Kamis, 23 Jumadil Awwal 1446 H / 21 Maret 2019 10:18 wib
4.481 views
Ilusi Kesetaraan Gender
KINI, perempuan banyak menjadi sorotan dunia. Bahkan memiliki satu hari khusus/spesial yang terimplementasi dalam Peringatan Internasional women's Day (Hari Perempuan Internasional) yang jatuh pada 8 Maret. Dalam situs resminya, tema "Balance For Better" sengaja diambil ditahun ini untuk mengusung kembali kesetaraan gender, memastikan keadilan dan keseimbangan dalam berbagai aspek kehidupan, serta menggapai kesadaran yang lebih besar terhadap adanya diskriminasi.
Tidak main-main, kemasifan kaum feminis mengkampanyekan program ini akhirnya sampai pada satu titik bernama keberhasilan. Bahkan mendapat dukungan penuh baik negeri-negeri Barat maupun muslim termasuk Indonesia.
Dilansir oleh Kumparan (8/3), keberhasilan tersebut sudah terealisir dalam rentetan Undang-Undang yang mengatur kasus pelecehan dan kekerasan rumah tangga, kebebasan berkarya/berekspresi, keterlibatan perempuan dalam dunia kerja hingga perpolitikan negara. Tak jarang pula, perempuan turut menempati jabatan strategis pemerintahan.
Sekilas, semua pencapaian tersebut tampak menguntungkan kaum perempuan. Bayangkan, ditengah tekanan ekonomi sekarang ini, juga godaan role mode hedonis yang sering dipertontonkan, perempuan mana yang tidak tergiur mencicipi hasil kesetaraan gender yang diusung oleh kaum feminis. Yang dengan itu, mereka berharap tak lagi dianggap kaum rendahan dan termarjinalkan dari kehidupan publik.
Padahal, banyak sekali hal yang patut dikoreksi dari gempuran opini menyesatkan ini, karena sejatinya perjuangan atas pemberdayaan perempuan tak benar-benar terjadi, alias ilusi. Nilai guna mereka tak lebih dari sekedar materi demi mengokohkan hegemoni kapitalisme. Dimana untuk mencapai target ini, perempuan banyak dimanfaatkan sebagai penggerak roda industri berharga murah sekaligus target pasar produksi.
Jika dirunut kembali, permasalahan ini bermula dari bercokolnya hegemoni Barat di negeri-negeri muslim akibat melemahnya kekuatan dan pemahaman mereka. Bahkan perlahan, dominasi syari'at dan hukum Islam bergeser ke ranah privat dan hanya diminati oleh minoritas umat. Akibatnya, isu yang menghendaki hancurnya batas-batas pembeda antara laki-laki dan perempuan dalam peranannya di masyarakat laris manis dijajakan oleh para aktivis feminis.
Tidak seperti kapitalisme yang hanya memperdaya, Islam justru memberikan definisi pemberdayaan yang mampu mengangkat derajat perempuan secara riil. Aplikasinya pun sesuai dengan fitrah mereka, yakni sebagai ummu wa rabbatul bayt dan ummu ayjal (ibu generasi).
Kedua peran utama tersebut sangatlah penting mengingat pemenuhannya menjadi tolok ukur keberhasilan dalam membangun dan mengokohkan peradaban Islam yang berjalan di atas petunjuk Al Qur'an dan As Sunnah.
Disamping itu, Islam juga menetapkan kesejajaran derajat antara laki dan perempuan. Hanya saja bukan pada bentuk fungsi dan peran, melainkan pada ketaatan keduanya terhadap aturan Allah. Dan ketaatan ini hanya bisa optimal apabila syariah diterapkan dalam kehidupan secara Kaffah dalam institusi daulah. Yang dengan itu, kesejahteraan berikut penjagaan atas individu benar-benar terjamin. Sehingga umat, khususnya perempuan tidak akan tergiur mengejar materi dan prestice berbau duniawi.
Oleh karenanya, selain ranah domestik, perempuan juga wajib terlibat dalam ranah publik yang terealisir dalam dakwah untuk mencerdaskan umat. Menyadarkan mereka akan urgensitas penegakan Islam kaffah. Termasuk didalamnya muhasabah atas kebijakan penguasa yang dzalim.*Maya A, tinggal di Gresik, Jawa Timur
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!