Rabu, 21 Jumadil Awwal 1446 H / 25 April 2012 03:51 wib
7.010 views
Demokrasi Menghancurkan Impian Uni Eropa
Hasil pemilu Perancis menghancurkan impian para pemimpin Uni Eropa. Impian mereka menginginkan Uni Eropa yang terdiri 27 negara itu, selanjutnya menjadi sebuah kesatuan tunggal dengan mata uang tunggal euro. Tetapi, hasil pemilu Perancis menunjukan perlawanan besar-besaran rakyat Perancis, yang menolak kebijakan pengetatan anggaran dan mata uang euro.
Euro selamat menghadapi serangkaian bencana. Mulai dari krisis perbankan di Irlandia, hancurnya real estate di Spanyol, dan kekacauan ekonomi yang maha dahsyat di Yunani. Tapi sekarang Uni Eropa dan mata uang euro menghadapi ancaman yang lebih besar, yang mungkin tidak mampu mengatasinya yaitu demokrasi.
Nampaknya, demokrasi akan menghancurkan impian masa depan para pemimpin Uni Eropa. Di mana mereka bermimpi ingin menjadikan Uni Eropa sebagai sebuah imperium (kerajaan) yang bersifat regional dengan sistem politik, ekonomi, moneter (mata uang) tunggal.
Cita-cita para para elite Uni Eropa, mungkin hanya akan menjadi sejarah masa lalu. Inti imperium Uni Eropa itu, yaitu adanya mata uang tunggal euro, yang akan menyatukan sistem ekonomi mereka secara regional.
Masalahnya sangat sederhana. Sebagian besar negara-negara yang membentuk zona euro, tidak ada lagi secara mayoritas dan substansial bersedia menjaga sistem euro sebagai mata uang bersama.
Para pengamat ekonomi dan politik, mereka menyatakan, gagasan mata uang tunggal itu, sekarang diuji, dan secara mayoritas rakyat di hampir semua negara di daratan Uni Eropa, tumbuh nasionalisme baru, yang sangat gigih menolak mata uang euro sebagai mata uang tunggal.
Para komentator mengatakan zona euro sedang mengalami"defisit demokrasi". Di mana sistem ekonomi di Eropa sebagian besar hanyalah didasari kepentingan politik dan bisnis semata. Tetapi, tidak memiliki transparansi, akuntabilitas, dan mandat dari rakyat secara luas. Zona euro hanya mendapatkan dukungan elite politik, dan menganggap itu sudah lebih dari cukup.
Selama beberapa minggu ini, elit di zona euro mulai kehilangan cengkeraman dan pengaruh mereka. Sejumlah negara kunci Eropa menghadapi pemilu, dan partai-partai politik yang mendukung euro menghadapi tantangan yang dahsyat dari rakyat.
Di negara-negara Eropa yang paling bermasalah dibidang finansial, perlawanan rakyat terhadap kebijakan penghematan sangat keras. Rakyat menolak kebijakan pengetatan uang. Memang, dampaknya pengangguran di zona euro menggelembung.
Sebaliknya, saat yang sama, negara-negara yang secara finansial stabil dan makmur, pemilih (rakyatnya) semakin menolak membantu membagikan uang kepada negara-negara yang menghadapi kebangkrutan.
Putaran pertama pemilihan presiden Prancis, yang berlangsung kemarin, memperlihatkan semakin menurunnya dukungan rakyat. Presiden Nicolas Sarkozy, salah satu pemimpin di zona euro yang berkomitmen kuat menyelamatkan euro telah rontok.
Sarkozy merupakan pemimpin politik terpenting kedua di zona euro, setelah Kanselir Jerman Angela Merkel. Jika Sarkozy kalah sudah dapat diprediksi, bagaimana masa mata uang euro, yang menjadi lambang kapitalisme baru.
Sarkozy secara mengejutkan mengalami kekalahan dari tokoh Sosialis François Hollande. Selain itu, Sarkozy diperkirakan akan kalah menghadapi Hollande sebanyak 8 poin pada putaran kedua pemilu pada 6 Mei nanti.
Hollande pada prinsipnya tidak menentang euro. Tapi dia menolak kebijakan penghematan. Hollande lebih menekankan pada pertumbuhan. Tokoh Sosialis itu lebih memilih mengurangi defisit anggaran, ia menyetujui kenaikan pajak dan pemotongan belanja.
Singkatnya Hollande tidak akan menyelamatkan mata uang euro. Tersingkirnya Sarkozy oleh Hollande cenderung melemahkan poros Jerman-Perancis. Dampaknya akan merusak kepercayaan di pasar keuangan Eropa dan menyebabkan hilangnya secara umum arah kebijakan di zona euro.
Tetapi, yang paling menakutkan sejumlah pemimpin Uni Eropa, bangkitnya Sayap Kanan di sejumlah negara Uni Eropa. Kemenangan Sayap Kanan di Uni Eropa itu, hanyalah tanda lonceng kematian tentang impian sebuah imperium Uni Eropa, yang sudah digagas dalam waktu lama. Sekaligus, ini akan memupus hancurnya sistem ekonomi regional di zona euro. Sayap Kanan tak lain, sebuah sikap nasionalisme ekstrim, yang sekarang merasuki seluruh relung rakyat di daratan Eropa, dan diekspresikan dengan menggayang imigran Muslim yang dianggap penjajah baru.
Lihat. Kekuatan Sayap Kanan yang dipimpin Le Pen dari Front Nasional mendapat urutan ketiga dengan 18 persen suara. Le Pen mendesak para pendukungnya, di mana mereka "berteriak marah" terhadap Uni Eropa, dan menginginkan fokus sepenuhnya pada kepentingan nasional Prancis. Le Pen berjuang agar gerakannya mengakhiri mata uang euro, dan kembali mata uang nasional.
Calon ekstrim Kiri Jean-Luc Mélenchon yang menempati posisi keempat dengan 11 persen suara, menyerukan diakhirinya penghematan. Bersama Le Pen dan Mélenchon dua calon tokoh dari kelompok “Kanan-Kiri” Perancis, nampaknya akan memaksa Hollande yang menang pada pemilu Perancis, agar segera mundur dari euro, dan kembali ke mata uang nasinal mereka.
Perancis negara yang paling strategis, dan menjadi pilar utama euro, serta menjadi indikator bagi Uni Eropa, tetapi sekarang nampaknya tren yang sama berlangsung di negara lainnya.
Pemilu legislatif Yunani yang akan diselenggarakan pada 6 Mei, bersamaan dengan putaran kedua pemilu Perancis, polling memproyeksikan kekalahan besar bagi koalisi sosialis dan konservatif moderat yang mendukung kebijakan penghematan di Yunani. Washington Post memproyeksikan koalisi itu akan kehilangan 46 kursi.
Di Belanda Geert Wilders lebih keras lagi, Partai yang dipimpinnya, Sayap Kanan, Partai Kebebasan, menyatakan talak tiga dengan euro. Ini adalah nyata-nyata kecenderungan di seluruh daratan Uni Eropa.
Demokrasi mengakhiri impian para pemimpin Uni Eropa. Mereka yang bermimpi ingin menjadikan daratan Eropa kerajaan kapitalis terkubur oleh demokrasi. Memang ironis. Begitulah nasib sistem bathil. Wallahu'alam.
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!