Rabu, 26 Jumadil Awwal 1446 H / 5 November 2014 13:30 wib
13.880 views
8 Srikandi di Kabinet Jokowi-JK; Mampukah Mengeluarkan Perempuan dari Keterpurukannya?
Sahabat VOA-Islam yang Shalehah…
Delapan nama perempuan dalam kabinet Jokowi, kini menjadi hangat dibicarakan. Walaupun tidak ada syarat ketentuan komposisi laki-laki dan perempuan dalam kabinet, namun jumlah ini mencetak sejarah baru Indonesia akan banyaknya keterlibatan perempuan dalam kabinet. Lantas mampukah mereka menjadikan Indonesia lebih baik? mampukah para srikandi ini mengeluarkan perempuan dari keterpurukannya?.
Di belakang pria sukses, pasti terdapat wanita yang hebat. Pribahasa ini mungkin sudah mulai dicampakan, kini wanita hebat adalah ketika dia mampu tampil di depan, sejajar dengan pria dalam hal apapun. Begitulah mindset yang ingin dibangun oleh penggiat gender. Melalui ide kebebasan dan kesetaraan gender mereka mendorong para srikandi terdidik untuk berlomba-lomba masuk dalam kabinet atau parlemen demi sebuah perubahan nasib kaumnya –perempuan.
Begitulah mindset yang ingin dibangun oleh penggiat gender. Melalui ide kebebasan dan kesetaraan gender mereka mendorong para srikandi terdidik untuk berlomba-lomba masuk dalam kabinet atau parlemen demi sebuah perubahan nasib kaumnya –perempuan.
Sebut saja Susi Pudiastuti Mentri Kelautan dan Perikanan kabinet sekarang, walaupun sosok Susi menuai pro kontra di masyarakat, baik status pendidikan yang hanya tamatan SMP, atau tato lobster dikakinya, peroko berat, bahkan sampai suaminya yang bule, turut menjadi perhatian publik. Namun dibalik sosok yang eksentrik ini, nama Susi menjadi ikon perjuangan kaum feminis. Kesuksesannya di dunia bisnis yang dirintisnya dari nol hingga Jokowi mempercayainya untuk menjadi mentri yang cukup strategis, menjadi role model yang tepat dalam hebatnya keterlibatan wanita diranah publik.
Begitupun dengan nama Yohana Yembesi, mentri perempuan pertama dari papua ini menjabat sebagai Mentri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Terpilihnya Yohana diapresiasi oleh kalangan aktivis perempuan. Yohana dinilai bisa menjadi kunci peningkatan kesejahteraan dan hak-hak perempuan di daerah timur Indonesia. Menurut Dian Kartika Sari, sekjen KPI (Koalisi Perempuan Indonesia), permasalahan Papua tidak hanya berkaitan dengan situasi konflik melainkan juga persoalan kebijakan. Kultur masyarakat Indonesia bagian timur yang masih patriakal -berpusat dan memihak pada lelaki, menjadikan peraturannya seringkali diskriminatif terhadap perempuan.
Lain lagi dengan Retno Marsudi, mentri luar negri perempuan pertama untuk Indonesia, kiprah Retno di dunia internasional cukup mengesankan, sebelum menjadi menlu Indonesia, Retno menjabat sebagai duta besar Indonesia untuk Belanda, juga menjabat sebagai Direktur Jendral Amerika dan Eropa dikementrian luar negeri dengan tugasnya mengelola hubungan Indonesia dengan 87 negara di Eropa dan Amerika.
Retno pernah menulis esai di harian Jakarta Post pada tahun 2005. Inti esainya menyebutkan bahwa publik jangan heran bila pejabat di Kementerian Luar Negeri akan semakin banyak diisi perempuan, tahun 2013 diplomat perempuan berjumlah 36 dari 70 CPNS yang diterima, artinya lebih dari 50 persennya wanita. Menurut Retno hal ini merupakan indikasi adanya peningkatan kualitas diplomat perempuan dan kesuksesan pengarusutamaan gender di kementrian luar negeri.
Begitupun kelima nama srikandi lainnya dalam kabinet Jokowi lainya; Mentri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno, Mentri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya, Mentri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani, Mentri Kesehatan Nila F Moeloek, dan Mentri Sosial Khofifah Indar Parawansa. Mereka ikut mewarnai kabinet Jokowi dengan harapan kabinet yang baru ini mampu menjadikan Indonesia lepas dari keterpurukannya. Keterlibatan delapan srikandi ini menurut Ita Fatia, aktivis perempuan yang juga ikut mendirikan komnas perempuan, merupakan angin segar bagi perubahan Indonesia lebih baik, dengan dilibatkannya perempuan secara politik untuk menjadi bagian dari gerakan perubahan.
Benarkah Keterlibatan Perempuan dalam Kabinet Mampu Menyelesaikan Keterpurukan Perempuan?
Problematika manusia semakin kompleks, tak terkecuali problematika perempuan. Keterpurukan perempuan masih menjadi PR bersama bangsa kita. Persoalan perempuan terkait kemiskinan, rendahnya akses kesehatan dan pendidikan, diskriminasi gaji pekerja perempuan, pelecehan seksual, kekerasan rumah tangga, dll menjadi momok yang melekat erat dengan kehidupan wanita Indonesia. Ide gender menghembuskan, bahwa penyebab permasalahan perempuan tersebut bertumpu pada budaya patriakal.
kemiskinan yang menjerat perempuan sehingga memaksa perempuan ikut bertarung mencari nafkah diranah publik meningkat, seiring semakin tingginya keterlibatan perempuan di parlemen
Dunia masih berpihak pada laki-laki dan mendeskriditkan perempuan. Akhirnya asumsi ini membawa pada asumsi lain, bahwa kekuasaan pemerintahan dan legislatif yang didominasi oleh laki-laki mengakibatkan banyaknya kebijakan yang tidak memihak kaum perempuan. Dari asumi tersebut lahir logika, agar persoalan perempuan dapat terselesaikan, merekapun harus diberi ruang yang besar untuk duduk di pemerintahan dan legislatif. Mereka yakin persoalan perempuan hanya bisa diselesaikan oleh perempuan itu sendiri. Semakin banyak perempuan yang duduk di kabinet atau parlemen, maka akan semakin banyak kebijakan yang pro perempuan. Dengan begitu, persoalan perempuan akan terselesaikan.
Realitas berbicara lain, di Indonesia kasus eksploitasi ekonomi perempuan atas nama TKW semakin meningkat ketika 101 orang perempuan duduk di DPR periode 2009-2014, kemiskinan yang menjerat perempuan sehingga memaksa perempuan ikut bertarung mencari nafkah diranah publik meningkat, seiring semakin tingginya keterlibatan perempuan di parlemen. Angka kematian ibu yang tinggi, tak kunjung membaik walaupun mentri kesehatan nya perempuan. Pelecehan seksual dan kekerasan rumah tangga semakin marak, padahal prosentase keterlibatan perempuan diranah politik semakin tinggi.
Bagaimana realitas di belahan dunia lain? sebut saja negara Rwanda yang memiliki 56 persen anggota parlemen nya perempuan, artinya lebih dari setengah dari anggota parlemen adalah perempuan. Ironisnya disana, 45 persen penduduknya berada dibawah kemiskinan, konflik suku terus terjadi, apalagi eksploitasi dan kekerasan terhadap perempuan terus meningkat. Begitupun di Mozambik, Tanzania dan Uganda adalah satu diantara 20 negara didunia dengan keterwakilan perempuan yang tinggi diparlemen, namun tingkat kemiskinan, penindasan, penyalahguanan hak yang mempengaruhi perempuan dalam negara negara ini berada pada tingkat yang memilukan.
Fakta diatas menunjukan pada kita, bahwa tak ada korelasi yang positif antara banyaknya perempuan yang terlibat diparlemen atau kabinet dengan kesejahteraan perempuan. Yang berkorelasi positif adalah bahwa siapapun yang mengisi kekuasaan jika berada disistem demokrasi, akan menghasilkan aturan-aturan yang menyengsarakan rakyat, tak peduli laki-laki ataupun perempuan. Mengapa demikian?
Politik dalam Sistem Demokrasi Hanya Memihak Pemilik Modal
Sistem demokrasi adalah sistem yang lahir dari rahim ideologi kapitalis yang berasaskan sekuler. Asasnya yang memisahkan agama dengan kehidupan, menjadikan akal manusialah sebagai satu-satunya sumber peraturan kehidupan. Begitupun dengan sistem politik demokrasi, hanya dimaknai dengan kekuasaan. Sehingga peran politik hanya diakui jika mereka duduk di dalam kursi kekuasaan. tentu saja hal ini membuat laki-laki dan perempuan berloma-lomba menduduki kekuasaan, agar bisa terlibat di dalam ranah politik. Namun sayangnya, secara alamiah sistem politik dalam bingkai demokrasi tidak akan pernah bisa melahirnakn kebijakan dan perudang-undangan yang pro rakyat, apalagi pro perempuan. mengapa demikian?
Allah SWT telah menetapkan secara politis, peran utama dan strategis bagi perempuan adalah sebagai ummun wa robatul bait, sebagai pencetak generasi, sehingga dari sana terlahirlah generasi yang berkualitas yang siap memimpin umat
Ongkos politik demokrasi yang terlalu mahal lah yang mengharuskan para politisi yang ingin duduk di parleman atau kabinet menggandeng pengusaha yang mempunyai modal besar. Biaya kampanye, lobi-lobi politik dan lainnya membuat pemilik modal menjadi bagian penting dalam sistem politik demokrasi. Seperti gayung bersambut, pengusaha pun membutuhkan regulasi/kebijakan yang dapat mensuport usahanya, maka terjadilah simbiosis mutualisme disana. Sudah bisa dipastikan, kebijakan-kebijakan yang lahir dari kompromi pengusaha dan penguasa bukanlah untuk kepentingan rakyat, melainkan kepentingan pemilik modal.
Dari sini bisa kita simpulkan bahwa siapapun yang menduduki kabinat, baik laki-laki ataupun perempuan sama saja, tidak berpengaruh. Selama alam politik kita masih dalam bingkai demokrasi, maka kebijakan yang dihasilkan tidak akan menyelesaikan permasalahan akut bangsa, apalagi permasalahan perempuan.
Peran Politik Perempuan dalam Islam
Dalam Islam makna politik tidak hanya dinisbatkan pada kekuasaan saja. Dalam Islam, makna politik meliputi pemeliharaan seluruh urusan umat didalam negeri ataupun luar negeri, baik menyangkut aspek negara maupun muat. dalam hal ini negara bertindak secara langsung dalam mengatur dan memelihara umat, sedangkan umat bertindak sebagi pengawas dan pengkoreksi pelaksanaan pengaturan yang diberlakukan negara. Sehingga, siapapun yang dalam aktivitas keseharianya memikirkan dan mengurusi umat, maka dalam sudut pandang Islam, dia sedang melakukan aktivitas politik.
“Siapa saja yang tidak memperhatikan kepentingan kaum Muslim, berarti ia bukanlah termasuk di antara mereka. Siapa saja yang tidak berada di waktu pagi dan petang selaku pemberi nasihat bagi Allah dan Rasulnya, bagi kitab-Nya, bagi pemimpinnya, dan bagi umumnya kaum Muslim, berarti ia bukanlah termasuk di antara mereka”. (HR ath-Thabrani).
Nash diatas menjelaskan bahwa Allah SWT memerintahkan pada umatnya baik laki-laki ataupun perempuan untuk memperhatikan dan memikirkan umatnya, termasuk memperjuangkan agar upaya pemeliharaan urusan umat terlaksana. Sehingga perempuan dan laki-laki sama-sama mempunyai kewajiban berpolitik, perlu diingat bahwa Islam adalah agama rahmatan lil alamin yang didalamnya terkandung aturan yang sesuai dengan manusia. Oleh karena itu, Allah SWT telah menetapkan secara politis, peran utama dan strategis bagi perempuan adalah sebagai ummun wa robatul bait, sebagai pencetak generasi, sehingga dari sana terlahirlah generasi yang berkualitas yang siap memimpin umat.
Adapun nash syara telah menjelaskan dengan rinci, aktivitas apa apa saja yang boleh dilakukan muslimah dan yang tidak, Islam telah mengharamkan jabatan kekuasaan pada perempuan dan mengkhususkannya pada laki-laki. Hanya saja pengkhususan ini bukan berarti menjadikan wanita termarjinalkan seeperti tuduhan dari kaum feminis. Karena Islam memandang bahwa peran penguasa dengan rakyat sama pentingnya. Penguasa adalah pelaksana politik, sedangkan rakyat berperan sebagai pengawas dan pengkoreksi kehidupan politik berdasarkan hukum-hukum Allah SWT. Adapun aktivitas yang boleh dan wajib diterjuni oleh perempuan diantaranya kewajiban amar makruf nahi munkar, kewajiban menasehati dan mengoreksi penguasa serta kewajiban menjadi anggota partai politik. Wallahu a’lam.
Penulis: Kanti Rahmillah, S.T.P , M.Si (Aktivis Muslimah Hizbut Tahrir Purwakarta
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!