Rabu, 13 Jumadil Awwal 1446 H / 6 Juni 2012 09:32 wib
7.223 views
Siapa Lagi Bisa Menyelamatkan Republik Ini?
Bagaimana kalau yang disebut “The Rulling Party” (Partai Berkuasa), elite politiknya terlibat korupsi? Menjarah uang negara, APBN, melalui berbagai proyek di departemen-departemen. Jumlahnya tidak sedikit. Bisa mencapai triliun rupiah.
Uang yang semestinya digunakan bagi kepentingan rakyat, dibelokkan ke elite partai, atau ke partai. Elite partai bukan lagi memperjuangkan kesejahteraan rakyat, tapi bagi kepentingan pribadi, para pemimpin partai, atau kepentingan golongan.
Para elite partai menjadi sangat makmur hidupnya. Berlebih. Mereka benar-benar menikmati kehidupan dengan istilah : "gemah-ripah loh jinawe" (kaya-raya), sementara itu, rakyat hanya hidup dengan mimpi-mimpi, berupa janji-janji dari para pemimpin partai politik, saat menjelang kampanye pemilu. Rakyat tetap berada di jurang kemiskinan. Rakyat tetap berada di jurang nestapa. Tanpa ada yang peduli sedikitpun terhadap nasib mereka.
Bagaimana Partai Demokrat yang bisa disebut “The Rulling Party”, berdasarkan pengakuan dan pernyataan dari Nazaruddin, yang pernah menjadi Bendahara Umum Partai Demokrat di pengadilan Tipikor, di mana dia menyebut Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum dan Andi Malangranggeng mendapat fee dari proyek Hambalang. Fee itu diatur melalui PT Duta Sari Citralaras, mantan perusahaan istri Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, Athiyyah Laila.
Nazaruddin menjelaskan, pembagian itu dilakukan oleh mantan pejabat Adhi Karya, Mahfud Suroso. Pria yang sudah diperiksa KPK inilah yang mengatur soal pembagian fee.
"Mahfud yang bagi untuk Andi Rp 20 miliar, untuk mas Anas Rp 50 miliar, untuk teman-teman DPR, itu Mahfud yang menyerahkan Rp 30 miliar," tegas Nazaruddin usai menjalani pemeriksaan sebagai saksi untuk Angelina Sondakh di Gedung KPK, Jl HR Rasuna Said, Jaksel, Selasa (5/6).
Khusus DPR, diserahkan kepada anggota Komisi X. Termasuk para Pimpinan Banggar."Semua pimpinan Banggar terima. Tapi yang atur Mirwan Amir. Waktu itu untuk Pimpinan Banggar Rp 20 miliar. Untuk teman-teman Komisi X Rp 10 miliar," tegasnya.
Pengakuan Nazaruddin itu, hanya menggambarkan betapa bobroknya elite partai politik di negeri ini, yang “mengeruk” uang negara (APBN), melalui proyek-proyek di departemen. Semuanya itu dijalankan dengan sangat mudah “easy”, tak ada halangan.
Betapa Indonesia diperintah dan pemerintahan di jalankan oleh Partai, dan elite partai duduk di kementerian. Termasuk kementerian yang dipimpin kalangan profesional, tak bakal dapat menolak, permintaan proyek dari pejabat atau elite “The Rulling Party”.
Bagaimana waktu itu, seorang menteri dapat menolak permintaan proyek dari seorang Bendahara Umum Partai Demokrat, yang menjadi “The Rulling Party”? Sementara itu, Ketua Dewan Pembinanya adalah Presiden SBY, dan Sekjennya adalah Ibas (Edi Baskoro)? Siapa berani menolak.
Dalam sistem pemerintahan presidensiil, seorang menteri hanyalah menjadi pembantu presiden. Jadi kalau Presiden SBY menjadi Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, itu akan sangat berpengaruh terhadap menterinya.
KPK sekarang menelusuri 16 proyek di Perguruan Tinggi Negeri, yang nilainya mencapai Rp 600 miliar. Sudah ada perkiraan dan sinyalemen, kemungkinan proyek Rp 600 miliar itu, menjadi “bancakan” kalangan DPR. Terutama di Banggar (Badan Anggaran). Proyek Hambalang dari Kementerian Olah Raga, nilai proyeknya mencapai Rp 2,5 triliun, tak terlepas dari kepentingan partai, dan menjadi “bacakan” juga.
Seperti halnya, proyek di Kementerian Transmigrasi, yang terkait dengan pembangunan Prasarana dan Infrastruktur Daerah Tertinggal, yang nilainya Rp 500 itu, menurut Wa Ode Nurhayati, tak terlepas pula dari “bancakan” partai.
Wa Ode sempat menyebut Wakil Ketua DPR, Anis Mata, yang membidangi anggaran, dan mengubah kesepakatan di Banggar, nilainya mencapai Rp 7,6 triliun, yang diperuntukkan bagi 324 daerah di seluruh Indonesia. Anis Matta sempat diperiksa KPK, beberapa waktu yang lalu.
Selain itu, anggota DPR berperan dalam menentukan seorang pejabat dengan imbalan "fee" yang bisa disepakati. Seperti ketika pemilihan Ketua Dewan Gubernur Senior Bank Indonesia (BI), Miranda Gultom, yang membuka kedok para anggota DPR periode 1999-2004, yang mendapatkan imbalan Rp 24 miliar dalam bentuk traveler check.
Memperdagangkan jabatan DPR itu, sudah meliputi seluruh fraksi partai politik di DPR, karena yang dihukum atau dipenjara itu, lebih dari 20 anggota DPR, akibat kasus pemilihan itu.
Indonesia telah digerogoti kanker korupsi yang sudah masuk ke seluruh aliran darah dan sungsum elite partai dan birokrat. Inilah sebenarnya yang menjadi malapetka di era reformasi ini. Di mana partai-partai politik berkuasa, dan menjalankan kekuasaannya, tanpa batas dan kontrol.
Siapa yang mengontrol pemerintahan yang terdiri dari partai-partai politik? Ekskutif dipegang oleh partai politik. Legislatif di isi oleh partai-partai politik. Sedangkan lembaga penegak hukum, yang bernama yudikatif diangkat dan ditunjuk oleh legislatif (DPR), yang menjadi perpanjangan tangan elite partai politik.
Bagaimana yudikatif mau bertindak mengadili, menghukum, dan memvonis, seorang yang telah menjalankan korupsi? Sementara itu, mereka yang duduk di pimpinan lembaga Yudikatif, dipilih oleh seorang Presiden, yang merupakan calon atau tokoh dari partai politik.
Maka, Presiden SBY, tak mampu bertindak, ketika berlangsung korupsi yang sudah menjadi “bencana” dan “pedemi”, karena yang melakukan korupsi elite partai, di mana Presiden SBY menjadi Ketua Dewan Pembina.
Tidak mungkin Presiden SBY bisa bertindak dengan tegas menghadapi situasi itu. Termasuk Presiden SBY pasti tidak dapat bertindak tegas, terhadap pelaku korupsi, di mana yang menjadi pelaku korupsi, tak lain, mereka yang menjadi mitra koalisinya, yang mendukung pemerintahannya.
Sebuah jalan buntu, yang bakalan menghancurkan masa depan Indonesia, akibat korupsi. Korupsi dilakukan oleh partai politik. Di mana pemerintahan dikendalikan dan dikelola oleh partai politik.
Betapa tokoh seperti Nazaruddin, yang menjadi Bendahara Umum Partai Demokrat, sebelum berangkat ke Singapura, tanggal 23 Mei, 2010, terlebih dahulu sowan ke Cikeas, dan bertemu dengan Presiden SBY. Meskipun, pertemuan itu telah dibantah,tak terkait dengan korupsi yang dijalankan oleh Nazaruddin.
Melihat Indonesia dengan sedih dan buram, tak ada yang dapat memberikan optimisme. Penyakit korupsi benar-benar sudah menguasai setiap sendi kehidupan di negeri ini.
Sistem kufur dan jahiliyah tak akan pernah selamanya dapat memberikan kemaslahatan dan kebaikan bagi Umat, dan justeru hanya membawa kepada kehancuran, maksiat, serta durhaka kepada Allah Rabbul Alamin.
Mari tinggalkan sistem kufur dan bathil itu. Kembalilah kepada sistem yang sudah diberikan oleh Allah Rabbul Alamin, yaitu al-Islam. Wallahu’alam.
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!