Jakarta (voa-islam.com) Benarkah PKS memihak terhadap rakyat? Inilah pertanyaan penting yang harus dijawab. Karena, sekarang memposisikan dirinya sebagai partai yang berpihak kepada rakyat. Dengan secara terang menolak kebijakan pemerintah yang akan menaikan harga BBM.
DPTP adalah pimpinan tinggi yang terdiri dari Majelis Syuro dan DPP. Pada pertemuan kemarin, hadir juga Fraksi PKS DPR dan tiga menteri kabinet dari PKS. Pertemuan yang berlangsung di "Istana" Lembang yang menjadi rumah Ketua Majelis Syuro PKS, Hilmi Aminuddin itu, berlangsung guna memutuskan sikap terhadap kebijakan pemerintah terkait BBM, Rabu, 12/6/2013.
"Tadi malam kami diundang presiden partai untuk bisa menghadiri rapat DPTP terkait diskusi perkembangan pembahasan RAPBN-P 2013," jelas Sekretaris Fraksi PKS DPR Abdul Hakim, di gedung DPR Jakarta, Kamis (13/6/2013).
Dari pertemuan itu, ungkap Hakim, ada dua poin penting yang disepakati. Pertama, berdasarkan kajian di fraksi bahwa tidak tepat apabila pemerintah mengambil kebijakan penaikan harga BBM mengingat saat ini tahun ajaran baru, Ramadhan, Idul Fitri. Sehingga tingkat inflasi sangat dikhawatirkan tidak terkendali, sangat dipastikan pengangguran dan kemiskinan naik, dan juga berbagai usaha mengenah kecil akan kolaps.
Poin penting lainnya adalah partai dan fraksi sebagai perpanjangan tangan partai, tetap menolak kebijakan penaikan harga BBM. Hakim menegaskan, selama pemerintah tetap mempertahankan kebijakan menaikkan BBM, maka akan tetap bertentangan dengan PKS.
"Prinsip dasar, DPTP menggariskan bahwa partai harus tetap mengawal, bersama kepentingan dan aspirasi masyarakat. Sementara ini aspirasi yang kami terima hasil survei 81,6% rakyat tidak menginginkan penaikan harga BBM bersubsidi, karena waktunya tidak tepat," jelasnya.
Soal posisi tiga menteri dari PKS di kabinet juga dihasilkan keputusan. Mereka diizinkan berbeda sikap dengan partai. Sebab, menteri adalah pembantu presiden.
"Adapun para menteri dipersilahkan bekerja semaksimal mungkin untuk membantu presiden secara normal. Itulah rapat dengan menteri dan DPTP tadi malam. Secara profesional para menteri karena pembantunya presiden untuk membantu presiden secara profesional, sebagai pembantu presiden. Tapi sikap fraksi jelas memperjuangkan masyarakat," jelas Hakim.
Padahal, sejak kebijakan pemerintah SBY yang menaikan harga BBM di tahun 2005 dan 2008, PKS yang menjadi bagian koalisi pemerintahan SBY, tak pernah menolak, dan selalu mengatakan "ho'oh" (setuju). Jadi tak ada yang oposisi atas kebijakan kenaikan BBM yang dijalankan pemeritahan SBY selama ini. Dua keputusan kenaikan BBM di tahun 2005 dan 2008, tak kalah menyengsarakan bagi kehidupan rakyat.
Tetapi, langkah yang diambil para elite PKS yang ada di DPTP sepertinya anomali (berbeda) dengan keputusan sebelumnya yang selalu seia-sekata dengan SBY. Tak pernah berbeda dan menolak. PKS selama hampir satu dekade menjadi bagian rezim kapitalis yang dipimpin SBY. Tak pernah berpihak kepada rakyat.
Dibgian lain, Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera pernah setuju dengan kebijakan pemerintah untuk menaikan harga bahan bakar minyak. Hal ini disampaikan Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi yang mengklaim turut hadir dalam pertemuan antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan Ketua Majelis Syuro PKS Hilmi Aminuddin.
"Intinya ketika itu mereka (PKS) ingin mendukung kebijakan pemerintah. Hanya itu saja," kata Sudi Silalahi di Halim Perdanakusuma, Kamis, 13 Juni 2013.
Sudi menjelaskan,Hilmi datang didampingi salah satu menteri PKS, yaitu Menteri Sosial Salim Assegaf. Pertemuan Presiden SBY dengan Ketua Majelis Syuro PKS itu digelar sekitar sebulan yang lalu berlangsung di luar Istana. "Presiden tidak pernah gunakan Istana untuk kegiatan yang bukan kenegaraan," kata Sudi.
Dan, sekarang ketika PKS mengambil sikap menolak kebijakan dan keputusan pemerintah menaikan BBM, lucunya sikap DPTP membolehkan para menterinya mempunyai sikap berbeda dengan keputusan atau kebijakan partai. Mendukung kebijakan pemerintah dalam kenaikan BBM. Ini menunjukkan sikap ambivalen (mendua) PKS, dan tidak bersikap tegas. Disatu sisi ingin bersikap menolak kenaikan BBM, tetapi disatu sisi membolehkan menterinya tetap mendukung kenaikan BBM.
Mestinya, kalau mau bersikap tegas, menolak kenaikan BBM, PKS sekaligus menarik para menterinya dari kabinetnya SBY. Tidak membiarkan para menterinya, yang hakekatnya kader PKS itu, tetap bercokol di kabinet dan menikmati fasilitas negara. Secara fatsoen (etika) politik, ini sangat tidak layak, bagiamanapun, kalau sudah menjadi bagian koalisi, maka seluruh kebijakan pemerintah harus didukungnya.
Kecuali kalau posisi PKS menjadi kekuatan oposisi seperti PDIP, dan sangat jelas tidak memberikan dukungan kepada kebijakan dan keputusan pemerintah yang sangat berbeda dengan kebijakan dan keputusan partai.Ini PKS berada di dalam koalisi, tetapi menolak pemerinahan yang didukungnya, sembari membiarkan para menteri tetap mendukung kebijakan yang menyengsarakan rakyat.
Alih-alih SBY sudah akan tamat dan tidak akan lagi manggung di tahun 2014, dan pemerintahan semakin tidak populer, mengapa harus terus memposisikan diri sebagai tukang stempelnya SBY. Maka momentum kenaikan BBM di tahun 23013, menjelang bubarnya pemerintahan SBY, dan semakin mendekatnya pemilu 2014, maka PKS hengkang dan memilih membangun "image" (jaim) membela rakyat.
Sejatinya PKS sedang dirundung musibah dengan tokoh dan "icon" PKS, yaitu mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishak, tersandung kasus dugaan korupsi impor daging sapi sebentar lagi akan disidangkan di pengadilan Tipikor, dan akan membuktikan, apakah mantan Presisden PKS Luthfi Hasan Ishak salah atau tidak. Tetapi, wajah PKS sudah terlanjur babak belur.
Menjelang pemilu 2014 yang masih beberapa bulan lagi, berbagai manuver para elite PKS terus dilakukan. Menolak kenaikan BBM, konfrontasi total dengan KPK, dan menuduh KPK sebagai perpanjangan tangan Zionis, mengunjungi makam Gus Dur dan Kiai Hasyim Asy'ari di Jombang, menjadikan Presiden PKS Anis Matta sebagai "Soekarno Muda", saat berlangsung Mukernas di Semarang bersamaan dengan Pilkada, di mana PKS menjagokan Hadi Prabowo dan Don Murdono, tetapi gagal.
Anis Matta ingin memecahkan mitos Jawa Tengah sebagai kandang "banteng", tetapi kemampuan PKS tak begitu hebat, menembus pertahanan "banteng", betapappun Anis Matta sudah mendapatkan julukan sebagai "Soekarno Muda"
Memang PKS terus melakukan aktualisasi terhadap dirinya di tengah-tengah pusaran politik yang sedang bergelombang. Namun, permainan politik para elite PKS, justeru akan kembali ke dirinya sendiri, kalau tidak mampu mengelola dengan baik.
Tentu, ada yang sangat mengkawatirkan, yaitu kalau ada yang menyusul Lutfhi Hasan Ishak, menjadi tersangka baru, terkait dengan kasus-kasus korupsi, yang sekarang tengah disidik KPK. Wallahu'alam.