD tetap ngotot, rakyat marah. Mereka beramai-ramai turun dan kepung kantor DPRD DKI hari ini. Sepertinya, mereka ingin bertanya: mau loh apa si Pras? Loh gue gaji, loh gak nurut sama gue. Mau nurut sama siape?
Biasanya, rakyat ke kantor wakil rakyat itu ketika ada masalah terkait kebijakan kepala daerah. Mereka minta wakil rakyat bersuara dan menyampaikan aspirasi mereka yang tak tersampaikan. Ini sebaliknya. Rakyat pro gubernur, kontra DPRD. Wakil rakyat justru dianggap menghambat dan menghalangi aspirasi mereka yang akan dieksekusi gubernur. Kok jadi aneh. Lalu, apa gunanya ada wakil rakyat?
Fungsi kontrol wakil rakyat mestinya berbasis pada aspirasi rakyat, bukan aspirasi diri dan partainya. Karena mereka dipilih oleh rakyat. Partai hanya mengusulkan dan tidak bisa menjadikan wakilnya duduk di kursi legislatif kalau gak dipilih rakyat. Kalau begitu, untuk apa pilih dia lagi? Begitulah yang ada di pikiran rakyat.
Kasus Prasetyo yang menghalangi jual saham bir ini bisa berujung pada hukuman rakyat kepada ketua DPRD ini. Pertama, hukuman psikologis. Pras dianggap tak peduli pada aspirasi dan norma yang berlaku dan jadi pegangan rakyat. Terutama norma agama yang jelas-jelas haramkan jual beli bir. Juga norma sosial dimana bir sebagai minuman keras yang kerapkali menimbulkan kegaduhan sosial. Kedua, hukuman politik. Di pileg kali ini, rakyat Jakarta, terutama umat muslim akan membuat catatan terhadap sikap Prasetyo. Oleh umat Islam, akan ada anggapan bahwa Prasetyo tidak memiliki komitmen lagi kepada agama dan rakyat. Anggapan ini tak dapat dihindari, mengingat ini bagian dari syari'at umat Islam.
Kita akan lihat, siapa pemenang perseteruan antara Prasetyo dengan rakyat. Apakah Prasetyo yang menang sehingga Anies kerepotan jual saham bir dan Prasetyo terpilih kembali jadi anggota legislatif? Atau rakyat yang menang, saham bir terjual dan Prasetyo gagal duduk di kursi legislatif. Kita tunggu! [PurWD/voa-islam.com]
Jakarta, 8/3/2019
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!