Jum'at, 25 Jumadil Awwal 1446 H / 5 Juni 2015 10:19 wib
27.801 views
Kisah Mualaf Jane, Gadis Filipina yang Terinspirasi Muslimah Berniqab
Artikel Kisah Nyata Mualaf:
Namaku Jane dan nama Islamku Iman. Usiaku sekarang 21 tahun, itu artinya sudah dua tahun ini aku memeluk Islam.
Sebelum mengenal Islam, aku dibesarkan dalam lingkungan Kristen oleh orangtua bersama dengan saudara-saudaraku lainnya. Kami rajin mengikuti misa di gereja setiap hari Minggu. Mereka juga selalu mendorong dan mendukungku untuk mendalami agama Kristen baik ketika masih sekolah maupun kuliah. Aku belajar banyak tentang agama Kristen. Tapi ada beberapa hal yang menganggu benakku. Ketika kutanyakan hal ini baik pada orang tuaku maupun profesor teologi Kristen, aku tak mendapatkan jawaban memuaskan.
Aku pun memendam pertanyaan ini sendiri. Kebingungan ini semakin nyata saat aku berada dalam gereja dan berdoa. Rasanya ada sesuatu yang salah tapi apa? Aku bingung. Aku bertekad untuk menemukan jawaban dari kebingunganku ini.
Satu hari aku bertemu dengan seorang Muslimah yang memakai niqab. Ia sedang membeli buku. Tanpa sengaja kami bertatap mata. Saat itu, aku merasa bahwa dia adalah perempuan paling cantik yang pernah kutemui seumur hidup. Saat itu aku tidak tahu bahwa orang yang berpakaian seperti itu adalah muslim. Aku bahkan sempat menyebutnya Ninja. Sesampainya di rumah, aku menanyakan perihal tentang sosok yang baru saja kutemui pada bibiku, sepupuku, bahkan teman-temanku. Aku ingin tahu siapakah mereka ini yang memakai penutup muka. Mengapa mereka menyembunyikan wajahnya? Tapi tak ada satu pun yang bisa menjawab pertanyaanku.
...Saat itu usiaku 18 tahun. Setelah peristiwa bertemu dengan perempuan berniqab, aku mengunjungi Islamic Center....
Saat itu usiaku 18 tahun. Setelah peristiwa bertemu dengan perempuan berniqab, aku mengunjungi Islamic Center. Aku betul-betul tidak tahu apa itu Islam dan Muslim. Aku hanya mengetahuinya dari media yang mengatakan bahwa mereka adalah teroris. Keluargaku percaya akan hal ini tapi aku tidak. Aku mengabaikannya karena aku tak ingin menghakimi seseorang hanya karena agamanya.
Aku pun mulai belajar agama lain. Aku tak berhenti mencari jawab atas pertanyaan besar dalam hidupku. Orang-orang di sekelilingku terutama orang tuaku merasa terganggu dengan sikapku ini. Duh...rasanya tak ada satu pun yang bisa memahamiku.
Setahun kemudian aku mengunjungi satu wilayah yang 60% masyarakatnya muslim. Sayangnya, aku tak pernah punya kesempatan berinteraksi dengan mereka. Bisa jadi karena aku pemalu atau sikapku yang tak ramah pada mereka. Satu hari, kami sekeluarga menghadiri misa di gereja pukul 6 sore.
Aku masih ingat saat itu tanggal 2 November. Aku berdiri di salah satu sudut gereja dan tiba-tiba saja aku mendengar azan. Itu adalah suara azan pertama yang kudengar dalam hidup dan rasanya begitu luar biasa. Aku merasa suara itu seperti memanggilku dan aku pun ingin memenuhi panggilannya. Aku tak menyadari saat misa selesai dan pandanganku tetap mengarah ke atas, fokus pada azan di kejauhan. Itulah perasaan terindah yang pernah kumiliki.
Ketika kembali ke rumah, aku mulai rajin belajar tentang Islam. Saat itulah aku memutuskan mengucap syahadat sebagai pintu gerbang menjadi muslim, sendiri di dalam kamar. Alhamdulillah internet memudahkanku untuk bertemu banyak saudara muslim di luar sana. Internet juga membantuku belajar salat melalui web-web Islam yang kuakses. Awalnya aku hanya melihat di internet bagaimana cara orang salat. Lalu aku pun mempraktekkannya. Siapa nyana dalam salat pertamaku, airmataku terus bercucuran mengetahui kenyataan bahwa aku bisa melafalkan bacaan salat tanpa kesulitan.
...Alhamdulillah, dengan salat dan membaca Quran aku tak lagi merasa sendirian. Setiap keresahan hatiku, Quran selalu punya jawabannya...
Momen tersebut membawa perubahan drastis dalam hidupku. Aku menghentikan semua aktivitasku yang buruk yang ternyata dalam Islam pun dilarang. Aku tak lagi nongkrong hingga larut malam dengan teman-teman, merokok dan miras pun berhenti.
Orang-orang menyangka aku jadi gila. Apalagi ketika aku salat dan mereka melihatnya, mereka mentertawakanku. Teman-teman menjauhiku karena menurutnya aku tak lagi asyik untuk diajak berteman karena tak mengikuti perbuatan maksiat mereka. Di bulan Ramadan, aku berpuasa sendirian. Saat hari raya Idul Fitri pun, aku tetap sendirian. Tapi Alhamdulillah, dengan salat dan membaca Quran aku tak lagi merasa sendirian. Setiap keresahan hatiku, Quran selalu punya jawabannya.
Hampir semua orang yang kukenal menyebutku gila dan hilang akal. Tapi aku hanya tersenyum dan mengingat apa yang dikatakan Quran tentang mereka.
“Allah menunjuki siapa pun yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus.” Dan Alhamdulillah, Allah memilihku di jalan Islam ini. (riafariana/voa-islam.com)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!