Jum'at, 29 Jumadil Akhir 1446 H / 19 Maret 2021 09:30 wib
6.097 views
Choose to Challenge Perkawinan Anak, Solutifkah?
Oleh: Fatimah Azzahra, S. Pd
"Choose to Challenge” menjadi tema besar Hari Perempuan Internasional tahun ini. “Memilih untuk Menantang” kaum perempuan untuk mau bicara terbuka, mengungkapkan bias dan ketidaksetaraan gender yang masih ada. Pada kesempatan kali ini isu yang diaruskan salah satunya adalah menghentikan perkawinan anak.
Fakta di lapangan mencatat ada enam puluh empat ribu anak perempuan Indonesia di bawah umur dikawinkan pada masa pandemi lalu. Mereka tidak diberi pilihan (voaindonesia.com, 10/3/2021). Fenomena ini dianggap sebagai salah satu bentuk penindasan dan pengambilan hak bagi anak oleh para aktivis feminis.
Korban Kawin Anak
Rasminah, seorang wanita pelaku kawin anak, menceritakan bahwa ayahnya lumpuh sejak kecil. Keluarganya miskin. Saat menginjak usia 13 tahun, ia diminta untuk menikah saja. Karena orangtuanya tak punya biaya untuk menyekolahkannya. Sayang, dua tahun pernikahannya sang suami hilang entah ke mana. "Mungkin karena saya ga bisa ngurus suami dan anak. Kan saya masih kecil. Masih seneng main sama teman-teman. Suami dan anak diurusin ibu saya," begitu ungkapnya.
Rasminah dijadikan sosok korban pahitnya kawin anak. Penyesalan demi penyesalan dilontarkan. Lebih baik sekolah dulu tinggi-tinggi, dapat pekerjaan yang layak, baru memikirkan tentang menikah.
Para aktivis menyuarakan bahwa perkawinan anak ini sangat membahayakan, sehingga harus dihentikan sampai ke akarnya. Membongkar tafsir agama, adat, juga masalah struktural seperti kemiskinan agar dihasilkan satu suara yang sama, mendorong anak untuk sekolah dan bekerja sampai usia dewasa, bukan menikah.
Apalagi anak-anak dianggap belum siap secara mental dan psikologis dalam menjalankan perannya sebagai istri, ibu, menantu. Sebagaimana yang disuarakan pakar psikolog bahwa remaja masa-masanya labil, jiwa pemberontak dan ingin berpetualang. Semakinlah menguatkan citra bahwa pernikahan dini merupakan salah satu pelanggaran bagi hak anak.
Waspada Jebakan Feminis Liberal
Sebagai muslim, tentu kita harus menggunakan islam sebagai standar dalam berpikir, menilai sesuatu dan juga beraktivitas. Islam memandang perkawinan sebagai ikatan suci yang menggetarkan Arsy Allah.
Islam memandang pernikahan sebagai jalan mulia dalam melangsungkan kelestarian kehidupan manusia di bumi ini. Islam pun mengatur hak dan kewajiban suami istri dalam berumah tangga. Suami memang diberikan peran sebagai qawwam, karena ia akan dimintai pertanggungjawaban yang berat di hari penghisaban kelak. Tapi, dalam bergaul dengan istri dan anak-anaknya, suami dianjurkan untuk berbuat ma'ruf, sebagaimana Rasul berbuat ma'ruf kepada istri dan keluarganya.
Pemikiran yang memusuhi pernikahan dini atau kini bahasanya menjadi perkawinan anak harus kita waspadai. Karena secara tidak langsung justru menyerang agama ini. Islam tidak melarang pernikahan dini. Apalagi dalam sirah diceritakan bahwa Rasul menikahi Aisyah binti Abu Bakar saat ia berusia 9 tahun. Umur yang masih sangat belia bukan?
Tapi, di umurnya yang belia itu, ia sukses dididik menjalani perannya sebagai istri dan ummul mukminin. Tak hanya itu, ia pun dikenal dengan kecerdasannya. Ia bisa memahami hadits-hadits Rasulullah SAW, mengingatnya, dan kemudian meriwayatkannya.
Inilah potret keberhasilan pendidikan dalam Islam. Baik pendidikan dalam rumah tangga atau pendidikan secara umum. Laki-laki disiapkan menjadi qawwam yang baik bagi istri dan anaknya. Perempuan disiapkan menjadi istri, dan ibu bagi anaknya.
Akhirnya...
Sejatinya pelarangan pernikahan dini adalah bentuk kegagalan sistem kapitalisme sekulerisme dalam mencetak manusia yang bisa menjalani perannya. Baik peran dalam keluarga, masyarakat, bahkan bernegara.
Mari beralih pada sistem yang shohih, yang Allah ridhoi dan berkahi, yakni sistem Islam kaffah. Wallahu'alam bish shawab. (rf/voa-islam.com)
ILustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!