Jum'at, 21 Jumadil Awwal 1446 H / 20 April 2012 09:47 wib
5.100 views
Rakyat Selalu Menjadi Komoditas Politik
Dalam sistem "kufur" seperti demokrasi selalu rakyat menjadi objek. Rakyat tidak pernah menjadi subjek. Sekalipun rakyat dikatakan sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Kedaulatan di tangan rakyat. Suara rakyat adalah suara tuhan. Sejatinya wujud kedaulatan di tangan rakyat tidak pernah terjadi.
Rakyat selamanya hanyalah menjadi objek. Rakyat hanyalah menjadi komoditas. Realitas politik yang ada tidak pernah memposisikan rakyat sebagai penentu. Rakyat hanya dibutuhkan pada saat pemilihan, memberikan legitimasi bagi para pemburu rente kekuasaan. Mereka saling berebut, dan mengaku sebagai tokoh yang berdiri di garda paling depan membela rakyat. Tapi tidak pernah ada, dan menjadi kenyataan.
Dalam ideologi yang paling ekstrim yang mengaku paling membela rakyat, seperti komunisme, yang membuat jargon politik : “tanpa kelas”, dan kemudian dikenal dengan terminologi politik komunis, “sama rata sama rasa”, tetap saja yang menikmati dalam sistem komunis itu, para kamerad (pemimpin) partai, yang sangat sedikit (elitis), dan dengan gaya yang sangat “borjuis”.
Di Cina dan Rusia yang menganut sistem komunis, tak ada yang disebut dengan “tanpa kelas” alias “sama rata sama rasa”. Para pemimpin partai menjadi kelas elite yang dengan gaya hidup yang "borju", dan jauh dari cita-cita komunis, yang proletar.
Meraka yang berada diatas sebagai pemimpin partai tetap menikmati hak-hak istimewa (privilege), yang tidak bisa dinikmati rakyat. Rakyat hanyalah menjadi bahan isu yang selalu dimunculkan saat atau moment tertentu, yang tujuannya membangun atau mendapatkan kekuasaan. Berbicara tentang nasib rakyat, seperti kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, dan sejumlah isu lainnya yang populis,sebagai cara para pengejar kekuasaan, atau yang memiliki libido kekuasaan yang kuat, dan rakyat selalu menjadi bahan komoditas.
Siapa yang benar-benar menjadi pembela rakyat di negeri ini? Adakah tokoh-tokoh yang selalu berbicara tentang rakyat dan mengidentikkan dirinya dengan “wong cilik” itu, benar-benar sebagai pembela rakyat? Tidak. Itu hanyalah berlangsung saat mereka belum berkuasa. Ketika mereka sudah berkuasa tidak lagi berbicara tentang rakyat. Tidak lagi nampak pembelaan terhadap rakyat. Rakyat mereka lupakan.
Para tokoh yang sudah berkuasa dan pemimpin negara, mereka hanyalah menyediakan waktunya dan perhatiannya bagi mereka yang dapat melanggengkan kekuasaannya. Para pemilik modal, pengusaha, kelompok penekan, dan jaringan lobby internasional, yang dekat dengan kekuasaan global. Karena hakekatnya para penguasa lokal, yang sudah memenangkan pemilu, tak lain, mereka itu hanyalah perpanjangan tangan dari kepentingan global.
Rakyat tugasnya selesai saat pemilihan selesai. Tidak ada lagi mereka perannya. Dalam sistem demokrasi keterwakilan, di manapaun mereka yang mendapatkan mandat sebagai wakil rakyat, dan dapat mengataskan namakan rakyat, tidak pernah mereka benar-benar mengabdi kepada rakyat. Mereka mengabdi kepada kekuasaan.
Dalam kontek sekarang ini di Indonesia, bagaimana rakyat dihabisi oleh kekuatan”koalisi” partai-partai politik, yang tergabung dalam Setgab yang menjadi pilar kekuasaan. Mereka menjadi pendukung kekuasaan tanpa reserve. Mereka mendukung kebijakan pemerintah, betapapun kebijakan itu sangat menyakitkan bagi rakyat.
Mengapa sesudah Soeharto lengser, tak juga berubah nasib dan kehidupan rakyat? Justeru nasib rakyat semakin terpuruk. Karena para pemimpin partai dan partai politik, termasuk mereka yang menjadi wakil rakyat (DPR) bukan menjadi wakil rakyat. Tetapi, mereka semuanya hanyalah mengabdi kepada para penguasa.
Para pemimpn partai politik memanipulasi rakyat, dan membiarkan rakyat dengan nasibnya sendiri. Dalam setiap peristiwa politik, yang manapun, tak nampak adanya keberpihakan mereka terhadap nasib rakyat.
Lalu, apa maknanya rakyat berbondong-bondong ke kotak suara,dan memilih wakil rakyat, dab para pemimpin negeri ini? Kalau kemudian yang mereka pilih itu, hanyalah para pengkhianat. Mereka bersekongkol menghancurkan rakyat. Seperti sekarang ini. Rakyat dibiarkan menderita sendiri.
Sekalipun mereka dengan cara-cara masing-masing terus berusaha menipu rakyat dengan berbagai adegan, yang sangat menjijikkan. Mendatangi para buruh, kuli, pedagang kaki lima, rumah-rumah kumuh, naik kereta api, dan berlagak empati kepada rakyat, tapi semuanya hanyalah sandiwira yang sangat menipu. Tak ada yang sungguh-sungguh dan jujur.
Lihat saja kalau mereka berkuasa, mereka pasti mendahulukan “perut” mereka terlebih dahulu. Atau memuaskan mereka yang telah berjasa, terutama para pemilik modal. Mereka yang lebih dahulu mendapatkan ganjaran dari para penguasa baru itu. Bukan rakyat. Rakyat hanyalah kebagian janji-janji di pemilu. Sesudah tidak ada lagi.
Para penguasa sesudah mereka dilantik menjadi penguasa, ucapan pertama yang lakukan mengucapkan, "Selamat tinggal rakyat". Sejatinya rakyat hanya menjadi komoditas politik, para pemimpin partai politik, yang kemudian dijual kepada para penguasa yang zalim, yang tidak pernah berpihak kepada rakyat. Wallahu’alam.
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!