Senin, 5 Jumadil Awwal 1446 H / 12 Oktober 2015 08:43 wib
44.467 views
Siapa Bakal Presiden Indonesia Pada Tahun 2019?
JAKARTA (voa-islam.com) – Barangkali terlalu dini berbicara tentang siapa bakal presiden Indonesia tahun 2019? Manjadi naif. Di tengah krisis ekonomi, politik, dan sosial yang mendera bangsa Indonesia, tiba-tiba sudah membahas tentang bakal presiden Indonesia mendatang.
Sebenarnya tidak terlalu naif. Semua partai dan kekuatan politik, mereka sudah membuat ancang-ancang mulai sekarang. Mempersiapkan diri. Mengambil posisi secara jelas. Bagaimana agar di tahun 2019, benar-benar sudah dalam kondisi 'siap' kembali men”take over” pemerintahan dan negara.
Kekuatan politik yang sekarang menjadi “the rulers” (berkuasa), seperti PDIP terus berusaha menguasai supra struktur negara, menjalankan semua kebijakan, dan langkah-langkah strategis, menuju penguasaan terhadap RI 'Satu', yaitu “Presiden”.
Penguasaan terhadap tentara, polisi, kejaksaan, pemerintahan (birokrasi), dan semua pilar kekuasaan, lembaga-lembaga yang menjadi pilar kekuasaan, seperti BUMN, termasuk sektor keuangan (bank) harus dikuasainya.
Perangkat peraturan dan undang-undang, semua dikendalikannya, dan ini bagian dari setting menuju penguasaan terhadap pemerintahan dan negara.
Revisi UU No.30/2002 (revisi UU KPK), adalah bagian dari usaha-usaha yang dijalankan oleh partai dan kekuatan politik yang sedang berkuasa, agar kekuasaan yang bakal jatuh ke tangannya, lebih “smooth” (lancar), tidak ada lagi yang mengganggu. Harus diingat. Pengusul revisi UU KPK, tidak lain, PDIP, dan ini pasti ide dari Megawati.
Di masa depan, nantinya tidak ada lagi pejabat yang digelandang oleh KPK. Maka, umur KPK dibatasi hanya 12 tahun belaka. KPK tidak boleh berumur panjang. Tidak ada lagi KPK yang dapat menyidik para pejabat di era mendatang, yaitu era kedua kekuasaan PDIP.
Semuanya itu, sudah masuk dalam kerangka strategi dan kalkulasi yang matang, dan memiliki jangkauan mengancang kepempimpinan mendatang.
Sekarang lihat dan perhatikan isi berita media-media “mainstream”, yang mewakili kepentingan kuasai (campuran) antara Katolik dan Cina (Kompas), antara Kristen dan Cina, seperti Media Indonesia dan MetroTV, atau media sekuler-liberal dan Cina, seperti Tempo, atau media yang mewakili kepentingan yang bersifat pragmatis dan Cina (Jawa Pos dan Indo Pos), isinya mulai sekarang sudah nampak dengan jelas arahnya.
Media-media itu, seperti ketika mula-mula mempopulerkan Jokowi dan Ahok, dan berhasil menjadi gubernur DKI. Setting berikutnya, Jokowi menjadi “Presiden”, dan berhasil. Kemudian, Ahok menjadi Gubernur DKI.
Selanjutnya, Ahok tetap menjadi gubernur, dan kemudian model kepemimpinan yang bersifat “kuasai” ini bakal dipertahankan sampai tahun 2019, yaitu antara Ahok dan Jokowi, sebagai wakil presiden dan presiden.
Di tengah krisis ekonomi dan politik yang sangat hebat, dan mendera kehidupan rakyat, sangat nampak jelas, media-media “mainstream” mengalihkan opininya, dan pemberitaannya bukan lagi mengkritisi pemerintahan Jokowi, dan krtik masyarakat terhadap Ahok, tapi kepada masalah kriminal, dan hiburan, atau lainnya, tidak mengutak-utik kedua tokoh itu.
Sementara itu, terus dibangun kepercayaan publik terhadap tokoh yang dianggap sebagai “dewa penyelamat”, serta “innocent', sebagai pahlawan Indonesia, bersih dan tidak korup.
Opini terus dibangun oleh media 'mainstream” bahwa model kepemimpin yang bersifat “kuasai” yang mewakil kepentingan kaum “pribumi” Jawa dan 'Cina”, antara Jokowi dan Ahok, terus ditampilkan setiap hari.
Jokowi sebagai tokoh Jawa yang populis (merakyat), dan Ahok (Cina) seakan jujur dan bersih, sebagai model kepemimpinan yang ideal di masa bagi Indonesia.
Sejatinya, sudah bisa disimpulkan 'setting' yang akan digoalkan oleh para 'Stakeholder” (pemangku kekuasaan), yaitu antara kepentingan Cina dan Amerika, bagi model kepermimpinan di masa depan bagi Indonesia.
Model kepemimpinan antara kepentingan Cina dan Amerika. Sebagai instrumennya, melalui partai-partai politik, yang sekarang ini menjalankan peran tunggal, sebagai “proxy” (tangan) bagi kepentingan Cina dan Amerika.
Secara de facto, Indonesia oleh Jokowi sudah diserahkan kepada Cina, dan ini tidak bisa dilepaskan sejak awal, kemunculannya Jokowi, memang hasil kerja dan strategi yang dijalankan oleh kelompok “Chinese Oversease” (Cina Perantauan) di Indonesia yang ingin menyermpurnakan kekuasaannya atas Indonesia, dan sekarang ingin menguasai kedaulatan politik.
Kekuatan Cina daratan dan Cina perantauan atas Indonesia sudah sangat 'powerfull”, dan semua assset sumber daya alam, serta ekonomi, finansial, sudah jatuh ke tangan mereka. Tinggal secara formal, kedaulatan politik yang ingin mereka kuasai.
Indikator-indikatornya sudah sangat jelas, betapa pengaruh Cina daratan dan Cina perantauan atas Indonesia, pertemuan Jokowi dengan Presiden Xi Jinping, kunjungan Puan Mahaarani ke Beijing, kunjungan PKC (Partai Komunis Cina) ke kantor DPP PDIP, di Lenteng Agung, sebelum pemilu presiden.
Dibagian lain, kehadiran Megawati, yang mewakili Jokowi, saat berlangsung konferensi Pengusaha Cina di kawasan Asia Pasific, dan dihadiri 3.000 pengusaha Cina, sudah menjadi gambaran yang sangat gamblang, dan Megawati secara terbuka mempersilahkan pengusaha Cina, masuk ke Indonesia.
Sinyal yang terakhir, Jokowi memastikan pembangunan kereta api cepat, Jakarta-Bandung, bukan diberikan kepada Jepang, yang sudah meghabiskan dana yang besar untuk melakukan studi kelayakan, tapi pembangunan kereta api cepat Jakarta-Bandung itu, diberikan kepada Cina.
Semua pembangunan infrastruktur, seperti jalan tol, bandara, pelabuhan, gardu listik di Kalimantan, dan sejumlah pembangunan lainnya, diberikan kepada Cina. Cina juga memberikan bantuan dana talangan yang mencapai Rp 100 triliun, saat sedang mengadapi krisis, di tengah rupiah terus terhempas.
Menteri BUMN, Rini Sumarno, menandatangani kerjasama dengan BOC (Bank of Cina), senilai Rp 570 triliun bagi dana talangan BUMN. Rini juga menyertakakan dana dari Cina bagi tiga bank utama Indonesia, Bank Mandiri, Bank BRI, dan Bank BNI. Semuanya bakal di caplok oleh Cina. Tak ada lagi yang bakal tersisa.
Bahkan, paling tragis bencana kebakaran (pembakaran) hutan di Kalimantan dan Sumatera, Jokowi terkesan takut terhadap para pelaku pembakaran, karena yang terlibat para 'taoke' Cina. Ini sudah menjadi lebih dari cukup melihat 'setting' politik Indonesia. Betapa para 'figuran' seperti Mega dan Jokowi atau lainnya hanyalah menjalankan agenda kepentingann Cina daratan dan Cina perantauan dengan patuh.
Cina melalui penetrasi ekonomi, kemudian dilanjutkan melakukan penguasaan terhadap kekuasaan. Inilah jalan yang bakal di tempuh dan dikerjakan secara sistematis. Menjelang 2019. Media-media 'mainstream' bakal melancarkan opini dengan terus mendorong Jokowi dan Ahok menjadi orang yang berkuasa di Indonesia mewakili kepentingan Cina daratan dan Cina perantauan.
Tidak ada agenda lain. Rakyat Indonesia sudah dihancurkan secara ideologis. Tidak ada lagi sekat ideologis. Lihat Tvnya Hary Tanoe, yang berambisi menjadi “presiden', dan setiap kali mencekoki rakyat dengan jejalan iklan “Siapa Orang Indonesia?”.
Dengan begitu semakin lumer ideologi nasionalisme bangsa Indonesia, dan mereka akan menerima pemimpin model Jokowi dan Ahok, atau Hary Tanoe, yang bakal mewakili kepentingan “A Seng”.
Ada JK yang sekarang banyak kalangan Islam yang 'silau' dengannya. Karena menggunakan baju sebagai 'Ketua Dewan Masjid', dan dianggap mewakili kepentingan Islam. Tidak. Dengan jelas selalu ada dibelakang JK, tokoh Cina yang bernama Sofyan Wanandi, yang namanya asllinya Liem Bian Koen, Cina kelahiran Sawahlunto, dan sekarang menjadi lobbi Amerika.
Lebih jauh, tetap saja Mega, PDIP, dan Jokowi, serta orang disekelilingnya, berlaku 'pragmatis', tidak ingin diposisikan sebagai “abdi dalem” Cina daratan. Maka Jokowi juga memberikan “sesaji” kepada Amerika, dan Freeport yang bakal habis tahun 2021, sudah diperpanjang lagi, sampai tahun 2041. Sungguh luar biasa.
Di mana rakyat Indonesia? Adakah mereka hanya penonton? Membiarkan kondisi ini terus berlanjut? Mereka hanya akan mengisi bilik-bilik suara, setiap lima tahunan? Memberi legitimasi bagi kepentingan kekuasaan Cina daratan dan Cina perantauan atau Amerika? Semantara itu, rakyat nasibnya tidak pernah berubah. Tetap mlarat dan terjajah. Sampai kapan? Wallahu'alam.
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!