Jum'at, 21 Jumadil Awwal 1446 H / 20 Januari 2023 20:25 wib
8.525 views
Skandal Menantu-Mertua, Bagaimana Islam Mengaturnya?
Oleh: Sunarti
"Ditepuk air didulang, terpercik ke muka sendiri" artinya menanggung malu yang teramat sangat, akibat melakukan sesuatu perbuatan sendiri. Begitu peribahasa yang tepat untuk disematkan pada peristiwa skandal mertua dan menantu yang saat ini sedang viral diberitakan di berbagai media.
Mencuat kabar perselingkuhan yang dilakukan oleh menantu kepada mertuanya, bahkan telah melakukan aktivitas hubungan badan, sangat menggemparkan publik. Peristiwa memalukan ini diunggah oleh NR dalam video pendek di akun Tik Toknya. Vidio yang berdurasi beberapa menit itu telah viral dalam beberapa waktu saja. NR mengkisahkan perselingkuhan suaminya dengan ibu kandungnya sendiri.
Banyak pihak yang menghujat atas peristiwa ini. Tak ayal publik pun gempar dengan berita perzinaan ini. Perhatian publik tak hanya sebatas perselingkuhan mereka saja. Akan tetapi merembet hingga urusan pribadi. Sudah sewajarnya jika pemberitaan media akan "melambung" dan siap dikonsumsi publik dengan berbagai sudut pandang. Masyarakat dibikin lepas kontrol dengan cara pandang masing-masing. Namun, secara garis besar pandangan masyarakat di negeri mayoritas penduduknya beragama Islam ini, tanggapan atas kasus perselingkuhan masihkah sangat tabu. Apalagi dilakukan oleh menantu dan mertua adalah hal yang tidak pantas.
Lunturnya Nilai-nilai Kesopanan
Hubungan menantu dan mertua adalah hubungan anak dan orang tua, ketika si anak telah melakukan hubungan seksual sebagai suami-istri. Jadi secara hukum (Islam) anak telah sah menjadi pasangan hidup menantunya. Hukum pada orang tua telah jatuh pula sebagai mahram.
Hubungan mahram adalah hubungan yang meng-haramkan diantaranya untuk menikah. Dalam arti keharaman pula untuk melakukan jima' (hubungan badan). Dengan demikian jelas jika diantara menantu dan mertua ada keharaman diantara mereka untuk berhubungan badan.
Sisi yang juga harus diperhatikan yaitu pelarangan zina. Dalam aturan Islam yang sudah baku, zina adalah dosa besar. Apalagi dilakukan oleh kedua orang yang sudah terikat dengan pernikahan. Hukum bagi keduanya adalah dirajam sampai mati.
Sekilas hukum ini tampak kejam. Akan tetapi jika dilihat efek ke depan, jauh lebih baik daripada sekedar hukuman manusia yang bisa jadi hanya hukuman mental, seperti dijauhi orang-orang sekitar atau dijauhi dari masyarakat. Apalagi hukuman yang diterapkan oleh negara yang tidak memberi efek jera. Lebih parah lagi jika hubungan badan dilakukan suka sama suka, maka keduanya bebas dari hukuman.
Dari semua itu jelas apabila kasus perselingkuhan maupun salah arah pelampiasan nafsu semakin menjamur. Masyarakat kebanyakan tidak paham hubungan anak, menantu maupun mertua. Bisa jadi kasus ibu NR dan suaminya adalah salah satu dari sederet kasus tak beradab lainnya.
Nilai kesopanan anak kepada orang tua, nilai adab menantu kepada mertua, nilai kasih sayang orang tua kepada anak maupun menantu telah dimaknai lain di jaman ini. Buta mata untuk melihat siapa yang diajaknya melampiaskan nafsu, buta hati pula siapa yang jadi pasangannya. Nauzubillah. Muncullah perzinaan yang seharusnya tidak terjadi.
Sementara dalam pergaulan sehari-hari tidak memiliki batas dalam berkomunikasi, bergaul hingga menjaga mata juga menjaga hati. Akhirnya, setan dan iblis yang menguasai, memberi bumbu kenikmatan atas segala tindak maksiat yang seharusnya tidak terjadi. Batas orang tua dan anak, menantu dan mertua tertabrak oleh kepuasan semata. Lupa Sang Pencipta yang setiap saat mencatat segala apa yang hambaNya lakukan.
Lantas, jika demikian apa beda manusia dengan binatang?
Sebagaimana Allah firmankan dalam Al Qur'an surat Al A'Raf ayat : 179 yang bunyinya: " ... Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai."
Tersebab manusia tidak lagi memahami batas-batas hubungan dalam sebuah keluarga (pernikahan) maka kasus yang menimpa NR akan terus berlanjut. Aturan agama mengenai pergaulan tidak tertanam dalam individu dan masyarakat. Di benak masyarakat saat ini tidak ada patokan yang jelas. Manusia hanya berpikir tentang bagaimana melampiaskan naluri seksual ini saja, tanpa berpikir kepada siapa dan bagaimana hukum yang membatasinya. Ini tersebab aturan yang diterapkan dalam negeri yang mayoritas muslim ini adalah aturan yang membebaskan individu di dalamnya berbuat sesuai haknya. Bahkan dilindungi atas nama hak asasi manusia (HAM). Inilah liberalisme sesungguhnya. Lengkaplah sudah perilaku masyarakat yang bebas sebebas-bebasnya.
Islam Solusi Tuntas
Jika saja penduduk yang mayoritas muslim ini menyadari bahwa sistem Islam memiliki adab dan kepribadian Islam, maka sudah pasti adanya penyimpangan pelampiasan nafsu bejat tidak akan terjadi. Kalaupun ada, angkanya bisa diminimalisir lantaran jerat hukum jelas-jelas akan memberikan efek jera bagi pelaku zina.
Islam memandang zina sebagai dosa besar. Jangankan untuk berzina, untuk mendekatinya saja, Allah SWT. telah memperingatkan dengan peringatan yang keras.
"Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al Isra': 32)
Demikian Al Qur'an tegas memperingatkan. Sementara bagi pelaku akan ada hukum yang tegas pula untuk efek jera.
Bagi pelaku yang belum menikah, Allah memberikan ketegasan untuk hukumannya. Sebagaimana Allah firmankan dalam Al Qur'an Surat An Nur: 2, yang artinya:
"Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama (hukum) Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian; dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang yang beriman."
Berbeda pula bagi pelaku zina yang sudah menikah akan dikenai hukum rajam, yaitu dilempari batu sampai mati. Hal ini sesuai dengan sabda nabi Muhammad Saw., diriwayatkan, saat Rasulullah SAW berada di masjid, datanglah seorang pria menghadap beliau dan melaporkan, “Ya Rasulullah, aku telah berzina.” Mendengar pengakuan itu Rasulullah Saw. berpaling dari dia sehingga pria itu mengulangi pengakuannya sampai empat kali. Kemudian Rasulullah bertanya, “Apakah engkau gila?” Pria itu menjawab, “Tidak.” Rasulullah bertanya lagi, “Apakah kamu orang muhshan?” Pria itu menjawab, “Ya.” Lalu Rasulullah Saw. memerintahkan kepada para sahabat, “Bawalah dia pergi dan rajamlah.” (HR al-Bukhari).
Hukuman yang berlaku dalam sistem Islam, selain memberikan efek jera, juga sebagai penebus dosa bagi pelaku kelak di akhirat.
Dengan demikian jelas jika diantara kedua hukum yang berlaku, yaitu sekular-kapitalis saat ini dengan Islam sangat jauh berbeda. Sekular-kapitalis cenderung membebaskan cara berpikir manusia dan dikembangkan/dituangkan dalam peraturan yang mengikat, sehingga standarnya bisa berubah-ubah sesuai dengan keinginan manusia.
Namun Islam tidak demikian. Hukum jelas bersumber dari Allah SWT. yang baku, pasti dan standarnya jelas, tidak berubah oleh tempat, waktu maupun pelaku. Hukum Allah yang bersumber dari Al Qur'an dan hadits Rasulullah Saw. Jelaslah standar perbuatan manusia adalah hukum Allah (hukum Syara'). Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!