Senin, 12 Jumadil Awwal 1446 H / 9 Juli 2012 09:23 wib
8.685 views
Perang Antara Mohammad Mursi Dengan Militer
Nampaknya tak dapat dihindari konflik antara Presiden Mesir Mohammad Mursi dengan para jenderal yang sekarang berkuasa. Militer tidak mau tunduk terhadap supremasi sipil, yang sudah mendapat legitimasi rakyat.
Di mana Jamaah Ikhwan telah memenangkan mayoritas parlemen, dan mengontrol parlemen dan sekaligus memegang jabatan ekskutif sebagai presiden.
Kemenangan Ikhwan yang menguasai mayoritas parlemen itu, kemudian mendorong militer membubarkan parlemen yang merupakan hasil pemilihan. Militer Mesir di bawah Menteri Partahanan Marsekal Mohammed Husien Tantawi, nampaknya tidak menginginkan parlemen akan melakukan perubahan terhadap konstitusi Mesir, yang selama ini telah memberikan wewenang yang sangat luas kepada militer.
Langkah-langkah yang membawa perubahan melaui mekanisme parlemen itu, ingin dihindari oleh militer Mesir, dan tidak membuka peluang dengan terbentuknya sebuah konstitusi yang dapat mereduki atau mengeleminir posisi militer dari kekuasaan.
Sementara itu, Presiden Mesir, Mohammad Mursi, sudah menegaskan, hendaknya militer Mesir, kembali kepada perannya yang pokok, yaitu menjaga keamanan dan kedaulatan negara, dan meninggalkan keterlibatannya dalam politik.
Maka langkah-langkah Mursi sesudah dilantik menjadi presiden oleh Mahkamah Konstitusi, berusha mengembalikan kewenangan dan hak-hak parlemen, yang sudah dibubarkan oleh militer. Langkah sangat penting terutama dalam menjaga hak-hak rakyat, serta terciptanya legitimasi politik terhadap lembaga parlemen.
Bila tidak dilakukan oleh Presiden Mursi, dan membiarkan parlemen dibubarkan oleh militer, maka hal itu akan menjadi preseden politik, di mana setiap saat militer dapat membubarkan parlemen dengan berbagai alasan. Alasan yang sangat tidak jelas, dan tidak memiliki landasan undang-undang, ketika militer membubarkan parlemen.
Di tengah-tengah situasi politik di Mesir, yang masih tidak stabil itu, Presiden Mohammed Mursi mengeluarkan dekrit, hari Minggu, yang membatalkan keputusan Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata (SCAF) bulan lalu untuk membubarkan parlemen.
Mursi melalui dekrit yang dikeluarkan memutuskan mengembalikan wewenang parlemen (Majelis Rakyat), yang merupakan hasil pemilihan parlemen, dan diperintahkan bekerja kembali pada bulan November, dan melakukan sesi persidangan yang baru guna membuat undang-undang. Keputusan yang dibuat oleh Presiden Mohammad Mursi, yang memulihkan hak-hak parlemen, nampaknya tidak menyenangkan para pemimpin militer.
Kemungkinan keputusan Mursi itu, bisa menimbulkan ledakan politik baru di Mesir, dan Ikhwan akan berhadapan dengan militer, yang didukung kaum sekuleris, liberal, nasionalis, dan minoritas Koptik.
Partai politik Ikhwanul Muslimin memenangkan hampir setengah dari perakitan dan Morsi, meskipun ia mengundurkan diri dari posisi kepemimpinan dalam Persaudaraan, masih anggota. Memang keputusan ini akan melabrka keputusan Mahkamah Agung, yang menjadi perpanjangan tangan militer Mesir.
Militer vs Ikhwan
Konflik antara Ikhwan dengan militer sudah terjadi sepanjang sejarah pergerakan itu. Ikhwan tidak pernah bisa bertemu dengan militer, sejak lahirnya. Suatu kali Ikhwan ikut mendukung revolusi yang dilakukan para perwira muda, dibawah Jenderal Mohammad Najib, tetapi tidak berlangsung lama. Kemudian pecah, dan Ikhwan menghadapi kondisi yang sangat buruk di bawah Jenderal Gamal Abdul Nasser.
Saat Nasser digantikan oleh Anwar Sadat, sebagian tahanan Ikhwan dibebaskan dari penjara-penjara militer di Mesir. Tetapi, kemdian Sadat terbunuh, saat berlangsung upacara militer, tahun l98I, dan Ikhwan dituduh terlibat dalam pembunuhan itu.
Sejatinya,pembunuhan terhadap Anwar Sadat itu, dilakukan oleh Letanan Khalid Islambouli, yang sangat menentang perjanjian perdamaian dengan Israel, Camp David. Pertarungan antara Ikhwan dilanjutkan saat Marsekal Hosni Mubarak berkuasa, menggantikan Presiden Anwar Sadat. Banyak tokoh Ikhwan yang dijebloskan kedalam penjara.
Sekarang pun, situasi di Mesir menghadapi ketidak pastian. Nampaknya, militer belum ikhlas meninggalkan kekuasaannya. Hal itu sangat nampak dengan keputusan yang diambil, menjelang kemenangan dicapai oleh Ikhwan, yang kemudian melalui pengadilan Mahkamah Agung, militer membubarkan parlemen, yang merupakan hasil pemilihan. Selanjutnya, Ikhwan, berpendapat dan bersikap bahwa keputusan pengadilan adalah salah, dan SCAF tidak memiliki hak secara hukum membubarkan parlemen.
Apakah Mursi berkonsultasi dengan militer atau kekuatan-kekuatan politik lainnya sebelum mengeluarkan surat keputusan berupa dekrit? Menurut seorang pejabat Ikhwan, Presiden Mursi tidak melakukan konsultasi denga para pejabat militer, saat membuat keputusan dekrit itu. Keputusan Mursi itu,menyebabkan kalangan militer Mesir, melakukan pertemuan darurat, yang akan membahas keputusan dekrit itu. Keputusan yang sangat penting itu diambil oleh Mursi, pada Minggu malam.
Kemungkinan, bila keputusan Mursi itu mendapatkan penolakan yang keras dari kalangan militer, pilihannya dalam waktu 60 hari akan diselenggarakan pemiihan anggota parlemen baru. Tentu, ini sangat tidak efisien, dan akan menimbulkan ketidak stabilan politik baru di Mesir, serta akan merugikan kepentingan Mesir yang sekarang menghadapi masalah komplek, akibat peninggalan Mubarak.
Memang, kemenangan Ikhwan yang menguasi parlemen membuat kawatir kalangan sekularis, liberal dan minoritas Kristen, yang secara umum mereka lebih senang kalau parlemen dibubarkan. Beberapa politisi sekuler terkemuka, termasuk Mohamed El-Baradei, mengkritik keputusan Mursi pada hari Minggu.
Keputusan Mahkamah Agung Mesir menjatuhkan keputusan kontroversial yang membubarkan parlemen sehari sebelum putaran kedua pemilihan presiden telah menimbulkan teka-teki politik yang luas. Tentang motive militer yang bertindak sangat tidak konstitutional itu.
Militer dengan membuat keputusan membubarkan parlemen itu, ingin membatasi kekuasaan presiden, dan keputusan itu tak lama sesudah TPS ditutup pada pemungutan suara presiden. SCAF mengeluarkan paket secara sepihak, dari amandemen konstitusi yang membatasi kekuasaan presiden, serta membuat parlemlen dibawah kekuasaan parlemen.
"Ini adalah langkah yang sangat menarik, karena ada pertanyaan, apa sebenarnya dibalik keputusan itu? ... Apakah ini benar pembangkangan presiden baru terhadap para jenderal, atau ini sebuah keputusan yang diambil setelah konsultasi, dan dalam koordinasi dengan para jenderal", ujar seorang pengamat politik di Cairo.
Ikhwan mengatakan pembubaran parlemen harus melalui referendum.Tidak bisa secara sepihak militer membubarkan parlemen. Ini merupakan langkah kudeta yang sangat bertentangan dengan tujuan revolusi rakyat Mesir, yang ingin menjujung supremasi sipil.
Konstitusi sementara Mesir, yang lahir pada 2011, tak lama sesudah rezim Hosni Mubarak runtuh, menegaskan tidak ada lembaga yang diberikan wewenang untuk membubarkan parlemen, dan tidak ada aturan dinyatakan mengatur situasi seperti itu.
Sementara itu, Presiden Mursi dijadwalkan akan melakukan lawatan pertamanya, ke Saudi, Gaza, Ethiopia, Turki, dan September dijadwalkan akan bertemu dengan Presiden Barack Obama di Washington.
Obama mengundang Mursi, dan akan membicarakan situasi politik di kawasan Timur Tengah. Tentu, Washington, akan mendorong Mursi, agar mentaati komitmen Mesir, terhadap perjanjian damai dengan Israel, yang telah disepakati di Camp David, pada tahun l978.
Presiden Mohammad Mursi menghadapi tekanan politik yang sangat keras, terutama dari kalangan sekuler, nasionalis, dan militer, yang tidak menginginkan Presiden Mursi memiliki wewenang yang luas, dan didukung parlemen yang kuat. Itulah wajah kaum sekuler, nasionalis, koptik, dan liberalis, yang menjadi pion Barat, terutama di dunia Islam. Wallahu'alam.
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!