Rabu, 23 Jumadil Awwal 1446 H / 30 Januari 2019 09:20 wib
16.105 views
Ada Apa dengan RUU PKS?
Oleh:
Ifa Mufida, praktisi kesehatan dan pemerhati masalah sosial
PERMASALAHAN seksual di tengah masyarakat ternyata selalu menjadi topik panas untuk dibicarakan. Banyak polemik yang menjadikan sikap pro dan kontra terjadi di masyarakat. Saya ambil contoh permasalahan pernikahan pada remaja, masalah poligami yang dilihat menyiksa perempuan padahal adalah bagian dari syariat Islam, masalah prostitusi di kalangan artis ataupun di karpet rumput yang menjamur, dan masih banyak lagi. Di awal tahun ini pun terjadi pro dan kontra perihal penggodokan RUU P-KS (RUU Penghapusan Kekerasan Seksual).
Draf RUU ini dipelopori oleh Komnas Perempuan sejak 2016. Sedang di tahun 2018, RUU ini masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2018. Draf RUU yang diserahkan Komnas Perempuan kepada DPR dan telah memasukkan berbagai bentuk kekerasan seksual, termasuk secara verbal. Dorongan pengesahan ini, karena menurut catatan komnas Perempuan bahwa tindak kekerasan pada perempuan terus meningkat di beberapa dekade terakhir, seperti contohnya kasus Baiq Nuril. Pun juga berdasar laporan dari KPAI bahwa tindakan pelecehan seksual kepada anak juga meningkat.
Namun, adanya tindak kekerasan seksual ini tidak bisa menjerat pelaku kekerasan seksual karena tidak ada payung hukum yang memadai. Hal ini dikarenakan payung hukum yang saat ini ada hanyalah berupa KUHP yang pastinya kekuatan hukumnya dibawah UU. Maka mereka menganggap bahwa pengesahan RUU P-KS menjadi UU menjadi perihal yang mendesak untuk dilakukan, terlebih di tahun politik dimana akan ada pergantian anggota DPR yang baru.
Perlunya UU yang mengatur dan bisa menghukum tindak kekerasan seksual nampaknya merupakan hal yang indah di mata. Namun, perlu diketahui bahwa setelah dikaji lebih dalam ternyata RUU ini hanya mempermasalahkan kasus yang di dalam tindak seksualnya ada unsur pemaksaan. Namun ketika tidak ada pemaksaan, maka hal tersebut dianggap bukan sebuah kejahatan atau pelanggaran terhadap peraturan.Sebagaimana yang disampaikan Dr. Sabriati Azis Ketua Bidang Jaringan AILA (Aliansi Cinta Keluarga), kata kunci dari definisi atau konsep kekerasan seksual dalam RUU Penghapusan KS (Kekerasan Seksual) itu adalah adanya paksaan dan tidak adanya upaya persetujuan dari seseorang. Bukan pada baik atau buruknya perilaku seksual tersebut ditinjau dari kesehatan, nilai-nilai agama, sosial, dan budaya Indonesia. Maka, jika seseorang melakukan zina suka sama suka, atau suami mensodomi istrinya dan istrinya senang-senang aja, itu bukan kekerasan seksual (menurut RUU itu).
Selain itu, perzinaan dan perilaku LGBT serta penyimpangan seksual lainnya (sodomi, nudity/telanjang, dan lain-lain) dalam RUU itu tidak dianggap sebagai bentuk kekerasan seksual jika tidak ada unsur paksaan walaupun perilaku seksual tersebut bertentangan dengan moralitas dan agama. RUU ini, juga berpotensi melegalkan prostitusi dan aborsi. Menurut konsep kekerasan seksual, ‘pemaksaan prostitusi’ dan ‘pemaksaan aborsi’ termasuk kekerasan seksual.
Jika ditafsirkan secara kebalikan, maka secara hukum perbuatan prostitusi dan aborsi dilegalkan apabila dilakukan atas kesadaran sendiri. Lebih dari itu, di dalam tataran keluarga, seorang ibu yang mengatur cara berpakaian anak perempuan juga harus berhati-hati. Jika anak perempuan tadi enggan memakai jilbab dan khimar sebagaimana ibunya memerintahkan maka dalam RUU ini juga dianggap sebagai bentuk kekerasan seksual.
Selain AILA, MUI juga mengawal agar DPR melakukan peninjauan ulang draf RUU P-KS yang diusulkan oleh Komnas Perempuan. AILA mengapresiasi kesigapan DPR dan pemerintah dalam upaya merespon darurat kejahatan seksual yang terjadi di masyarakat. Namun AILA menyarankan RUU P-KS juga dapat dikaji secara mendalam dan dengan penuh kehati-hatian. Hal ini disebabkan ditemukan sejumlah ketidakcocokan dan ketidakjelasan makna maupun tujuan dari sejumlah pasal yang ada dalam RUU P-KS. Oleh karena itu, AILA meminta agar RUU P-KS diubah menjadi RUU Penghapusan Kejahatan Seksual atau RUU Penghapusan Kejahatan Kesusilaan. Demikian solusi yang ditawarkan oleh AILA.
Meski beberapa fihak sudah menghimbau adanya kejanggalan draf RUU ini nyatanya banyak kalangan perempuan Indonesia justru mendukung Komnas Perempuan dan terus mendesak pengesahan RUU ini tahun ini.Sebagaimana diberitakan di berbagai media massa tanggal 8 Januari kemaren, sekelompok masyarakat dari berbagai golongan melakukan pawai akbar di Jakarta.
Dalam pawai tersebut, mereka mendorong pemerintah agar segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS). Selain pawai, desakan pengesahan RUU P-KS juga dilakukan melalui media sosial. Di Twitter, #sahkanruupks sempat menjadi kiriman terpopuler. Demikianlah, pro kontra tentang RUU P-KS saat ini semakin memanas, dan patut kiranya menjadi perhatian kaum muslim muslimah agar kita bisa bersikap yang benar terhadap polemik tersebut.
Kalau kita amati di sini, terjadinya polemik tentang permasalahan seksual dan solusi yang ditawarkan memang masih tambal sulam. Solusi yang tambal sulam ini pun nyata akhirnya bukannya menyelesaikan permasalahan, justru menuai konflik demi konflik. Hal ini terjadi karena sistem yang mangatur tata kehidupan kita, di Indonesia khususnya membolehkan bahkan seolah menjadikan tuntutan agar masing-masing kepala berfikir untuk mencari solusi terhadap setiap permasalahan yang terjadi. Padahal manusia sejatinya adalah manusia yang serba terbatas, harusnya menyerahkan segala pengaturan permasalahan ini kepada aturan Zat Yang Menciptakan Manusia, yakni Allah SWT. Karena, hanya Allah SWT lah yang tahu apa-apa yang sesuai dengan makhluk-Nya termasuk kita sebagai manusia.
Kalau kita amati tentang terjadinya kekerasan seksual di masyarakat, terjadi karena masyarakat kita saat ini hidup di dalam sebuah kehidupan yang liberal (bebas). Naluri seksual akan bisa terjaga fitrahnya jika tidak ada faktor yang merangsang kemunculannya. Namun faktanya dalam kehidupan kita, senantiasa disuguhi dengan pornografi dan pornoaksi, dan ini dilegalkan oleh negara. Betapa banyaknya perempuan yang mengumbar tubuh seksinya, bahkan dalam tataran keluarga pun mereka tidak memiliki pengaturan pergaulan dengan anggota keluarga yang lain sehingga sering kita temui justru yang melakukan tindakan kekerasan seksual adalah keluarga terdekat mereka.
Faktor pemikiran materialistik pun menjadi momok yang menjijikkan di tengah masyarakat. Bagaimana masyarakat memandang materi adalah puncak dari kebahagiaan, sehingga beberapa kalangan menganggap prostitusi suka sama suka dengan bayaran puluhan juta bahkan ratusan juta adalah hal yang patut dibanggakan. Sebaliknya, kehidupan suami dan istri dalam lingkup keluarga justru dianggap sebagai perbudakan kepada perempuan, na’udzubillahi min dzalik. Semua ini adalah buah dari sistem sekulerisme yang melingkupi kehidupan kita. Selama agama tidak diperbolehkan mengatur tata kehidupan manusia, maka bisa dipastikan konflik demi konflik pun tidak akan pernah diselesaikan.
Menurut saya solusi terhadap kekerasan seksual tidak bisa diakhiri dengan RUU-PKS, karena nyatanya RUU ini justru menyebabkan legalnya dosa yang lebih besar yakni melanggengkan seks bebas, LGBT, prostitusi bahkan aborsi. Masalah kekerasan seksual juga tidak bisa dituntaskan dengan mengganti RUU P-KS dengan RUU Penghapusan Kejahatan Seksual atau RUU Penghapusan Kejahatan Kesusilaan. Sebab jika tata kehidupan di masyarakat tetap sekuler-liberal maka kejahatan seksual pun akan terus menjamur di masyarakat. Satu-satunya solusi yang harus kita ambil adalah bagaimana syariat Allah SWT bisa diterapkan, baik di dalam tataran individu, keluarga, masyarakat dan pastinya negara.
Adanya ketaqwaan individu dengan aqidah yang benar akan mengantarkan seseorang untuk senantiasa terikat dengan hukum syariat. Dorongan aqidah inilah yang akan menjadikan seseorang berupaya untuk melaksanakan perintah Allah dalam hal pergaulan seperti perintah menundukkan pandangan, menutup aurat, larangan tabarruj untuk perempuan, menerima syariat poligami, menjadi istri yang taat kepada suami, dst.
Dalam tataran keluarga, syariat Islam mengatur tentang aurat wanita dan laki-laki di dalam rumah, mengatur pemisahan tempat tidur bagi anak sejak usia 7 tahun, mengatur kewajiban seorang ayah untuk menjaga istri dan anak-anaknya agar mereka mau menutup aurat secara sempurna, mengatur kewajiban bekerja bagi laki-laki dan ibu sebagai al-umm wa robatul bait. Potret keluarga yang seperti ini lah yang bisa menjadi benteng penjagaan dari pelecehan seksual ataupun kekerasan seksual.
Namun demikian, penjagaan keluarga tidaklah cukup jika tidak didukung oleh masyarakat yang islami. Masyarakat memiliki corak yang khas dilihat dari pemikiran, perasaan dan tata aturan apa yang digunakan dalam masyarakat tersebut. Maka jika saat ini, corak masyarakat kita adalah sekuler liberalisme, dan terbukti corak ini menimbulkan berbagai permasalahan dan kerusakan. Maka sudah sepatutnyalah corak ini diganti.
Masyarakat Islam terwujud jika pemikiran, perasaan dan peraturan yang ada di masyarakat adalah islam. Hal ini lah yang akan menjadi kontrol terhadap kemaksiatan yang terjadi di tengah masyarakat. Masyarakat sekuler senantiasa menyerahkan permasalahan kepada HAM, sehingga mereka seolah cuek dengan kondisi kerusakan yang ada termasuk adanya pelecehan seks ataupun seks bebas. Namun masyarakat yang Islami akan senantiasa mengingatkan untuk taat kepada aturan Allah termasuk menghindarkan diri dari perbuatan keji yakni perzina-an, baik suka sama suka atau karena paksaan.
Penjagaan yang tuntas adalah penerapan syariat oleh negara, karena negara lah yang berhak menghukum adanya tindakan kriminal di tengah masyarakat. Penerapan hudud oleh negara, misal penerapan rajam ataupun hukum cambuk untuk pezina akan memberikan efek yang luar biasa bagi masyarakat ataupun pezina itu sendiri. Bagi pezina, hudud yang diberlakukan oleh negara akan menjadi penghapus dosa zina nya sehingga tidak akan lagi dihukum oleh Allah SWT di akhirat.
Sedang bagi masyarakat adanya hudud ini akan memberikan pelajaran yang nyata sehingga masyarakat akan benar-benar berusaha menghindari tindak kriminal zina ini. Bagi seseorang yang mendapatkan pelecehan seksual karena terpaksa maka negara akan menjamin kehidupannya secara nyata, karena dia adalah korban yang harus dimuliakan. Sedangkan perilaku pelecahan tersebut akan mendapatkan hukuman yang sangat setimpal, tidak seperti saat ini yang justru mereka bisa dengan mudah membebaskan diri terlebih maraknya politik uang dalam hukum kita saat ini.
Negara juga menerapkan sistem pendidikan dan pergaulan sesuai dengan Islam. Menjamin informasi bersih dari pornografi dan pornoaksi. Menjamin pengaturan ekonomi untuk masyarakat, serta menjamin kewajiban suami sebagai kepala keluarga bisa terpenuhi dengan menyediakan pekerjaan yang layak bagi mereka. Inilah solusi tuntas kekerasan seksual. Maka sampai kapan lagi kita mau diatur dengan hukum jahiliah ini yang nyata kerusakan nya? Marilah kita bergegas kembali kepada pangkuan Islam secara kaffah. Insya Allah kehidupan ini akan berkah. Aamiin.*
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!