Kamis, 27 Jumadil Akhir 1446 H / 21 Juli 2016 12:32 wib
9.292 views
Menelaah Kasus Hadits Wanita Kurang Akal dan Agama
Oleh: Zaqy Zafa (Peneliti Pemikiran Islam)
Untuk menyebarkan paham feminisme dan keseteraan gender, kaum feminis-liberal seringkali menggunakan justifikasi (dalil) dengan beberapa ayat Al-Quran atau Hadits untuk membuktikan bahwa pemahaman bias gender dan perendahan terhadap kaum perempuan telah diajarkan oleh dua sumber utama ajaran Islam sendiri. Salah satu argumen yang paling sering mereka pakai adalah Sabda Rasulullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallama riwayat Abu Said al-Khudlri bahwa perempuan itu kurang akal dan agamanya.
Riwayat ini bermula ketika Rasulullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallama keluar pada hari raya Idul Fithri atau Idul Adha ke masjid, lalu beliau bertemu dengan beberapa wanita. Beliau lalu bersabda, “Wahai para wanita. Aku tidak pernah melihat wanita yang kurang akal dan agamanya yang lebih mampu menaklukkan hati laki-laki yang teguh hatinya daripada seorang dari kalian.” Para wanita lalu bertanya, “Apa kekurangan agama dan akal kami, wahai Rasulullah?” Rasulullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallama balik bertanya, “Bukankah persaksian satu wanita sepadan dengan setengah persaksian satu laki-laki?” Para wanita menjawab, “Iya.”
Lalu Rasulullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallama bersabda, “Itulah kurangnya akal kalian. Bukankah jika wanita haid ia tidak boleh shalat dan puasa?” Para wanita menjawab, “Iya.” Beliau bersabda, “Itulah kurangnya agama kalian.” (HR. Bukhari-Muslim)
Hadits diatas seringkali disalah tafsirkan oleh beberapa kelompok sebagai “Tameng Syari’ah” untuk melegalkan berbagai adat dan tradisi yang mendiskriminasi peran perempuan. Di lain pihak, Hadits ini juga menjadi dalil kaum feminis-radikal untuk menyuarakan “jihad” melawan dominasi laki-laki dan memperjuangkan emansipasi perempuan dari belenggu tradisi golongan Islam “konservatif” dan “puritan”. Digunakan pula oleh para ilmuwan Barat-sekuler untuk meruntuhkan ajaran Islam dan mempromosikan kebebasan wanita di Barat.
Untuk menghindar dari penafsiran yang salah terhadap Hadits diatas perlu ditelaah lebih lanjut tentang teks dan konteks Hadits tersebut.
Pertama, di sebagian Hadits lain khususnya dari riwayat Ibn Abbas, terdapat bukti kuat bahwa yang dimaksud adalah bahwa beberapa sifat khusus menjadi penyebab wanita menjadi ahli neraka terbanyak, bukan karena gender mereka adalah wanita. Penyebab tersebut seperti disebutkan dalam hadits adalah karena “wanita mengingkari pergaulan baik suaminya”, yakni ketika si suami selalu berbuat baik kepada istrinya lalu ia melakukan kesalahan sekali saja, maka si istri mencap suaminya tidak pernah berbuat baik sama sekali. Hal ini menjadikannya – karena terburu nafsu, dangkal dalam berpikir – berani berkata kepada suaminya, “Aku tidak pernah melihatmu baik sama sekali.” (HR. Bukhari, Muslim, al-Nasai, Malik)
Dari sini terlihat bahwa kaum feminis salah ketika mengatakan bahwa Hadits Ibn Abbas tersebut mendiskriminasi dan melecehkan wanita, karena Hadits diatas menghukumi wanita sebagai ahli neraka terbanyak bukan karena gender mereka adalah wanita, namun karena perilaku yang mereka lakukan. Jika wanita tidak melakukannya, maka penyebabnya masuk neraka pun hilang.
Demikian pula, Hadits Wanita Kurang Akal dan Agama riwayat Abu Said al-Khudlri diatas juga menceritakan kekurangan tertentu seorang wanita, bukan menghukumi bahwa gender wanita ashlul khilqah-nya adalah kurang seperti pemahaman kaum feminis-liberal. Rasulullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallama sendiri menjelaskan bahwa wanita kurang akalnya karena persaksiannya setengah persaksian laki-laki, bukan yang lain. Wanita kurang agamanya karena ketika haid mereka tidak shalat dan puasa, bukan karena alasan yang lain. Rasulullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallama tidak pernah mengatakan wanita adalah makhluk yang kurang akal dan agamanya dalam segala hal seperti dipahami kaum feminis-liberal. Mereka sangat gegabah dalam memahami Hadits-hadits Nabi, dan mungkin hal ini didorong oleh semangat mereka meruntuhkan otoritas Hadits sebagai sumber ajaran Islam, atau karena kenangan pahit mereka dengan ajaran Gereja Abad Pertengahan yang memang memandang rendah perempuan.
Kedua, jika ditelaah lebih lanjut lagi, pernyataan Rasulullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallama dan konteks ketika beliau bersabda tersebut tidak menunjukkan pelecehan terhadap perempuan tapi justru memuji mereka. Bagaimana Rasulullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallama menjadikan hari raya ‘Id – yang disebut dalam Hadits – sebagai hari bahagia bagi semua perempuan sampai anak kecil, wanita haid, dan wanita nifas. Dalam suasana bahagia itu, sangat aneh jika sabda Rasulullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallama tentang wanita kurang akal dan agamanya diatas merupakan opini buruk terhadap mereka. Sangatlah bodoh dan tidak beretika jika ada seseorang menjelek-jelekkan orang lain dalam suasana bahagia seperti itu, dan Rasulullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallama tidak mungkin bertindak bodoh.
Ketiga, pernyataan Rasulullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallama bahwa wanita kurang akal sebenarnya dimaksudkan bahwa perasaan dan kasih sayang lebih mendominasi diri perempuan. Jika yang dimaksud dominasi perasaan adalah perasaan wanita mengungguli perhitungan logis murni, maka boleh dikatakan bahwa bagi wanita perasaan mengalahkan perhitungan akalnya. Sebaliknya, bagi laki-laki perhitungan akal mengalahkan perasaannya. Uniknya, Rasulullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallama mengakui kekurangannya itu menjadi senjata ampuh kaum hawa yang mampu menundukkan laki-laki yang paling teguh hati dan pikiran sekalipun! Kekurangan wanita malah menjadi kelebihannya.
Namun demikian, dominasi perasaan wanita ini tidak berarti menjadikan akalnya lebih rendah dari laki-laki. Kedudukan akal keduanya adalah sama dan memiliki potensi untuk sama-sama berkembang dan mencapai kebenaran dipandu wahyu. Akal adalah anugerah Allah Ta’ala, dan tidak ada satu orang yang kemampuan akalnya sama persis dengan orang lain. Hal ini tidak dipengaruhi kondisi gender mereka apakah sebagai laki-laki ataupun perempuan. Kedudukan akal manusia dalam tuntutan mengamalkan ajaran agama antara laki-laki dan perempuan adalah setara.
Keempat, pernyataan Rasulullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallama bahwa wanita kurang agamanya justru merupakan anugerah bagi mereka, karena para wanita mendapatkan kemurahan dalam melaksanakan ajaran agama dibandingkan laki-laki. Kaum feminis yang tidak mau mengakuinya dan malah menuntut kesetaraan pelaksanaan ajaran agama secara formal antara laki-laki dan perempuan, dapat dikatakan tidak tahu terima kasih dan justru mencari-cari masalah sendiri. Bayangkan saja, ketika para wanita menuntut kebebasan bekerja untuk mencari nafkah padahal ia memiliki tugas domestik menjaga harta dan mendidik anak, bukannya hal itu akan menyusahkan mereka sendiri?
Demikian sedikit pemaparan dalam masalah ini. Semoga kita selalu diberi Allah Ta’ala nikmat berupa pemahaman yang benar dan ghirah yang kuat terhadap Islam. WaLlahu A’lam. [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!