Selasa, 5 Jumadil Awwal 1446 H / 1 Maret 2016 19:35 wib
13.479 views
Kalijodo adalah Penutup Dugaan Korupsi Ahok?
Kalijodo adalah Penutup Dugaan Korupsi Ahok?
Penulis: Robigusta Suryanto
Assalamua'laikum. Wr. Wb.
Bismillahirrohmanirrohim
Sejatinya, di manapun tempat prostitusi harus ditertibkan sesuai dengan hukum yang berlaku di Negara ini. Sebab ini adalah penyakit masyarakat (pekat), yang akan menjadi sumber penyakit lainnya. Dan yang saya ketehaui tidak ada satupun aturan yang ingin melegalkan perilaku demikian. Kecuali, mungkin untuk proses pelegalan yang diindikasikan akan ada.
Jika kita masyarakat dan beragama Islam, telah jelas bahwa perilaku atau kegiatan prostitusi (baca: berzina) tidak dibenarkan. Dosa besar. Untuk berpandangan saja antar laki-laki dewasa dengan perempuan dewasa dalam Islam dinilai sebagai zina, yakni zina mata. Dan kita harus hindari. Tentunya ini mempunyai kaidah-kaidah tersendiri secara khsusus untuk dijelaskan.
Indonesia sebagai Negara kepulauan, dan rentan terhadap perilaku menyimpang memang berpotensi besar. Kemajemukan suku dan lainnya pun membuat pemimpin atau masyarakat beragama harus lebih peka melihat kejanggalan-kejanggalan yang ada, pun itu termasuk adat. Bila adat telah melenceng dari ajaran agama, misalnya, seyogyanya ajaran adat itu "ditiadakan". Bukan dalam arti dihilangkan. Sebab dari adat ada pula yang "mengklaim" bahwa ada terselip ajaran Islam di dalamnya. Yang dihindari dan telah jelas itu misal berpakaian minim dan meminum khamar (minuman keras/memabukan), atau mungkin masih banyak lagi yang bertentangan. Dan kebiasaan ini ada di beberapa daerah di Indonesia.
Kebijakan pemimpin Indonesia melihat hal di atas harus terukur dan terarah. Pintar mensiasati agar adat tetap harus berdasarkan agama (baca: Islam). Bila tidak, pemimpin muslim wajib memberitahukannya. Kelembutan dan penuh tatakrama yang santun adalah kuncinya, insya Allah dapat membimbing kelemahan umat melihat adat itu sendiri.
Jakarta, sebagai Ibukota dari Indonesia adalah cerminan. Cerminan apakah kota ini bermoral atau tidak. Sebab kita bukanlah seperti Negara lain yang sekuler: seperti layaknya melegalkan kegiatan zina di mana saja. Tidak!
Jakarta dari sebelum lepas imprealis dan kolonialis telah ada penyakit demikian. Akan tetapi pada saat itu, yang belum lepas dari kejahilan, dipeliharalah kebiasaan itu. Mereka berpikir karena dari hasil "pemeliharaan" tersebut masukkan untuk pendapatan akan membantu laju ekonomi. Namun sesepuh dan ulama kita tetap memperjuangkannya agar perilaku tersebut tidak berkepanjangan. Dan pada masa Ali Sadikin pun pernah pula dikondisikan sedemikian rupa. Pun saat ini, di masa Basuki Tjahja Purnama atau Ahok.
Di masa Ahok, menurut saya ia adalah pemimpin yang tingkat konsistennya mesti ditelisik. Diukur. Dicermati. Pasalnya apapun ucapannya kurang lebih tidak satupun yang mencerminkan sebagai pemimpin. Atau mungkin ia kadang bereaksi keras tetapi tidak masuk ranah dan pengetahuannya. Keras tetapi tidak terarah pun juga tidak bijak di saat menjadi pemimpin.
Yang saat ini sedang heboh salah satunya adalah lokalisasi Kalijodo, Jakarta. Tempat ini memang dikenal salah satu sarang zina di Jakarta. Dan sebetulnya masih banyak tempat zina lainnya. Mangga Besar, wilayah Jatinegara, dan lainnya.
Kalijodo. Saya dan masyarakat lain yang bermoral dan berpikir akan setuju kebijakan Ahok. Mendukung. Apalagi jika Ahok berani menutup semua kegiatan zina yang ada di Jakarta. Akan tetapi, kebijakan Ahok ini menurut saya kurang populer di saat ia terindikasi dan terundus korupsi rumah sakit Sumber Waras, itu pun jika masyarakat berpikir.
Jika Ahok memang peduli dengan kegiatan zina yang menganggap itu adalah pelanggaran, mengapa tidak sejak awal ia benahi? Bukankah peta atau info-info tersebut sangat mudah diakses? Dan nyatanya kita memang sedang ditutup matanya. Benar saja pemberitaan dugaan korupsi Ahok tidak naik lagi ke permukaan media. Dilupakan. Tergerus dengan berita lainnya.
Masyarakat di sini harus paham. Jangan ujuk-ujuk mendukung tanpa melihat latar belakangnya. Setiap jengkal pemimpin itu harus disaksikan. Setiap gerakan pemimpin itu harus diperhatikan. Mana kegiatan atau ucapan dia yang tidak sejalan. Di lain sisi mengapa Ahok tidak berani menggusur rumah pribadinya yang nyata-nyata telah melanggar.
Saat ini saja KPK yang telah berjanji akan memeriksa Ahok belum terwujud. Belum pula gelagatnya untuk melalukan itu. Bukti dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah ada. Apalagi kekurangannya? Ormas yang sibuk demo saban hari pun jangan dinilai tidak mempunyai bukti indikasi Ahok korupsi, mereka pasti memiliki buktinya. Justru yang ada Ahok kembali bersitegang dengan Anggota DPRD DKI Jakarta, yang bila Ahok mengetahui memang tugas mereka mengkritisi setiap kebijakan yang dinilai janggal dan salah. Namun Ahok tetap memainkan “perangnya”.
Dugaan keterlibatan Ahok ini jika dilihat dari sisi politik perlawanannya merupakan bagian dari manuver agar hal-hal lain yang kurang dapat ditutupi. Atau minimal yang kita saksikan menyalahkan orang lain. Banjir, ia menyalahkan daerah tetangga. Bahkan di salah satu media ia menyalahkan kabel optic yang sedang dibenahi.
Mungkin jika tidak khilaf, penulis melihat pemimpin seperti Ahok ini tidak satu kalipun solutif. Ia dominan menyalahkan dan menyalahkan. Juga hampir semua bertentangan-melawan. Yang lebih menyedihkan lagi di saat pendukungnya tidak mengoreksi kejanggalan-kejanggalan tersebut. Yang mereka lakukan justru memujanya, sampai mati kalau bisa.
Kita sebagai umat Islam tidak harus melakukan demikian. Siapapun pemimpin, ia kita kenal atau tidak. Kita dekat atau tidak, di dalam penilaian harus adil. Allah mengajarkan itu, sekalipun itu kepada orang yang berlainan agama dengan kita. Pun termasuk dengan saudara sendiri.
Dalam menilai pemimpin saya pun tidak menggila menyerang Ahok yang kebetulan dia beragama lain. Salah! Saya, sebagai warga Jakarta menilai dia dari sisi memimpin dan sebagai pemimpin. Apapun yang tidak berani diungkap oleh media atau tokoh lain, saya sebagai umat Islam harus mengungkapnya. Adil adalah proses dan kesimpulannya. Jernih adalah pemikiran yang menajdi dasar kita mengkritisi Ahok. Jika ia tidak menerima, kita sebagai warga negara yang memiliki hak bersuara diharamkan diam bila melihat kemungkaran itu. Dan bila pun Ahok tidak merasa bersalah akan tuduhan ia melakukan korupsi, maka baiknya Ahok membuat bantahan dan klarifikasi di depan publik. Atau minimal ia tidak membuat ucapan lain yang justru nanti menjadi bumerang. Wallahua’lam bishawab….
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!