Jum'at, 21 Jumadil Awwal 1446 H / 4 Mei 2012 11:14 wib
30.243 views
Solo Riwayatmu Kini?
Solo mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Perubahan itu terus menjadi fenomena. Sehari-hari kehidupan terus berjalan dengan alurnya.
Segi tiga kota Boyolali, Solo dan Sragen, menjadi pusat kaum “merah”. Sekarang sering disebut kaum “abangan”. Sejak tahun 1948, ketika terjadi pemberontakan PKI di Madiun, yang dikenal dengan "Madiun Affairs", yang banyak membawa korban. Solo sudah menjadi "buffer zone" (daerah penyangga) bagi gerakan PKI di Jawa Tengah.
Sesudah tahun l948 PKI dilarang, dan dihidupkan kembali oleh Pemerintahan Soekarno, kemudian dalam pemilu di tahun l955, serta kurang dari sepuluh tahun, di mana kekuatan PKI mendapatkan pijakan yang kuat, dan mendapatkan dukungan rakyat, serta diurutan keempat d alam pemilu. PKI menunjukkan sebagai gerakan politik yang sangat militan.
Puncaknya, ketika berlangsung peristiwa G 30 S PKI, tahun l965, kaum komunis di kota Solo itu, mereka yang paling keras memberikan perlawanan terhadap kekuatan anti komunis. Mereka benar-benar kekuatan laten sampai hari ini.
Sampai sekarang Solo tetap menjadi lambang kekuatan “kaum merah”. Tak berubah. Budaya kejawen dan komunis, yang egaliter itu, benar-benar menyatu dalam kehidupan. Budaya kejawen dan komunisme tak lekang oleh zaman. Terus hidup. Betapapun zaman berubah. Inilah Solo.
Bukan sesuatu yang aneh, kalau sekarang dalam kehidupan baru, konfigurasi politik sangat nampak jelas, bagaimana kekuatan “merah” itu tetap mendapatkan dukungan yang kokoh di hati rakyat.
Partai yang tetap dominan adalah PDIP, yang selalu mengidentikan diri mereka dengan “wong cilik”. Rakyat Solo selalu akrab dengan idiom-idiom kerakyatan. Gerakan mereka yang selalu berporos kepada paham egalitar, yaitu kehidupan “tanpa kelas”, yang menjadi inti dari ajaran komunis. Ini sangat tercermin dalam keseharian di Pasar Klewer,Solo. Bagaimana kaum pedagang kecil, yang terus berinteraksi dengan kehidupan zaman baru.
Di Solo pernah lahir gerakan anti kemapanan, yang memberontak, kolaborasi antara orang-orang kaya (borjuis) yang menguasai pasar, yang menolak bekerjasama dengan Belanda, sampai kemudian lahir gerakan SDI (Sarikat Dagang Islam), yang digerakkan oleh Haji Samanhudi. Kerangka masih sama. Menolak kekuatan kaya yang berkuasa.
Itu pupus. Tidak berlangsung lama. Kemudian sampai gerakan itu menjelma menjadi sebuah gerakan baru, Syarikat Islam (SI), yang didirikan Haji Omar Siad Tjokroaminoto. Tjokro pun membawa idiom-idiom kerakyatan dalam gerakan yang bernuansa Islam itu.
Selanjutnya, perlombaan antara kaum abangan dan santri (Islam) terus berlanjut sampai hari ini. Polarisasi itu semakin mengental. Polarisasi antara kekuatan abangan dengan santri terus semakin mengeras. Polarisasi itu menemukan momentumnya sekarang ini. Tetapi dalam kontek gerakan, kekuatan Islam masih belum dapat menyamai kekuatan abangan alias golongan “merah”.
Bentuknya, seperti sekarang ini, dalam budaya dan gerakan, seperti setiap 1 Syuro, berlangsung ritual yang disebut menyambut “Kiai Slamet”. Kiai Slamet itu adalah kerbau berwarna putih, yang dipelihara oleh Kraton Solo. Setiap 1 Syuro, puluhan ribu rakyat kota Solo, berdiri di depan Kraton menunggu keluarnya Kiai Slamet.
Saat menjelang tengah malam, kemudian Kiai Slamet itu keluar, dan menjadi rebutan, dan bahkan kotorannya menjadi rebutan, yang konon dapat memberikan berkah. Suasana seperti itu masih terus berlangsung. Tanpa henti-hetni. Kraton Solo sendiri menjadi simbol dari kaum abangan yang langgeng sampai sekarang ini.
Sesudah pemberontakan PKI di tahun 1965, banyak keluarga-keluarga PKI, yang terkena pembersihan, dan banyak yang tewas. Tetapi, ideologi PKI tetap laten, tak pernah lekang oleh zaman. Keluarga-keluarga PKI yang trauma dengan peristiwa G30S PKI, banyak diantara mereka yang masuk kedalam agama Kristen.
Makanya sekarang kekuatan Kristen di Solo sangat kuat. Konon Solo itu sekarang mayoritas penduduknya beragama Kristen. Orang-orang "abangan" yang sudah menjadi Kristen itu, memori mereka tak pernah hilang, peristiwa yang terjadi di tahun 1948 dan 1965, di mana keluarga mereka menjadi korban. Mereka tak pernah lupa, dan terus memendam dendam terhadap golongan Islam.
Tak aneh lagi walikota kota dan wakilnya itu, mencerminkan konfigurasi yang benar-benar mewakili rakyat Solo. Antara abangan dan kristen. Gaya politik Jokowi dan wakilnya FX Rudyatmo yang beragama Katholik, tetap saja mengagendakan isu-isu yang populis atau egaliter yang lebih pada isu-isu kerakyatan. Bagaimana wakil wali kota Solo FX Rudyatmo memimpin sendiri aksi menentang kenaikkan BBM. Itulah refleksi ideologi egaliter mereka.
Tetapi, di dalam kehidupan yang baru, sekarang muncul sebuah kekuatan baru, yang membuat mereka sangat risau. Munculnya kekuatan Islam yang lebih berorientasi kepada tegaknya nilai-nilai Islam atau syariah Islam, tak pernah mereka prediksi sebelumnya.
Adanya pondok pesantren al-Islam di Ngruki, seperti menjadi sebuah miniatur baru,yang dianggap dapat mengalahkan kepercayaan dan gerakan lama,yang diusung kaum “merah” yang sekarang ini dimanfaatkan oleh Kristen, yang secara genetik mereka ini dari keluarga yang dulunya sebagian dari keluarga komunis.
Masa depan akan sangat menarik. Kompetisi antara kaum “merah” yang abangan dengan kaum “santri”, yang membawakan idiom baru, yang sangat berbeda dengan kasanah kaum abangan, yang diluar arus utama (mainstream) rakyat Solo umumnya, yang selama ini sudah terlanjur dalam jaringan kaum “abangan”,dan tiba-tiba mendapatkan tantangan ideologis dari kalangan santri, yang semakin kuat di Solo.
Inilah Solo riwayatmu kini. Pertarungan ini akan semakin menarik dimasa depan. Antara kaum “merah” dengan golongan “putih” santri, yang tak akan mundur menghadapi kehidupan yang sudah mapan. Suatu saat kita akan melihat kota Solo yang berubah. Bukan seperti sekarang ini. Wallahu’alam.
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!