Rabu, 12 Rabiul Akhir 1446 H / 4 Juli 2018 16:54 wib
8.695 views
Misteri Kotak Kosong
PILKADA serentak 2018 ada 16 pasangan calon (paslon) tunggal yang bertarung melawan kotak kosong. Masing-masing daerah tersebut adalah Padang Lawas Utara Sumatera Utara, Prabumulih Sumatera Selatan, Kabupaten Tangerang Banten, Kota Tangerang Banten, Tapin Kalimantan Selatan, Mamasa Sulawesi Barat, Minahasa Tenggara Sulawesi Utara.
Lalu ada pula Mamberamo Tengah Papua, Jayawijaya Papua, Kabupaten Puncak Papua. Selain itu Deli Serdang Sumatera Utara, Lebak Banten, Pasuruan Jawa Timur, Enrekang Sulawesi Selatan, dan, Makassar Sulawesi Selatan Bone Sulawesi Selatan.
Fenomena paslon tunggal lawan kotak kosong ini tentu menjadi sejarah proses suksesi kepemimpinan di Indonesia. Bahkan di Makassar, Sulawesi Selatan berdasar quick count paslon tunggal yakni Munafri Arifuddin-Rachmatika Dewi (Appi-Cicu) kalah suara dengan kotak kosong.
Kemenangan kotak kosong menjadi perhatian publik, karena masyarakat merasa heran dengan kejadian yang tak biasa itu. Pada peristiwa di Makassar, fenomena kemenangan kotak kosong dipicu didiskualifikasinya Ramdhan Pomanto alias Danny Pomanto dan Indira Mulyasari (DIAmi) oleh MA karena ada pelanggaran birokrasi untuk kepentingan kampanye.
Ada banyak hikmah dari fenomena kemenangan kotak kosong. Kemenangan kotak kosong bisa dikatakan sebagai kegagalan demokrasi langsung. Betapa banyak biaya yang terbuang percuma hanya untuk membiayai pilkada paslon tunggal melawan kotak kosong.
Soal biaya, Pilwalkot Makassar dari salah satu sumber menganggarkan Rp60 miliar. Ini baru Makassar. Belum belasan dearah lainnya yang juga terjadi fenomena paslon tunggal versus kotak kosong. Tentu tak sedikit dana yang dikeluarkan.
Alangkah baiknya alokasi dana pilkada versus kotak kosong digunakan untuk kepentingan masyarakat lainnya. Bisa digunakan bangun jalan, bangun sekolah, rumah sakit, dan lain sebagainya.
Kemudian, tidak berlebihan kasus paslon tunggal versus kotak kosong disebut fenomena irasional. Warga dimobilisasi atas nama pesta demokrasi untuk memilih diantara dua pilihan: paslon tunggal dan kotak kosong. Hal ini bisa menumpulkan daya nalar dan daya kritis warga. Tentu warga tak bisa membandingkan program paslon tunggal dengan kotak kosong.
Pilkada dengan kotak kosong ini harus ditinjau ulang. Bisa dikatakan ini bentuk kemubaziran, baik dari sisi biaya, waktu, serta tenaga. Ada baiknya ketika suatu daerah hanya ada paslon tunggal, maka tidak perlu lagi diadakan pemungutan suara. Cukup dilakukan aklamasi.
Fenomena kotak kosong ini juga menyibak rahasia umum terkait mahar politik. Iza Rumesten R.S. dalam artikel “Fenomena Calon Tunggal dalam Pesta Demokrasi” di Jurnal Konstitusi (Vol. 13, No. 1, Maret 2016) menulis, ada beberapa faktor yang mempengaruhi fenomena calon tunggal dalam gelaran pilkada. Salah satunya adalah mahalnya mahar dari partai pengusung.
Sehingga, jika ada calon petahana yang kuat dana, maka calon lain dipastikan akan berhitung ulang untuk maju sebagai kandidat. Karena sikap pragmatis sudah mendarah daging di tubuh partai politik, maka mereka pun beramai-ramai mengusung calon tunggal. Tujuannya hanya satu: berkuasa.
Kemenangan kotak kosong di Makassar merupakan tamparan keras masyarakat kepada parpol yang coba-coba membatasi pilihan politik warga. Partai politik kudu menjadikan fenomena kotak kosong ini sebagai bahan evaluasi. Tidak mustahil, hal yang terjadi di Makassar kembali terulang di daerah lain.* []
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!